Sejak beberapa tahun terakhir, Ni Wayan Niti, membudidayakan tanaman daun urat merah di pekarangan rumahnya di Banjar Ked, Desa Taro, Kecamatan Tegalalang.
Daun itu dipercaya bisa mengobati beberapa penyakit. Mulai asam urat, hingga gagal ginjal. Menariknya, Ni Wayan Niti tidak seklek dengan harga.
Daun berkhasiat tinggi ini hanya dihargai Rp 1000 per lembar. Atau jika ada warga membutuhkan, daun bisa gratis.
INDRA PRASETIA, Gianyar
DI perkarangan rumah seluas kurang lebih 3 are, pedagang daun urat merah, Ni Wayan Niti membudidayakan tanaman itu.
Sekilas, tanaman itu seperti tanaman liar yang tumbuh di tegalan. Namun, tak banyak yang menyangka jika rebusan daunnya bisa menghilangkan berbagai macam penyakit.
Niti menjelaskan telah banyak orang membuktikan khasiat dari daun urat merah tersebut. Bahkan, tidak hanya dari daerah Gianyar saja, melainkan dari luar Bali juga ada yang datang ke sana untuk membeli daun ajaib tersebut.
“Daun ini tepatnya bisa memperlancar peredaran darah, selain itu juga sangat cocok untuk mengobati penyakit kencing manis, asam urat, dan gejala-gejala penyakit lainnya,” ujar perempuan berusia 36 tahun itu.
Niti menjual selembar daun itu Rp 1000. Sehingga orang yang membeli ke sana rata-rata sebanyak 100-200 lembar daun.
Meski begitu, dalam sehari daun yang dia tanam belum tentu laku setiap hari. “Tidak setiap hari ada orang beli daun ini. Karena ini tanaman obat,” jelasnya.
Dalam seminggu, dia bisa mengantongi rata-rata Rp 200 – 300 ribu. “Yang nyari daun ini memang yang punya sakit. Awalnya mereka mencoba, ketika cocok, ada yang jadi langganan,” terangnya.
Kata dia, ada pelanggan terjauh dari Surabaya. “Minggu lalu ada orang Surabaya ke sini nyari daun. Dia kena asam urat.
Setelah minum rebusan daun ini mau enakan katanya,” jelasnya. Akhirnya, pasien asal Surabaya itu rutin membeli daun yang dia tanam.
Lanjut dia, tanaman tersebut cocok ditanam di Desa Taro. “Kalau di tanam di daerah lain, belum tentu cocok bisa tumbuh. Makanya banyak yang beli daunnya saja,” jelasnya.
Untuk cara meminum air rebusan daun itu, Niti pun memberikan contoh. Yakni merebus dua lembar daun dengan segelas air.
“Itu diminum untuk takaran satu orang. Kalau warna air rebusan sudah kuning seperti teh, sudah bisa diminum,” jelasnya.
Waktu minum air rebusan daun itu cukup dua kali sehari. Yakni pagi dan malam hari. Air rebusan daun bisa dikonsumsi sampai dua bulan untuk memperoleh khasiatnya.
“Jadi setiap bangun tidur dan mau tidur minum ini. Kasiatnya nanti bisa dilihat,” terangnya. Niti tidak semata-mata mengambil keuntungan dari penjualan daun itu.
Apabila ada orang yang benar-benar memerlukan, tak jarang dia memberikan daun secara cuma-Cuma. “Kalau ada yang bilang minta daun. Untuk mengobati, bisa saya kasih,” ungkapnya.
Dia juga menceritakan kejadian unik. Saat dia tidak di rumah, ternyata ada yang diam-diam mengambil daun yang ditanam itu.
Ternyata, bukannya menjadi obat, tanaman yang dicuri justru menjadi racun. “Ada sekitar enam orang yang mencuri daun ini ketika saya tidak di rumah.
Niatnya kan dijadikan obat, tapi nyatanya penyakit mereka malah semakin parah. Makanya sekarang meski tumbuhnya secara liar di pekarangan rumah tidak ada yang berani memetik daunnya secara sembarangan,” terangnya.
Dia berharap, apabila ada yang meminta daun, pasti akan diberikan. “Namanya juga daun untuk obat, setidaknya bilanglah minta pasti saya kasih. Apapun kalau hasil mencuri pasti tidak baik itu,” pungkasnya. (*)