DENPASAR – Terdakwa Anak Agung Ngurah Alit Wiraputra atau akrab dipanggil Gung Alit, eks Ketua Kadin Bali kembali menjalani sidang lanjutan dengan agenda mendengarkan saksi ahli di Pengadilan Negeri Denpasar, Senin (5/8) siang.
Dalam perkara ini, guru besar dari Universitas Hasanudin (Unhas) Makasar Prof Dr M. Syukri Akub S.H M.H dihadirkan dalam persidangan yang dipimpin majelis hakim Ida Ayu Adnya Dewi.
Prof Syukri yang merupakan ahli pidana ini menerangkan unsur-unsur penting dalam sebuah tindak pidana penipuan.
“Kalau orang yang melakukan penipuan, itu harus ada niat dengan sengaja,” kata Prof Syukri. Hal ini berbeda dengan orang yang melakukan wanprestasi (tidak melakukan kewajiban/tidak selesai).
Sebab, di dalam wanprestasi, tidak ada niat sengaja. Diketahui, Gung Alit, eks Ketua Kadin ini duduk di kursi pesakitan atas perkara dugaan
penipuan pengurusan perizinan pengembangan reklamasi kawasan Pelabuhan Teluk Benoa ini dijerat dengan pasal 378 dan 372 KUHP.
Kedua pasal ini terkait penipuan dan penggelapan. Namun, Gung Alit menyebut dirinya dalam persidangan pemeriksaan dirinya, dia telah melakukan sejumlah tindakan untuk mengurus perizinan tersebut.
Seperti melakukan pertemuan dengan pihak Gubernur Bali Mangku Pastika kala itu dan juga mendapatkan surat rekomendasi dari pihak DPRD Provinsi Bali sebagai salah satu pendukung untuk mendapatkan perizinan.
“Kalau ada prestasi-prestasi, namun didalam perjalanan tidak dapat menyelesaikan seluruh perjanjian, maka itu masuk dalam wanprestasi dan itu perdata, bukan pidana,” kata saksi ahli.
Prof Syukri menganalogikan, seperti orang yang naik pohon kelapa. Kalau dalam perjanjian dia diminta naik sampai ujung tertinggi, namun dalam perjalanan dia hanya mampu pertengahan karena alasan tertentu, itu bukan berarti menipu.
“Penipuan itu diawali niat jahatnya. Kalau sudah dalam melakukan tugasnya, maka itu bukan masuk dalam unsur penipuan,” jelasnya lagi. “Ini namanya komitmen moral. Jangan berjanji kalau tidak bisa dilaksanakan,” imbuhnya.
Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Raka Arimbawa menyatakan, seseorang yang sadar akan dirinya tidak mampu melakukan sesuatu yang diperjanjikan adalah orang yang tak memiliki etikat baik.
“Dari awal orang ini nggak mampu, tapi tetap menandatangani kasus ini. Kalau tidak mampu, dan memang memiliki etikat baik, kenapa mesti diteruskan?” pungkasnya.