Tradisi Aci Keburan di Pura Hyang Api, Desa Kelusa, Kecamatan Payangan, berlangsung sejak Kuningan lalu hingga sebulan ke depan.
Selama waktu itu, ada puluhan ayam beradu di halaman pura. Tradisi itu sebagai simbol terima kasih atas kehidupan hewan yang tumbuh subur.
IB INDRA PRASETIA, Gianyar
HALAMAN Pura Hyang Api diramaikan dengan kehadiran ayam yang dibawa oleh masyarakat. Mereka mengadu ayam aduan itu dalam tradisi yang berlangsung selama sebulan penuh.
Upacara di pura itu datang setiap enam bulan. Ayam itu pun kemudian diadu satu sama lain. Salah satu pemangku pura, Ida Bagus Suragatana menyatakan, tradisi itu memang secara umum dilihat seperti tabuh rah.
Meski begitu, kata dia bukan sebagai tajen pada umumnya. “Ini sebagai simbolisasi karena peliharaan krama sudah hidup subur, dari peternak babi, ayam, bebek dan lain sebagainya,” ujarnya.
Tradisi itu untuk mentralisir wabah. “Ketika kena penyakit, krama juga biasanya nunas tirta di sini untuk diperciki peliharaannya yang kena penyakit tersebut,” papar pria asal Geria Gede, Desa Kelusa, Kecamatan Payangan itu.
Dia menegaskan jika tradisi Aci Keburan itu bukan sebagai tajen. Karena jika disebut tajen, maka masyarakat yang datang membawa ayamnya mencari sebuah keuntungan.
Sedangkan di Pura Hyang Api tidak berlaku menang dan kalah tersebut. Melainkan sistemnya ngayah, dan ngaturan sesari dari ayam yang dihaturkan dalam prosesi Aci itu.
“Sesuai informasi dari leluhur kami, tradisi ini sudah berlangsung sejak tahun 1.338 sebelum Masehi. Tidak disebut dengan judi atau tajen, karena ini ada rentetannya dengan pelaksanaan yadnya di Pura Hyang Api ini,” ujarnya.
Lanjutnya, apabila tradisi itu tidak dilakukan, dikhawatirkan akan terjadi hal yang tidak diinginkan.
“Seandainya tidak dilakukan, takutnya ada sebuah kabrebeh (hambatan) bagi peliharaan krama (warga, red),” ujarnya.
Suragatana menambahkan tujuan pelaksanaan Aci tersebut sebagai bentuk rasa syukur pemedek ataupun krama.
Mengingat pemedek yang datang ke sana tidak hanya dari daerah Payangan atau Gianyar saja.
Melainkan dari seluruh Bali yang yakin dengan keberadaan pura tersebut untuk memohon kesuburan pada peliharaannya dan digunakan sebagai pelengkap upacara.
“Pelaksanaannya juga berlangsung pada pagi hari, dimulai jam setengah delapan (07.30) sampai jam sepuluh (10.00).
Itu terus berlangsung selama sebulan, dimulai dari petoyan di Pura Hyang Api sejak Kuningan beberapa hari lalu,” pungkasnya. (*)