Penipuan ala Taat Pribadi alias Kanjeng Dimas di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, yang menggemparkan publik tiga tahun lalu terjadi di Bali.
Modus dan polanya nyaris sama persis. Pelakunya adalah Abu Hari dkk, sedangkan korbannya adalah Ni Ketut Sudiasih.
MAULANA SANDIJAYA, Denpasar
RODA kehidupan terus berputar. Ni Ketut Sudiasih yang semula perekonomiannya berada di atas tidak menyangka bakal jatuh.
Apes, dalam posisi bangkrut itulah Sudiasih menjadi korban Abu Hari. Ia ditipu Abu Hari hingga uangnya Rp 400 juta raib.
Dalam persidangan, terdakwa Abu terus menunduk. Pria asal Situbondo, Jawa Timur, itu seperti malu.
Ia terus menghindar dari moncong kamera awak media. Dalam menjalankan aksinya, Pria 52 tahun itu memiliki jaringan untuk melakukan aksinya.
Dalam dakwaan JPU disebutkan, dalam melancarkan aksinya Abu tidak sendiri. Pria lulusan SMA itu memiliki jaringan yang terdiri dari empat orang, yakni Agus Jauhari (berkas terpisah), I Gusti Ngurah, Supandi dan Syaharuddine.
“Ketiganya masuk daftar pencarian orang (DPO),” ujar JPU Kadek Teguh Dwiputra di muka majelis hakim yang diketuai Esthar Oktavi.
Dijelaskan dalam dakwaan JPU, awal penipuan itu terjadi pada (24/2/2019) sekitar pukul 16.00.
Terdakwa meminta saksi Agus Jauhari menjadi sopir mengantarnya ke Hotel Osella 2 di Jalan Pidada, Ubung, Denpasar untuk bertemu dengan ketiga rekannya.
Setibanya di Hote Osella 2 Ubung, keduanya pun bertemu dengan I Gusti Ngurah, Supandi dan Syaharuddine.
Dalam pertemuan itu, I Gusti Ngurah menyampaikan kepada terdakwa bahwa ada orang yang membutuhkan keuangan yakni saksi Ni Ketut Sudiasih dan orang tersebut bisa “dimakan” alias ditipu.
I Gusti Ngurah kemudian membagi tugas. Supandi sebagai pendana atau orang yang menyiapkam dana, Syaharuddine sebagai penerima dana transfer dari korban, dan Agus Jauhari sebagai sopir terdakwa.
Sedangkan I Gusti Ngurah mengendalikan korban untuk ditipu. “Terdakwa berpura-pura sebagai Pak Haji yang bisa menggandakan uang,” imbuh JPU.
Dua hari kemudian, pukul 09.00 korban Sudiasih mendatangi Hotel Osella 2 bertemu dengan saksi I Wayan Sarma untuk dikenalkan dengan I Gusti Ngurah.
Dalam pertemuan itu, I Gusti Ngurah mulai memengaruhi korban dengan bercerita tentang pengalaman hidupnya.
“Saya dulu pernah dililit banya utang hingga akhirnya dibantu oleh terdakwa,” tutur JPU menirukan saksi IG Ngurah.
Untuk menyakinkan lagi, Ngurah juga bercerita bahwa dirinya menjadi pengusaha jual beli kayu berkat bantuan terdakwa.
“Ibu telat kenal saya. Coba dari dulu kenal saya, tidak sampai jual hotel,” imbuh JPU menirukan pernyataan Ngurah.
Cerita itu rupanya membuat korban terbuai. Singkat cerita, pada 28 Februari sekitar pukul 09.00, terdakwa dan Ngurah mendatangi rumah korban.
Setibanya di rumah korban, mereka pun berusaha menyakinkan korban jika bisa membantu menyelesaikan masalah keuangan korban.
“Saat pertemuan tersebut, terdakwa menyakinkan saksi korban jika terdakwa memiliki keahlian memanggil roh leluhur,” beber JPU.
Untuk meyakinkan korban, terdakwa mempraktikan ritual seolah-olah bisa melipatgandakan uang yang awalnya Rp 4,1 juta seolah-olah menjadi bertambah Rp 1,5 juta. Jadi, uang Rp 4,1 juta menjadi Rp 5,6 juta.
Sementara cara-cara yang dilakukan terdakwa yakni meminta saksi korban menyiapkan uang sebesar Rp 4,1 juta.
Salah satu lembar uang tersebut diisi tulisan arab oleh terdakwa. Kemudian terdakwa meminta saksi korban menulis nomor seri tiap lembar uang tersebut.
Setelah itu, terdakwa meminta saksi korban untuk mengantarnya ke kamar milik saksi korban. Sesampainya dalam kamar terdakwa menyerahkan dompet milik terdakwa yang tidak berisi uang.
Dompet tersebut dilakban warna hitam. Kemudian terdakwa meminta saksi agar dompet itu disimpan di laci lemari pakiannnya.
Terdakwa kemudia menyuruh saksi korban untuk melakukan penyetoran tunai terhadap uang tersebut dilanjutkan dengan penarikan tunai di mesin ATM yang sama. Tetapi yang ditarik hanya Rp 4 juta saja.
Setelah itu, saksi korban kemudia kembali ke rumahnya dan berkumpul dengan terdakwa bersama I Gusti Ngurah di balai bengong.
Saat itu, terdakwa meminta uang sebesar Rp 1,5 juta kepada saksi korban kemudian menyuruh saksi korban mengambil dompet milik terdakwa yang disimpan di dalam laci.
Setelah membuka isi dompet tersebut, ternyata sudah berisi uang Rp 1,5 juta. Kemudian terdakwa menyuruh saksi korban
untuk mencocokan nomor seri uang yang didalam dompet dengan yang sudah dicatat saksi korban dan ternyata cocok.
Karena ritual ini saksi korban pun percaya jika terdakwa memiliki kemampuan memanggil roh leluhur.
Sejak saat itu korban percaya pada saksi korban dengan terdakwa. Puncaknya korban nekat meminjam uang sebesar Rp 350 juta.
Atas perintah terdakwa, saksi kemudian menukar uang sebesar Rp 260 juta menjadi USA 18.050 dan membeli emas 30,18 gram seharga Rp Rp 19,6 juta. Semuanya diberikan pada terdakwa.
Setelah semua tersedia, pada (18/3), terdakwa mendatangi rumah saksi korban untuk melakukan ritual.
Tak sampai disitu, terdakwa juga kemudian meminta uang kepada saksi korban sebanyak Rp 70 juta untuk membeli minyak sebagai syarat untuk melakukan ritual pengggandaan uang.
Hingga akhirnya, saksi korban pun mulai sadar jika dirinya telah dibohongi oleh terdakwa dan komplotannya. Total kerugian mencapai Rp 400 juta.
Dengan rincian, uang sebesar Rp 90 juta, gelang emas 30,18 gram senilai Rp 19,6 juta, dan uang dollar sebanyak 18.050 jika dirupiahkan mencapai Rp 260 juta.
Hasil dari perbuatan tersebut dibagi-bagi. Agus Jauhari sebesar Rp 15 juta, I Gusti Ngurah Rp 180 juta, Syaharuddine Rp 10 juta, Supandi yang memberikan modal kepada terdakwa mendapat Rp 20 juta, dan terdakwa sendiri Rp 120.090.000.
“Perbuatan terdakwa sebagaimana dimaksud dan diancam pidana Pasal 378 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,” ujar JPU Kadek Teguh Dwiputra. Dalam pasal tersebut terdakwa terancam pidana penjara penjara paling lama 4 tahun.