“Persahabatan saya dengan Presiden Xi Jinping kini memang tidak baik”. Hubungan Presiden Donald Trump dengan empat wanita ini lebih tidak baik lagi. “Kenapa mereka tidak pulang kampung saja. Ke negeri asal mereka yang kacau balau itu”. Begitu kurang lebih ujar Trump. Mengenai empat wanita itu. Yang kebetulan semua muda. Semua bukan kulit putih. Semua dari Partai Demokrat. Semua baru terpilih menjadi anggota DPR. Yang dua Islam. Salah satunya pakai jilbab. Baru sekali ini Trump mengakui hubungan sebenarnya dengan presiden Tiongkok itu. Selama ini Trump selalu bilang “Ia itu sahabat baik saya”. Atau “hubungan saya sangat baik”. Bahkan dalam suasana perang dagang pun Trump masih sering bilang “Xi Jinping itu presiden yang baik”. Hubungan keduanya tremendous baiknya. Memang ada perkembangan terbaru yang mengecewakan Trump. Soal kedelai itu. Dan jagung itu. Dan daging babi itu. Yang Tiongkok tidak beli-beli itu. Dalam jumlah yang tremendous itu. (Baca DI’s Way: Lamis Lambe). Tiongkok juga kecewa berat. Bukan lagi soal perang dagang. Yang Tiongkok kelihatannya sudah move on. Meski pertumbuhan ekonominya harus turun dikit: menjadi 6,2 persen. Yang paling dikecewakan Tiongkok adalah soal Taiwan. Amerika mengizinkan lagi Presiden Taiwan Tsai Ing-Wen berkunjung ke Amerika. Minggu lalu ke New York. Selama dua hari. Dengan begitu banyak agenda. Sebelum terbang ke negara-negara kecil Caribia. Pulangnya mampir lagi Denver. Kota terbesar di tengah-barat Amerika. Berarti sudah tiga kali Ing-Wen ke Amerika. Selama dua tahun masa kepresidenan Trump. Sudah lebih dari sekedar pengakuan. Yang pertama seperti hanya ‘test the water’. Hanya mampir ke pantai barat. Dalam perjalanan ke Amerika Latin. Yang pesawatnya terbang terlalu jauh kalau langsung ke tujuan. Sekalian isi bahan bakar. Ing-Wen pun mendarat di Los Angeles. Alasan itu bisa diterima publik. Meski Tiongkok tetap protes. Tapi yang seperti itu terjadi lagi. Saat Ing-Wen dalam perjalanan ke negara kecil di Pasifik Selatan. Tiongkok juga protes lagi. Dan minggu lalu Ing-Wen tidak hanya mampir ke New York. Sengaja diizinkan ke New York. Jantungnya Amerika. Langkah pengakuan Amerika untuk Taiwan kelihatannya tinggal setapak lagi. Setelah test the water berlangsung tiga kali. Trump sudah biasa tidak peduli perjanjian yang dibuat pendahulunya. Soal NATO, soal Iran, soal Jerusalem. Dan kini kelihatannya soal ‘One China Policy’. Di Taiwan sendiri kini lagi ramai menjelang pilpres. Senin kemarin ‘Koko Han’ terpilih sebagai capres dari Partai Kuomintang. Mengalahkan konglomerat terbesar Taiwan Terry Gou. Yang bos Foxconn itu. Pemasok terbesar iPhone itu. Yang membeli perusahaan Jepang, Sharp itu. Putusan mencapreskan ‘Koko Han’ diambil berdasar hasil jajak pendapat terakhir: Han 46 persen. Terry Gou 27 persen. Calon lainnya di bawah 10 persen. ‘Koko Han’ memang sangat populer. Bukan main. Merakyat. Disukai kalangan bawah. Tujuh bulan lalu ia bikin kejutan: terpilih menjadi wali kota Kaohsiung. Kota terbesar di Taiwan Selatan. Yang biasanya dari Partai Demokrat. Yang lebih pro-merdeka. Yang menarik, Koko Han dikenal sangat pro-Tiongkok. Nama lengkapnya Han Guo Yu. Kepribadiannya mengalahkan sekat-sekat antara pro-Beijing dan pro-merdeka. Hampir pasti Koko Han akan terpilih jadi presiden. Mengalahkan Ing-wen. Yang ternyata maju lagi. Biar pun partainya kalah masif di pilkada serentak tahun lalu.Popularitas Koko Han tidak terbendung lagi. Sampai dua bulan lalu. Tidak sekarang. Atau saat pilpres nanti. Januari depan. Perkembangan di Taiwan begitu cepat berubah. Sebulan terakhir. Manuver Ing-wen begitu hebat. Hubungannya dengan Trump begitu intens. Gejolak di Hongkong juga sangat menguntungkan Ing-Wen. “Terbukti,” kata Ing-wen selalu. “Satu negara dua sistem seperti Hongkong tidak menjamin keberlangsungan demokrasi,” katanya. Kata-kata itu membuat pamornya naik kembali. Perkembangan di Hongkong memang diikuti secara intensif di Taiwan. Apakah kalau menyatu dengan Tiongkok kelak juga seperti Hongkong. Apakah tidak sebaiknya minta merdeka sepenuhnya. Dengan minta dukungan Trump. Atau ada pilihan lain. Misalnya: satu negara tiga sistem. Trump tampaknya akan terus memainkan Taiwan. Apalagi sudah terbukti: perang bisa membuat capres incumbent menang pemilu. Terutama di saatincumbent lagi merosot popularitasnya. Tiongkok juga terus meningkatkan latihan perangnya. Di Selat Taiwan. Mulai dari Ningpo di Zhejiang Utara sampai Xiamen di Fujian selatan.Pasukan amfibi Tiongkok ambil bagian terbesar. Perang itu sudah sampai di New York duluan. Dalam bentuk saling demo. Berhadapan. Antara orang Tionghoa Amerika sendiri. Antara yang pro-Beijing dan pro-merdeka. Dua minggu lalu saya mampir China town New York. Saya sering makan Vietnam Pho di daerah ini. Masakan Vietnamnya lebih enak dari yang di Vietnam sendiri. Di jalan utama China town ini terlihat pemandangan menarik. Bendera Taiwan berkibar di sebelah bendera Tiongkok. Saya pikir di satu puncak gedung lima lantai. Ternyata di gedung yang berbeda. Bersebelahan. “Hanya di New York ini bendera Tiongkok berkibar bersama bendera Taiwan,” kata teman saya. Dan perang yang lain tetap seru. Antara Trump dan empat wanita itu. Trump sangat tidak bisa menerima. Bagaimana empat wanita itu mengkritiknya terus. Bahkan mengharuskan Trump di-impeach. “Bagaimana orang dari negara yang begitu kacau, miskin, dan penuh korupsi mengajari Amerika yang terhebat di dunia”. Begitu kurang lebih logika Trump. “Sebaiknya mereka pulang ke negara masing-masing. Membantu memperbaiki negara tersebut”. Alexandria Ocasio memang berdarah Puerto Rico. Tapi lahir di New York. Bekerja sebagai pelayan bar. Sambil kuliah ekonomi di Boston University. Tahun lalu terpilih sebagai anggota DPR. Dari dapil Bronx, New York. Dan sekarang jadi media darling. Ada Rashida Tlaib. Wanita muda berdarah Palestina. Lahir di Michigan. Islam. Terus menuntut Trump di-impeach. Ada Ayanna Pressley dari Massachusetts. Lulusan Boston University. Kulit hitam. Anak yang lahir dari korban perkosaan. Dan ini dia: Ilhan Omar. Dari Minneapolis. Islam. Berjilbab. Lahir tidak di Amerika. Dia pengungsi dari Somalia. Ikut ayahnya. Saat umurnya 10 tahun. Begitu cepat Omar jadi anggota DPR. Dari dapil yang memang begitu banyak penduduk asal Somalia. Saya pernah salat Jumat di masjid daerah ini. Besar sekali. Penuh sekali. Jamaahnya orang asal Somalia semua. Empat wanita ini bikin heboh terus. Mereka sebenarnya jengkel dengan Ketua Fraksi Demokrat, Nancy Pelosi. Yang belum juga mau meng-impeach Trump. Tapi Nancy sendiri musuh Trump nomor satu. Nancy begitu marah dengan ucapan Trump terakhir itu. Nancy membongkar niat rasialis di balik slogan Trump. Yang bunyinya ‘Make America Great Again’. Itu, kata Nancy, ternyata punya makna tersembunyi: ‘Make America White Again’. (Dahlan Iskan)
Koko Donald Trump
“Persahabatan saya dengan Presiden Xi Jinping kini memang tidak baik”. Hubungan Presiden Donald Trump dengan empat wanita ini lebih tidak baik lagi. “Kenapa mereka tidak pulang kampung saja. Ke negeri asal mereka yang kacau balau itu”. Begitu kurang lebih ujar Trump. Mengenai empat wanita itu. Yang kebetulan semua muda. Semua bukan kulit putih. Semua dari Partai Demokrat. Semua baru terpilih menjadi anggota DPR. Yang dua Islam. Salah satunya pakai jilbab. Baru sekali ini Trump mengakui hubungan sebenarnya dengan presiden Tiongkok itu. Selama ini Trump selalu bilang “Ia itu sahabat baik saya”. Atau “hubungan saya sangat baik”. Bahkan dalam suasana perang dagang pun Trump masih sering bilang “Xi Jinping itu presiden yang baik”. Hubungan keduanya tremendous baiknya. Memang ada perkembangan terbaru yang mengecewakan Trump. Soal kedelai itu. Dan jagung itu. Dan daging babi itu. Yang Tiongkok tidak beli-beli itu. Dalam jumlah yang tremendous itu. (Baca DI’s Way: Lamis Lambe). Tiongkok juga kecewa berat. Bukan lagi soal perang dagang. Yang Tiongkok kelihatannya sudah move on. Meski pertumbuhan ekonominya harus turun dikit: menjadi 6,2 persen. Yang paling dikecewakan Tiongkok adalah soal Taiwan. Amerika mengizinkan lagi Presiden Taiwan Tsai Ing-Wen berkunjung ke Amerika. Minggu lalu ke New York. Selama dua hari. Dengan begitu banyak agenda. Sebelum terbang ke negara-negara kecil Caribia. Pulangnya mampir lagi Denver. Kota terbesar di tengah-barat Amerika. Berarti sudah tiga kali Ing-Wen ke Amerika. Selama dua tahun masa kepresidenan Trump. Sudah lebih dari sekedar pengakuan. Yang pertama seperti hanya ‘test the water’. Hanya mampir ke pantai barat. Dalam perjalanan ke Amerika Latin. Yang pesawatnya terbang terlalu jauh kalau langsung ke tujuan. Sekalian isi bahan bakar. Ing-Wen pun mendarat di Los Angeles. Alasan itu bisa diterima publik. Meski Tiongkok tetap protes. Tapi yang seperti itu terjadi lagi. Saat Ing-Wen dalam perjalanan ke negara kecil di Pasifik Selatan. Tiongkok juga protes lagi. Dan minggu lalu Ing-Wen tidak hanya mampir ke New York. Sengaja diizinkan ke New York. Jantungnya Amerika. Langkah pengakuan Amerika untuk Taiwan kelihatannya tinggal setapak lagi. Setelah test the water berlangsung tiga kali. Trump sudah biasa tidak peduli perjanjian yang dibuat pendahulunya. Soal NATO, soal Iran, soal Jerusalem. Dan kini kelihatannya soal ‘One China Policy’. Di Taiwan sendiri kini lagi ramai menjelang pilpres. Senin kemarin ‘Koko Han’ terpilih sebagai capres dari Partai Kuomintang. Mengalahkan konglomerat terbesar Taiwan Terry Gou. Yang bos Foxconn itu. Pemasok terbesar iPhone itu. Yang membeli perusahaan Jepang, Sharp itu. Putusan mencapreskan ‘Koko Han’ diambil berdasar hasil jajak pendapat terakhir: Han 46 persen. Terry Gou 27 persen. Calon lainnya di bawah 10 persen. ‘Koko Han’ memang sangat populer. Bukan main. Merakyat. Disukai kalangan bawah. Tujuh bulan lalu ia bikin kejutan: terpilih menjadi wali kota Kaohsiung. Kota terbesar di Taiwan Selatan. Yang biasanya dari Partai Demokrat. Yang lebih pro-merdeka. Yang menarik, Koko Han dikenal sangat pro-Tiongkok. Nama lengkapnya Han Guo Yu. Kepribadiannya mengalahkan sekat-sekat antara pro-Beijing dan pro-merdeka. Hampir pasti Koko Han akan terpilih jadi presiden. Mengalahkan Ing-wen. Yang ternyata maju lagi. Biar pun partainya kalah masif di pilkada serentak tahun lalu.Popularitas Koko Han tidak terbendung lagi. Sampai dua bulan lalu. Tidak sekarang. Atau saat pilpres nanti. Januari depan. Perkembangan di Taiwan begitu cepat berubah. Sebulan terakhir. Manuver Ing-wen begitu hebat. Hubungannya dengan Trump begitu intens. Gejolak di Hongkong juga sangat menguntungkan Ing-Wen. “Terbukti,” kata Ing-wen selalu. “Satu negara dua sistem seperti Hongkong tidak menjamin keberlangsungan demokrasi,” katanya. Kata-kata itu membuat pamornya naik kembali. Perkembangan di Hongkong memang diikuti secara intensif di Taiwan. Apakah kalau menyatu dengan Tiongkok kelak juga seperti Hongkong. Apakah tidak sebaiknya minta merdeka sepenuhnya. Dengan minta dukungan Trump. Atau ada pilihan lain. Misalnya: satu negara tiga sistem. Trump tampaknya akan terus memainkan Taiwan. Apalagi sudah terbukti: perang bisa membuat capres incumbent menang pemilu. Terutama di saatincumbent lagi merosot popularitasnya. Tiongkok juga terus meningkatkan latihan perangnya. Di Selat Taiwan. Mulai dari Ningpo di Zhejiang Utara sampai Xiamen di Fujian selatan.Pasukan amfibi Tiongkok ambil bagian terbesar. Perang itu sudah sampai di New York duluan. Dalam bentuk saling demo. Berhadapan. Antara orang Tionghoa Amerika sendiri. Antara yang pro-Beijing dan pro-merdeka. Dua minggu lalu saya mampir China town New York. Saya sering makan Vietnam Pho di daerah ini. Masakan Vietnamnya lebih enak dari yang di Vietnam sendiri. Di jalan utama China town ini terlihat pemandangan menarik. Bendera Taiwan berkibar di sebelah bendera Tiongkok. Saya pikir di satu puncak gedung lima lantai. Ternyata di gedung yang berbeda. Bersebelahan. “Hanya di New York ini bendera Tiongkok berkibar bersama bendera Taiwan,” kata teman saya. Dan perang yang lain tetap seru. Antara Trump dan empat wanita itu. Trump sangat tidak bisa menerima. Bagaimana empat wanita itu mengkritiknya terus. Bahkan mengharuskan Trump di-impeach. “Bagaimana orang dari negara yang begitu kacau, miskin, dan penuh korupsi mengajari Amerika yang terhebat di dunia”. Begitu kurang lebih logika Trump. “Sebaiknya mereka pulang ke negara masing-masing. Membantu memperbaiki negara tersebut”. Alexandria Ocasio memang berdarah Puerto Rico. Tapi lahir di New York. Bekerja sebagai pelayan bar. Sambil kuliah ekonomi di Boston University. Tahun lalu terpilih sebagai anggota DPR. Dari dapil Bronx, New York. Dan sekarang jadi media darling. Ada Rashida Tlaib. Wanita muda berdarah Palestina. Lahir di Michigan. Islam. Terus menuntut Trump di-impeach. Ada Ayanna Pressley dari Massachusetts. Lulusan Boston University. Kulit hitam. Anak yang lahir dari korban perkosaan. Dan ini dia: Ilhan Omar. Dari Minneapolis. Islam. Berjilbab. Lahir tidak di Amerika. Dia pengungsi dari Somalia. Ikut ayahnya. Saat umurnya 10 tahun. Begitu cepat Omar jadi anggota DPR. Dari dapil yang memang begitu banyak penduduk asal Somalia. Saya pernah salat Jumat di masjid daerah ini. Besar sekali. Penuh sekali. Jamaahnya orang asal Somalia semua. Empat wanita ini bikin heboh terus. Mereka sebenarnya jengkel dengan Ketua Fraksi Demokrat, Nancy Pelosi. Yang belum juga mau meng-impeach Trump. Tapi Nancy sendiri musuh Trump nomor satu. Nancy begitu marah dengan ucapan Trump terakhir itu. Nancy membongkar niat rasialis di balik slogan Trump. Yang bunyinya ‘Make America Great Again’. Itu, kata Nancy, ternyata punya makna tersembunyi: ‘Make America White Again’. (Dahlan Iskan)