DENPASAR – ForBali punya dasar kuat menolak reklamasi Teluk Benoa. Karena itu, ForBali sependapat dengan Presiden Jokowi.
Diketahui Presiden Jokowi membuat sebuah pernyataan pada 23 Juli 2019. Melalui akun twitternya, Presiden Jokowi menyatakan, “Indonesia berada di kawasan cincin api rawan bencana. Jadi, kalau di satu lokasi di daerah rawan gempa atau banjir, ya harus tegas disampaikan: jangan dibangun bandara, bendungan, perumahan. Lalu, pendidikan kebencanaan harus disampaikan secara masif kepada masyarakat”.
Nah, atas dasar tersebut, ForBali melakukan advokasi di daerah Bali selatan khususnya di Teluk Benoa dan sekitarnya menyatakan Bali Selatan masuk dalam daerah rawan bencana.
Pernyataan ForBali berdasar data dari Prof Kerry Sieh, Direktur Earth Observatory of Singapura yang telah mempelajari megathrust dari sisi barat Sumatera dan turun melalui Jawa dan Bali.
Data tersebut menunjukkan bahwa Bali selatan memiliki potensi gempa besar atau bahkan serangkaian gempa besar sekitar magnitude 8,5 hingga 9,0 di masa depan.
Berdasar publikasi dari Pusat Studi Gempa Nasional tahun 2017, Bali selatan merupakan salah satu titik dari 16 titik gempa megathrust di Indonesia.
Selain itu merupakan wilayah yang memiliki kerentanan bahaya gempabumi yang tinggi karena wilayah ini berada + 150 km sebelah selatan zona subduksi yang aktif.
Sejarah kegempaan di daerah ini telah mencatat peristiwa gempabumi besar seperti pada tahun 1862 : MMI VII, tahun 1890: MMI VII, tahun 1917 : MMI VII, tahun 1938 : MMI VII,
tahun 1961 : MMI VII tahun 1977 : MMI VIII, tahun 1979 : MMI VII – VIII, tahun 1985 : 6.2 SR, tahun 1987 : 5.7 SR, tahun 2004: 6.1 SR, 6.2 SR, 5.5 SR selatan Bali
Selain berpotensi gempa bumi dan tsunami, kawasan Perairan Teluk Benoa dan sekitarnya juga rawan likuifaksi, analisis potensi bahaya likuifaksi dan penurunan di daerah ini
menunjukkan bahwa hampir semua titik pengujian mengindikasikan terjadinya likuifaksi dan penurunan berdasarkan skenario gempabumi dengan magnitude 7.2 SR.
Dalam zona kerentanan potensi likuifaksi ini mengacu dari Iwasaki dkk 1982, maka dapat dibagi menjadi kerentanan rendah dengan indeks likuifaksi 0 – 5 m,
yang tersebar di Bandara Ngurah Rai, Kedonganan, tinggi dengan indeks 5 – 15 m di Tuban dan sangat tinggi > 15 m di daerah Tanjung Benoa – Serangan.
Dalam daftar desa kelas bahaya sedang dan tinggi tsunami, yang diterbitkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) disebutkan,
di Bali khususnya di Kecamatan Kuta Selatan, Kuta dan Denpasar Selatan, terdapat 19 Desa/Kelurahan yang terkategori dalam kelas bahaya tinggi tsunami diantaranya adalah Kedonganan,
Tuban, Kuta, Legian, Seminyak, Pecatu, Ungasan, Kutuh, Benoa, Tanjung Benoa, Jimbaran di Kabupaten Badung.
Pemogan, Pedungan, Sesetan, Serangan, Sidakarya, Sanur Kauh, Sanur Dan Sanur Kaja di Kota Denpasar.
Lalu apa tanggapan Koster selaku Gubernur Bali terkait data ini? “Kita minta sama Ratu Betara agar jangan terjadi di Bali,” singkatnya.
Sebelumnya kepada JawaPos.com, Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono mengatakan,
gempa bumi terjadi akibat deformasi batuan yang terjadi secara tiba-tiba, pada sumber gempa yang sebelumnya mengalami akumulasi medan tegangan di zona tersebut.
Pengaruh penjalaran tegangan itu selanjutnya secara kuantitatif masih sulit untuk diketahui. Teori yang berkembang saat ini baru dapat menjelaskan bahwa sebuah gempa bumi utama dapat membangkitkan atau memicu aftershocks.
Tapi, masih sulit untuk memperkirakan gempa besar rentetannya seperti beberapa kasus gempabumi doublet, triplet gempa bumi tektonik dalam waktu dan lokasi yang relatif berdekatan.
“Masyarakat diimbau agar tetap tenang namun waspada dan tidak percaya kepada isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya,” tambah Rahmat.