DENPASAR – Bali diguncang gempa lumayan besar kemarin pagi. BMKG mencatat gempa berkekuatan 6,0 SR, belakangan dikoreksi 5,8 SR berjarak 68 km barat daya Nusa Dua, Bali.
Sejumlah kerusakan bangunan dilaporkan terjadi di beberapa titik di seluruh kabupaten/kota di Bali. Selain kerusakan bangunan, dilaporkan ada juga korban tertimpa reruntuhan bangunan.
Yang menarik, gempa kemarin bertepatan dengan Purnama Sasih Kasa. Dalam catatan lontar Rogasangharabhumi, gempa saat sasih Kasa memang pertanda baik.
Jagat rahayu, selamat sentosa. Itu sebabnya disarankan agar melakukan pemujaan kehadapan Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Siwa Yang Mahasuci.
Berdasar lontar, memasuki sasih Kasa (bulan pertama), Matahari tengah bergerak ke lintang utara (angutarayana). Setelah melewati dua sasih yang dianggap mala (cemar), Jestha dan Sadha.
Sesuai hitungan ala ayuning sasih, kini pintu Wisnu Loka tengah terbuka, menga babahing Wisnu Loka. Momentum ini sebaiknya dimaknai sebagai kesadaran merawat hidup, karena Wisnu sejatinya adalah Sang Mahahidup itu sendiri.
Dia pula yang dimaknai sebagai batara urip jati yang bersemayam dalam semua makhluk hidup: melingkupi, menyusup ke seluruh potensi hidup, sarwa mambekan.
Manusia Bali yang masih berperadaban agraris dan dalam pelajaran wariga, sasih Kasa merupakan momen terbukanya pintu Wisnu Loka (menga babahaning Wisnu Loka) dan terbukanya pintu Pitra Loka (pitra loka pada menga).
Untuk upacara manusa yadnya, khususnya pawiwahan (perkawinan) memilih sasih Kasa adalah saat yang baik juga. Kerahayaun akan senantiasa dekat.
Saudara dan handai taulan selalu simpati (ayu rendah, kadang warga asih). Saat Kasa datang, merupakan momentum bagus memulai merawat sumber-sumber mata air.
Dalam teks-teks suci Hindu, air yang mengalir jernih itu juga diibaratkan permata. Air, orang suci, dan pengetahuan kebajikan, adalah tiga permata penyangga kesejahteraan umat manusia.
Ketiga itu juga disebut air, karenanya orang suci di Bali disebut patirtan jagat, tempat masyarakat menyucikan kekotoran hati, sejatinya ia adalah sumber air rohani.
Dunia akan menjadi penuh derita tanpa tiga permata itu. Untuk itu orang Bali diingatkan supaya sadar merawat sumber air, terutama air fisik penghapus dahaga.
Karenanya, merawat sumber-sumber air merupakan panggilan yajna mulia, lebih mulia ketimbang upacara besar yang kering aplikasi merawat hidup.
Pertanyannya, apakah bulan purnama ada kaitannya dengan kejadian gempa? Berdasar studi literatur yang dikutip dari jurnal Nature Geoscience,
pakar seismologi dari Universitas Tokyo, Satoshi Ide mengatakan, fase bulan memang jadi salah satu faktor yang turut memicu gempa.
Menurut Ide, gempa besar seperti yang terjadi di Chile tahun 2010 dan Jepang pada 2011 cenderung terjadi saat purnama atau bulan mati, saat tekanan pasang mencapai titik tertinggi.
Untuk menguatkan analisisnya, Satoshi Ide menginvestigasi tiga rekaman gempa yang terjadi di Jepang, California, dan berbagai belahan dunia lain.
Dia menganalisis tekanan pasang 15 hari menjelang dan sesudah gempa besar. Hasilnya, gempa di Chile dan Tohoku, Jepang, terjadi saat tekanan pasang mencapai titik tertinggi.
Menganalisis lebih dari 10.000 gempa, Satoshi Ide menemukan bahwa gempa yang terjadi saat tekanan pasang maksimum punya peluang lebih besar mencapai magnitudo 8.0.
Temuan ini memberikan petunjuk tentang hubungan antara tekanan pasang dan terjadinya gempa besar. Namun, yang perlu dicatat, riset ini tak menyimpulkan bahwa setiap bulan purnama atau mati akan terjadi gempa.
Demikian juga, tak setiap gempa besar terjadi pada saat purnama atau bulan mati. Kesimpulan riset adalah bahwa tekanan
pasang yang terjadi saat bulan purnama atau mati berpotensi memicu transfer tekanan lempeng sehingga memicu gempa besar.