25.5 C
Jakarta
21 November 2024, 6:36 AM WIB

Orang Dalam

Saya memilih ‘orang dalam’. Untuk menjadi direktur utama berikutnya. Setelah saya  diberhentikan dari jabatan itu. Tahun 2011 lalu. Kebetulan, pemberhentian itu tidak biasa.

Lantaran saya harus pindah jabatan. Menjadi sesuatu. Yang berhak mengangkat siapa saja. Untuk  menjadi dirut BUMN. Termasuk Dirut PLN setelah saya. 

Saya sama sekali tidak melihat perlunya ‘orang luar’. Untuk menjadi pengganti saya. Di PLN banyak sekali orang pintar. Orang baik. Apalagi di bidang listrik.

Apalagi bidang sistem kelistrikan. Saya selalu punya perasaan: orang dalamlah yang paling berhak atas jabatan itu. Sebagai insentif atas prestasi kerja mereka.

Sebagai penghargaan. Atas kerja yang melebihi prestasi siapa pun di organisasi itu.  Saya selalu punya perasaan: orang dalam pasti tidak bisa menerima.

Kalau yang jadi dirut adalah orang dari luar organisasi. Paling ringan: nggerundel dalam hati. Tidak ikhlas. Tidak bisa menerima. Manajemen yang baik selalu  mengutamakan dulu orang dalam.  

Baru kalau sudah benar-benar mentok. Atau tidak ada sama sekali calon dari dalam. Dicarilah orang dari luar. Harus dalam posisi terpaksa. 

Saya ‘orang luar’ itu. Masuk ke PLN dengan membawa perasaan seperti itu. Saya gelisah: pasti orang PLN tidak rela saya jadi dirut mereka. 

Satu-satunya yang membuat saya tenang adalah: saya sendiri tidak menginginkannya. Saya tidak melamar. Saya tidak merengek. Saya tidak kasak-kusuk. 

Saya adalah orang yang ditugasi. Itu pun sudah saya tolak. Berkali-kali. Saya sudah sangat mapan. Saat itu. Saya juga baru sembuh. Saat itu. Dari kanker stadium akhir. 

Saya sudah terlanjur berjanji pada diri sendiri. Untuk tidak akan mengais-ngais rejeki lagi. Ini hanya karena tugas. Dari seorang presiden. Maka saya tidak bisa menolak terus.

Dari Presiden SBY. Dengan perasaan ‘bersalah’ seperti itu saya datang ke kantor pusat PLN. Di hari kedua setelah pelantikan. Dengan menggunakan dasi dadakan.

Yang saya pinjam dari Satpam PLN. Satpam itu terpaksa melepas dasi hitamnya. Buru-buru. Hari itu saya sangat bisa maklum: banyak spanduk dipasang di kantor pusat PLN.

Isinya: menolak kedatangan saya. Pagar keliling gedung pun penuh dengan spanduk: mencurigai saya.  Demikian juga di puncak gedung berantai  17 itu.  

Saya lirik bunyinya apa saja. Tidak ada yang saya masukkan ke dada. Sekarang pun saya sudah lupa apa saja bunyinya. Hari pertama kerja itu saya lakukan pertemuan besar.  

Staf pimpinan hadir. Banyak karyawan yang datang. Saya langsung berdiri. Berbicara. Tidak pakai MC.  “Saudara-saudara, saya minta maaf bahwa saya menjadi direktur utama Anda semua.

Tentu saya tidak lebih pintar dari kalian. Apalagi di bidang listrik. Karena itu saya tidak akan lama di sini. Saya sudah mengajukan syarat kepada bapak presiden bahwa saya tidak mau menjabat selama lima tahun.

Kian pendek waktunya kian baik”. Seperti spontan saja. Kalimat itu meluncur begitu saja. Tanpa rencana.  Saya memang minta banyak syarat. Untuk mau diangkat jadi Dirut PLN.

Salah satunya: saya hanya mau maksimal tiga tahun. Saat itu saya baru merintis berdirinya pesantren internasional di Magetan. Untuk memperbaiki madrasah keluarga.

Warisan leluhur. Yang lebih 100 jumlahnya. Yang 120.000 santrinya. Saya harus ikut bertanggungjawab mengembangkannya. Ternyata harus saya tinggalkan.

Untuk jadi Dirut PLN.  Dengan perasaan ‘bersalah’ itulah saya menjadi direktur utama. Maka saya bertekad: untuk tidak mengajak satu pun orang dari luar.

Saya sudah punya pengalaman panjang. Bagaimana mengambil alih perusahaan gagal. Selalu saja saya temukan orang-orang hebat di perusahaan gagal itu. 

Maka saya juga sangat yakin akan menemukan orang-orang hebat di PLN. Dan saya benar-benar menemukannya. Dengan sangat mudah. Bahkan berlebih. 

Hasilnya sangat memuaskan. Krisis listrik cepat teratasi. Calo listrik lenyap dari bumi. Antrian  lama hilang dari mayapada: untuk pasang listrik. Alhamdulilah.

Tidak sampai dua tahun saya berada di kedudukan yang salah itu. Sekarang ini saya mengucapkan Alhamdulillah sekali lagi. Jabatan Dirut PLN sudah kembali ke ‘orang dalam’.

Biar pun sifatnya masih sementara. Dan kabarnya ia tidak mau ditetapkan jadi dirut yang definitif. Sudah dua ‘orang dalam’ yang diminta mengisi jabatan itu.

Tapi Dua-duanya tidak mau. Ngeri.  Tapi saya juga masih mendengar: banyak orang luar yang kasak-kusuk ingin masuk. Saya tidak melihat ada keadaan terpaksa: yang mengharuskan masuknya orang luar itu. 

Entahlah.  Mungkin saja penglihatan saya salah. Sudah enam tahun saya tidak tahu lagi dalamnya PLN. Dan dalamnya hutangnya.(Dahlan Iskan)

Saya memilih ‘orang dalam’. Untuk menjadi direktur utama berikutnya. Setelah saya  diberhentikan dari jabatan itu. Tahun 2011 lalu. Kebetulan, pemberhentian itu tidak biasa.

Lantaran saya harus pindah jabatan. Menjadi sesuatu. Yang berhak mengangkat siapa saja. Untuk  menjadi dirut BUMN. Termasuk Dirut PLN setelah saya. 

Saya sama sekali tidak melihat perlunya ‘orang luar’. Untuk menjadi pengganti saya. Di PLN banyak sekali orang pintar. Orang baik. Apalagi di bidang listrik.

Apalagi bidang sistem kelistrikan. Saya selalu punya perasaan: orang dalamlah yang paling berhak atas jabatan itu. Sebagai insentif atas prestasi kerja mereka.

Sebagai penghargaan. Atas kerja yang melebihi prestasi siapa pun di organisasi itu.  Saya selalu punya perasaan: orang dalam pasti tidak bisa menerima.

Kalau yang jadi dirut adalah orang dari luar organisasi. Paling ringan: nggerundel dalam hati. Tidak ikhlas. Tidak bisa menerima. Manajemen yang baik selalu  mengutamakan dulu orang dalam.  

Baru kalau sudah benar-benar mentok. Atau tidak ada sama sekali calon dari dalam. Dicarilah orang dari luar. Harus dalam posisi terpaksa. 

Saya ‘orang luar’ itu. Masuk ke PLN dengan membawa perasaan seperti itu. Saya gelisah: pasti orang PLN tidak rela saya jadi dirut mereka. 

Satu-satunya yang membuat saya tenang adalah: saya sendiri tidak menginginkannya. Saya tidak melamar. Saya tidak merengek. Saya tidak kasak-kusuk. 

Saya adalah orang yang ditugasi. Itu pun sudah saya tolak. Berkali-kali. Saya sudah sangat mapan. Saat itu. Saya juga baru sembuh. Saat itu. Dari kanker stadium akhir. 

Saya sudah terlanjur berjanji pada diri sendiri. Untuk tidak akan mengais-ngais rejeki lagi. Ini hanya karena tugas. Dari seorang presiden. Maka saya tidak bisa menolak terus.

Dari Presiden SBY. Dengan perasaan ‘bersalah’ seperti itu saya datang ke kantor pusat PLN. Di hari kedua setelah pelantikan. Dengan menggunakan dasi dadakan.

Yang saya pinjam dari Satpam PLN. Satpam itu terpaksa melepas dasi hitamnya. Buru-buru. Hari itu saya sangat bisa maklum: banyak spanduk dipasang di kantor pusat PLN.

Isinya: menolak kedatangan saya. Pagar keliling gedung pun penuh dengan spanduk: mencurigai saya.  Demikian juga di puncak gedung berantai  17 itu.  

Saya lirik bunyinya apa saja. Tidak ada yang saya masukkan ke dada. Sekarang pun saya sudah lupa apa saja bunyinya. Hari pertama kerja itu saya lakukan pertemuan besar.  

Staf pimpinan hadir. Banyak karyawan yang datang. Saya langsung berdiri. Berbicara. Tidak pakai MC.  “Saudara-saudara, saya minta maaf bahwa saya menjadi direktur utama Anda semua.

Tentu saya tidak lebih pintar dari kalian. Apalagi di bidang listrik. Karena itu saya tidak akan lama di sini. Saya sudah mengajukan syarat kepada bapak presiden bahwa saya tidak mau menjabat selama lima tahun.

Kian pendek waktunya kian baik”. Seperti spontan saja. Kalimat itu meluncur begitu saja. Tanpa rencana.  Saya memang minta banyak syarat. Untuk mau diangkat jadi Dirut PLN.

Salah satunya: saya hanya mau maksimal tiga tahun. Saat itu saya baru merintis berdirinya pesantren internasional di Magetan. Untuk memperbaiki madrasah keluarga.

Warisan leluhur. Yang lebih 100 jumlahnya. Yang 120.000 santrinya. Saya harus ikut bertanggungjawab mengembangkannya. Ternyata harus saya tinggalkan.

Untuk jadi Dirut PLN.  Dengan perasaan ‘bersalah’ itulah saya menjadi direktur utama. Maka saya bertekad: untuk tidak mengajak satu pun orang dari luar.

Saya sudah punya pengalaman panjang. Bagaimana mengambil alih perusahaan gagal. Selalu saja saya temukan orang-orang hebat di perusahaan gagal itu. 

Maka saya juga sangat yakin akan menemukan orang-orang hebat di PLN. Dan saya benar-benar menemukannya. Dengan sangat mudah. Bahkan berlebih. 

Hasilnya sangat memuaskan. Krisis listrik cepat teratasi. Calo listrik lenyap dari bumi. Antrian  lama hilang dari mayapada: untuk pasang listrik. Alhamdulilah.

Tidak sampai dua tahun saya berada di kedudukan yang salah itu. Sekarang ini saya mengucapkan Alhamdulillah sekali lagi. Jabatan Dirut PLN sudah kembali ke ‘orang dalam’.

Biar pun sifatnya masih sementara. Dan kabarnya ia tidak mau ditetapkan jadi dirut yang definitif. Sudah dua ‘orang dalam’ yang diminta mengisi jabatan itu.

Tapi Dua-duanya tidak mau. Ngeri.  Tapi saya juga masih mendengar: banyak orang luar yang kasak-kusuk ingin masuk. Saya tidak melihat ada keadaan terpaksa: yang mengharuskan masuknya orang luar itu. 

Entahlah.  Mungkin saja penglihatan saya salah. Sudah enam tahun saya tidak tahu lagi dalamnya PLN. Dan dalamnya hutangnya.(Dahlan Iskan)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/