25.2 C
Jakarta
22 November 2024, 8:43 AM WIB

Horor Si Kakek

Mereka akan 50 tahun. Anak muda yang demo besar di Hongkong kemarin. Yang umur mereka mayoritas di sekitar 20 tahun itu.  

Umur 50 tahun masih setengah baya. Saat kelak Hongkong sepenuhnya di bawah kekuasaan Tiongkok: di tahun 2047. Pada tahun itu konsep ‘satu negara dua sistem’ berakhir.

Selanjutnya terserah Tiongkok: mau tetap ‘satu negara dua sistem’ atau sepenuhnya menjadi seperti Tiongkok. Yang kelak entah seperti apa. 

(Searah jarum jam) Nathan Law Kwun Chung, Brian Leung, Carrie Lam dan Baggio Leung Chung Hang bersama Yau Wai Ching. Foto atas: Wajah-wajah mereka (mungkin) saat nanti Hongkong sepenuhnya di bawah kekuasaan Tiongkok. Tapi Carrie Lam kok muda ya?    

Banyak anak muda itu berpikiran ‘satu negara dua sistem’ pun akan berakhir. Mereka takut tidak ada lagi kebebasan. Berakhirlah demokrasi. 

Generasi muda Hongkong tentu mewarisi cerita horor. Yang serba menakutkan. Tentang Tiongkok. Yang diceritakan oleh kakek-nenek.

Atau orang tua mereka. Kisah yang paling mengerikan tentu kejadian tahun 1966. Persis di saat Indonesia juga mengalami bencana besar: G30S/PKI. 

Saat itu Mao Zedong melancarkan satu revolusi. Disebut ‘Revolusi Kebudayaan’. 文化大革命. Orang kaya, orang terdidik, dan orang kota harus pindah ke desa.

Dipaksa. Harus bekerja di sawah. Di ladang. Dengan jatah makan yang minim. Dengan tempat tinggal di barak. Dengan pakaian hanya satu.  

Yang membangkang disiksa. Dihinakan. Dibunuh. Banyak yang tidak kuat bekerja di sawah seperti itu. Mereka melarikan diri ke Hongkong. Dengan risiko terbunuh.  

Demikian juga puluhan ribu orang Tionghoa asal Indonesia. Yang dulu pulang ke Tiongkok. Mereka kecele. Baru tiga tahun di Tiongkok terkena Revolusi Kebudayaan.  

Tentu banyak yang tidak kuat. Sudah biasa enak di Indonesia. Banyak di antara mereka yang juga lari ke Hongkong. Salah satu yang lari ke Hongkong itu keluarga Jaya Suprana.

Seperti ia tulis di online kemarin. Saya juga sering ketemu mereka di Hongkong. Sekali waktu ikut mereka. Merayakan 17 Agustus. Ratusan orang.

Saling bercakap dalam bahasa Sunda. Atau bahasa Jawa. Saya juga pernah datang ke kampung-kampung penampungan mereka. Di Liuzho.  

Saat itu Hongkong masih di bawah pemerintahan Inggris. Statusnya sewa. Selama 100 tahun. Bukan jajahan. Sewa itu habis di tahun 1997.

Inggris pun mengembalikannya kepada Tiongkok. Dengan syarat yang disetujui bersama. Selama 50 tahun ke depan Tiongkok tidak mengubah sistem hukum di Hongkong.

Juga tidak mengubah sistem demokrasinya. Apakah di tahun 2047 kelak eksistensi Hongkong hilang? Tentu terserah Tiongkok. 

Tapi di Tiongkok sendiri berkembang pemikiran untuk tidak mengubahnya. Bahkan justru Tiongkok yang akan berubah. 

Think-thank di Tiongkok sudah agak lama membicarakan konsep masa depan negara itu. Mereka cenderung tidak akan meniru sistem Amerika.

Mereka lebih memilih model Jerman. Belakangan muncul juga pemikiran baru: model Skandinavia (Norwegia, Swedia, Finlandia, Denmark). 

Saya sering terlibat pembicaraan tidak formal. Dengan orang-orang komunis Tiongkok. Saya pun berani mengatakan pada mereka: “Sebenarnya justru di Skandinavia-lah cita-cita komunisme tercapai. Tanpa label komunis.”  

Tentu juga tanpa label agama. Di sanalah pemerataan ekonomi terbaik di dunia. Di sanalah ‘sama rasa sama rata’ relatif tercapai.

Pada level yang disebut makmur. Bukan sama rata sama rasa –sama-sama miskinnya. Sebagian generasi muda Hongkong tentu dilanda trauma kakek-nenek mereka.

Kini lain lagi. Setelah Tiongkok lebih maju dari Hongkong sebagian merekangeri: bagaimana kelak bisa bersaing dengan orang Tiongkok.

Yang mereka bayangkan akan dengan bebas masuk Hongkong. Dalam jumlah penduduk yang begitu besar. Tidak perlu lagi visa seperti sekarang. 

Satu Dama saja sudah begitu menakutkan emak-emak di Hongkong. Lihat DI’s Way kemarin (Baca: Da Mama). Apalagi kalau 1,5 miliar orang Tiongkok bebas keluar masuk Hongkong. 

Demo hari Minggu kemarin begitu besarnya. Meski tidak sebesar tanggal 1 Juli lalu.  Pendemo tetap gigih. Meski sehari sebelumnya ada penangkapan-penangkapan.

Terkait ditemukannya bahan-bahan bom. Di sebuah gudang. Yang disewa partai pro-kemerdekaan Hongkong. Pendemo juga sudah berani melanggar batas izin.

Setelah matahari tenggelam.  Mereka berjalan menuju pengadilan tinggi. Tetap seperti rencana semula. Yang tidak diizinkan. Mereka juga mendatangi kantor perwakilan Tiongkok. Melemparinya telur. Melakukan corat-coret. 

Menyentrong polisi dengan sinar laser. Hanya mereka taat satu hal: tidak meloncati tembok yang dibangun polisi. Yang terbuat dari box-box air.

Setinggi 2 meter itu. Mungkin mereka juga akan melanggar satu lagi: tidak mau bubar pada jam 9 malam. Saat tulisan ini sudah harus saya kirim. Mana tahan.(Dahlan Iskan)

Mereka akan 50 tahun. Anak muda yang demo besar di Hongkong kemarin. Yang umur mereka mayoritas di sekitar 20 tahun itu.  

Umur 50 tahun masih setengah baya. Saat kelak Hongkong sepenuhnya di bawah kekuasaan Tiongkok: di tahun 2047. Pada tahun itu konsep ‘satu negara dua sistem’ berakhir.

Selanjutnya terserah Tiongkok: mau tetap ‘satu negara dua sistem’ atau sepenuhnya menjadi seperti Tiongkok. Yang kelak entah seperti apa. 

(Searah jarum jam) Nathan Law Kwun Chung, Brian Leung, Carrie Lam dan Baggio Leung Chung Hang bersama Yau Wai Ching. Foto atas: Wajah-wajah mereka (mungkin) saat nanti Hongkong sepenuhnya di bawah kekuasaan Tiongkok. Tapi Carrie Lam kok muda ya?    

Banyak anak muda itu berpikiran ‘satu negara dua sistem’ pun akan berakhir. Mereka takut tidak ada lagi kebebasan. Berakhirlah demokrasi. 

Generasi muda Hongkong tentu mewarisi cerita horor. Yang serba menakutkan. Tentang Tiongkok. Yang diceritakan oleh kakek-nenek.

Atau orang tua mereka. Kisah yang paling mengerikan tentu kejadian tahun 1966. Persis di saat Indonesia juga mengalami bencana besar: G30S/PKI. 

Saat itu Mao Zedong melancarkan satu revolusi. Disebut ‘Revolusi Kebudayaan’. 文化大革命. Orang kaya, orang terdidik, dan orang kota harus pindah ke desa.

Dipaksa. Harus bekerja di sawah. Di ladang. Dengan jatah makan yang minim. Dengan tempat tinggal di barak. Dengan pakaian hanya satu.  

Yang membangkang disiksa. Dihinakan. Dibunuh. Banyak yang tidak kuat bekerja di sawah seperti itu. Mereka melarikan diri ke Hongkong. Dengan risiko terbunuh.  

Demikian juga puluhan ribu orang Tionghoa asal Indonesia. Yang dulu pulang ke Tiongkok. Mereka kecele. Baru tiga tahun di Tiongkok terkena Revolusi Kebudayaan.  

Tentu banyak yang tidak kuat. Sudah biasa enak di Indonesia. Banyak di antara mereka yang juga lari ke Hongkong. Salah satu yang lari ke Hongkong itu keluarga Jaya Suprana.

Seperti ia tulis di online kemarin. Saya juga sering ketemu mereka di Hongkong. Sekali waktu ikut mereka. Merayakan 17 Agustus. Ratusan orang.

Saling bercakap dalam bahasa Sunda. Atau bahasa Jawa. Saya juga pernah datang ke kampung-kampung penampungan mereka. Di Liuzho.  

Saat itu Hongkong masih di bawah pemerintahan Inggris. Statusnya sewa. Selama 100 tahun. Bukan jajahan. Sewa itu habis di tahun 1997.

Inggris pun mengembalikannya kepada Tiongkok. Dengan syarat yang disetujui bersama. Selama 50 tahun ke depan Tiongkok tidak mengubah sistem hukum di Hongkong.

Juga tidak mengubah sistem demokrasinya. Apakah di tahun 2047 kelak eksistensi Hongkong hilang? Tentu terserah Tiongkok. 

Tapi di Tiongkok sendiri berkembang pemikiran untuk tidak mengubahnya. Bahkan justru Tiongkok yang akan berubah. 

Think-thank di Tiongkok sudah agak lama membicarakan konsep masa depan negara itu. Mereka cenderung tidak akan meniru sistem Amerika.

Mereka lebih memilih model Jerman. Belakangan muncul juga pemikiran baru: model Skandinavia (Norwegia, Swedia, Finlandia, Denmark). 

Saya sering terlibat pembicaraan tidak formal. Dengan orang-orang komunis Tiongkok. Saya pun berani mengatakan pada mereka: “Sebenarnya justru di Skandinavia-lah cita-cita komunisme tercapai. Tanpa label komunis.”  

Tentu juga tanpa label agama. Di sanalah pemerataan ekonomi terbaik di dunia. Di sanalah ‘sama rasa sama rata’ relatif tercapai.

Pada level yang disebut makmur. Bukan sama rata sama rasa –sama-sama miskinnya. Sebagian generasi muda Hongkong tentu dilanda trauma kakek-nenek mereka.

Kini lain lagi. Setelah Tiongkok lebih maju dari Hongkong sebagian merekangeri: bagaimana kelak bisa bersaing dengan orang Tiongkok.

Yang mereka bayangkan akan dengan bebas masuk Hongkong. Dalam jumlah penduduk yang begitu besar. Tidak perlu lagi visa seperti sekarang. 

Satu Dama saja sudah begitu menakutkan emak-emak di Hongkong. Lihat DI’s Way kemarin (Baca: Da Mama). Apalagi kalau 1,5 miliar orang Tiongkok bebas keluar masuk Hongkong. 

Demo hari Minggu kemarin begitu besarnya. Meski tidak sebesar tanggal 1 Juli lalu.  Pendemo tetap gigih. Meski sehari sebelumnya ada penangkapan-penangkapan.

Terkait ditemukannya bahan-bahan bom. Di sebuah gudang. Yang disewa partai pro-kemerdekaan Hongkong. Pendemo juga sudah berani melanggar batas izin.

Setelah matahari tenggelam.  Mereka berjalan menuju pengadilan tinggi. Tetap seperti rencana semula. Yang tidak diizinkan. Mereka juga mendatangi kantor perwakilan Tiongkok. Melemparinya telur. Melakukan corat-coret. 

Menyentrong polisi dengan sinar laser. Hanya mereka taat satu hal: tidak meloncati tembok yang dibangun polisi. Yang terbuat dari box-box air.

Setinggi 2 meter itu. Mungkin mereka juga akan melanggar satu lagi: tidak mau bubar pada jam 9 malam. Saat tulisan ini sudah harus saya kirim. Mana tahan.(Dahlan Iskan)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/