DENPASAR – Sidang lanjutan kematian bayi berinisial ENA yang berumur tiga bulan saat dititipkan di Tempat Penitipan Anak (TPA) Princess House Childcare, berlangsung haru.
Ini karena agenda sidang kemarin majelis hakim yang diketuai Heriyanti, itu menghadirkan kedua orang tua bayi, yaitu Andika Anggara (ayah bayi), Ika Saraswati Dewi (ibu bayi) dan Wayan Sumiati (nenek bayi).
Sedangkan terdakwa Listiani alias Tina, 39, (karyawan TPA) dan Ni Made Sudiani Putri, 39 (pengelola TPA) tetap duduk di kursi pesakitan.
Keduanya didampingi lima pengacara. Yang paling banyak memberikan keterangan adalah ayah ENA. Sedangkan ibunya tidak banyak bicara.
Ini karena Ika sebagai seorang ibu masih diselimuti perasaan sedih. Bahkan, saat jaksa penuntut umum (JPU) menunjukkan
video rekaman CCTV detik-detik sebelum bayi ENA meninggal di meja hakim, Ika tidak ikut maju melihat karena tidak kuat.
“Saat divisum tidak ada tanda-tanda kekerasan. Tapi, setelah autopsi tidak baru saya tahu penyebab kematian kehabisan oksigen. Setelah minum (bayi) ditengkurapkan 30 menit lebih,” ujar Andika.
Andika juga melihat ada tanda merah dan biru di wajah ENA. Tapi, ia tidak bisa memastikan apakah tanda tersebut bekas kekerasan.
Yang menarik, saat hakim Heriyanti menanyakan apakah sudah mengecek kelayakan TPA sebelum menitipkan anak, Andika dan Ika mengaku saat datang pertama kali datang ke TPA tempatnya sepi.
Bahkan, saat mau masuk melihat kamar anak-anak tidak diizinkan. Penjelasan Andika itu membuat hakim terkejut.
“Lalu bagaimana Anda bisa percaya, sehingga menitipkan anak ke TPA?” cecar hakim Heriyanti. Andika pun mengaku jika pihaknya mendapat informasi dari postingan di akun Instagram (IG).
“Saya percaya karena dalam postingan IG itu melihat anak-anak dididik dan diajak bermain,” kata Andika.
Tapi, Andika saat menitipkan anak tidak pernah ditunjukkan apakah pihak TPA memiliki kompetensi atau keahlian. Begitu juga Andika tidak menanyakan.
Ia hanya percaya pada postingan di IG. “Di dalam IG pihak TPA menerima anak mulai umur nol bulan. Makanya kami mempercayakan,” tutur Andika.
Pihak TPA juga tidak pernah menjelaskan apa saja yang dilakukan anak selama di TPA. Andika juga tidak pernah ditanya apakah anak ini memiliki alergi atau riwayat penyakit.
“Kami tidak diberikan penjelasan apapun. Kami percaya saja,” tukasnya. Hakim Angeliky Handajani Day sempat menasihati Andika dan Ika, sebagai pasangan muda harus dipelajari dulu sebelum percaya pada pengasuh anak.
“Di tangan siapa anak ini berada harus dimonitor. Ini sedikit miris ya. Bisa saja di IG diajak main di kamar, tapi aslinya kamar hotel atau rumah sakit,” kata Angeliky.
Hakim Heryanti ikut memberi nasihat. “Seandainya besok ada rezeki lagi (dikaruniai anak) jangan pernah percaya media sosial, harus dicek benar. Lain kali lebih teliti dan cermat,” kata Heriyanti.
Pengacara terdakwa menanyakan apakah keluarga bayi sudah memaafkan, Andika mengaku secara pribadi terutama setelah bayi kremasi sudah memaafkan.
“Tapi untuk proses hukum harus tetap berjalan,” tegas Andika. Mendengar pernyataan Andika, terdakwa pengelola TPA sempat meneteskan air dan mengelapnya menggunakan tisu.
Sebelumnya, dalam surat dakwaan JPU mendakwa Sudiani dengan dakwaan alternatif. Dakwaan kesatu disebutkan,
bahwa terdakwa Sudiani membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran.
“Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana Pasal 76D jo Pasal 77B Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,” jelas Jaksa Happy.
Atau kedua, bahwa Sudiani disebutkan bahwa karena kesalahan (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati. Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana Pasal 359 KUHP.
Sementara untuk terdakwa Listiani, jaksa juga mendakwanya dengan dua pasal. Yakni Pasal 76B jo Pasal 77B Undang-Undang RI
No.35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Juga dakwaan kedua Pasal 359 KUHP.