Komunitas Bali Mendongeng terdiri dari 24 penghobi dongeng. Komunitas yang dibentuk Agustus 2017 itu terus konsen berbagi cerita kepada anak-anak.
Setiap akhir pekan, mereka rutin mendongeng ke pelosok Bali. Yakni ke daerah perbukitan Kintamani dan ke Karangasem.
IB INDRA PRASETIA, Gianyar
MENGENAKAN seragam merah bertuliskan Bali Mendongeng, tiga anggota komunitas itu membekali diri dengan boneka sebagai piranti pendukung.
Ditemui beberapa hari lalu, tiga anggota komunitas itu, yakni Asta, Anton dan Dekdus, mengaku bertemu lewat grup Whatsapp (WA).
“Kami tidak punya markas. Markas kami di grup WA. Kalau mau diskusi di WA,” ujar Asta. Anggota grup WA yang terdiri dari 24 orang itu, apabila ingin ngumpul harus mencari tempat.
“Paling sering kami ketemu langsung di tempat acara. Karena kami nonprofit, ya kami keluarkan biaya sendiri ke
tempat acara,” ujarnya saat hendak mengisi acara mendongeng yang diselenggarakan Konsulat Australia di Kecamatan Sukawati.
Karena masing-masing anggota punya pekerjaan utama, maka agenda kumpul dilakukan setiap akhir pekan. Terutama Sabtu atau Minggu.
Komunitas itu berkomitmen berbagi cerita kepada anak-anak di pelosok daerah. “Kami punya agenda rutin ke Desa Buahan,
di Kecamatan Kintamani dan ke Karangasem. Tempatnya di pelosok, kami tiap minggu mendongeng di sana,” jelasnya.
Untuk di Kintamani, kebetulan ada pemilik rumah yang merelakan ruangannya dipakai tempat belajar gratis. Komunitas itu pun mengumpulkan anak-anak di sana.
“Ada silabusnya. Kami bercerita tentang apa saja. Yang lucu, cerita anak, macam-macam. Yang jelas yang baik untuk anak,” terangnya.
Asta menambahkan, yang penting, dongeng yang disampaikan masuk ke anak-anak tersebut. “Setelah kami cerita, kami tanya balik. Kamu ngerti nggak apa kata kami tadi,” terangnya.
Dengan begitu, anak-anak akan belajar berinteraksi dan paham alur cerita. “Tentu yang kami bawakan juga punya pesan moral.
Misalnya tidak buang sampah sembarangan,” jelas pria yang biasa mendongeng ke anak-anak kanker di bilangan Sanglah itu.
Daerah pelosok menjadi sasaran mendongeng karena anak-anak di sana kurang dalam literasi bahasa.
“Banyak anak yang masih belum bisa bahasa Indonesia. Makanya kami saat mendongeng di pelosok kadang bahasa Bali, kadang bahasa Indonesia,” jelasnya.
Dekdus menambahkan, sekali mendongeng, diperlukan waktu kurang lebih 30 menit. Dia berharap, upaya mendongeng ini bisa mencerdaskan kehidupan anak-anak di pelosok.
“Supaya anak-anak bisa berinteraksi. Anak-anak harus happy. Pesan kami juga sampai,” imbuh mahasiswa di salah satu kampus itu.
Lantaran sering ke pelosok, tak jarang komunitas itu dititipi perlengkapan sekolah oleh donatur. “Pas kami mau ke pelosok, kadang ada teman menitipkan alat tulis,” jelasnya.
Sampai di pelosok, perlengkapan sekolah itu kemudian dibagikan. Selain ke pelosok, tak jarang komunitas ini digaet mengisi acara di beberapa tempat.
Di antaranya di sekolah dan di event. Bahkan, saat gempa dan erupsi Gunung Agung lalu, pihaknya mendongeng di pengungsian.
“Tergantung situasinya gimana. Kalau di pengungsian, kami buat happy biar terhibur. Pernah bawakan di sekolah internasional, kami pakai bahasa Inggris,” ujarnya.
Sementara itu, anggota lainnya, Anton, mengaku mendongeng sambil belajar. “Awalnya sih nervous, lupa bahan, macam-macam. Akhirnya karena terbiasa, ya berusaha supaya tampil terbaik,” jelasnya.
Saat mendongeng ada beberapa perlengkapan yang dibawa. Paling sering membawa boneka I Belih dan I Gede. “Karakter ini paling sering kami pakai. Tapi ada boneka tambahan juga,” pungkasnya. (*)