Inilah ngaji yang tidak tuntas. Belajar baru sepenggal. Lalu penasaran. Tapi sang guru telah wafat — Kyai Haji Maimoen Zubair. Selasa 6 Agustus lalu. Di usia 90 tahun.
Di tempat yang diimpikan banyak orang Islam: Makkah Al-Mukarromah. Keyakinan saya salah. Saya pikir beliau akan bisa mencapai usia 100 tahun.
Terlihat dari kesegaran beliau saat sudah berusia 88 tahun. Saat saya sowan ke rumah beliau. Untuk minta berkah. Sekaligus ngaji. Ketika pagi masih gelap.
Di kompleks Pondok Sarang. Di Rembang — tidak jauh dari perbatasan Jateng-Jatim. Saya terus ingin bertemu beliau lagi. Ada pelajaran yang belum selesai.
Pelajaran pagi itu. Baru setengah jam. Tapi akan saya ingat seumur hidup. Kata beliau: hukum Islam itu terus berkembang — setiap seratus tahun.
Di awal perkembangan Islam dulu. Seratus tahun pertama, kata beliau, sumber hukum Islam itu hanya Alquran. Seratus tahun kedua, baru bertambah: hadis.
Yakni ucapan dan perilaku Nabi Muhammad SAW. Seratus tahun ketiga, bertambah satu lagi: ijma’ ulama. Yakni kesepakatan para ulama.
Seratus tahun keempat, sumber hukum Islam berkembang lagi. Bertambah satu: qiyash. Yang kini sudah di-Indonesia-kan menjadi kias. Yakni menetapkan hukum baru, yang belum ada sebelumnya, berdasar persamaan masalah, latar belakang, manfaat dan akibatnya.
Beliau memberikan contoh satu persatu. Di tiap perkembangan itu. Dengan suara yang tegas. Dengan mimik yang tegar. Dengan alis mata yang naik-turun — alis mata yang tebal dan panjang memutih itu.
Sosok beliau sangat sederhana. Juga sangat ‘Jawa’. Seperti Sunan Giri. Beliau keturunan ke-13 Sunan Giri. Beliau juga keturunan ke-20 wali yang dianggap setara dengan nabi itu: Syekh Abdul Qadir Jaelani.
Kalau diurutkan ke Nabi Muhammad SAW beliau keturunan ke-34. Jadi, kata beliau, empat sumber hukum Islam itu tidak diterapkan serentak di satu zaman.
Jarak diterapkannya satu sumber hukum ke sumber hukum berikutnya sekitar 100 tahun. Berarti sekitar dua generasi. Sayang sekali santri mulai berdatangan.
Masuk ke bagian depan rumah itu. Matahari baru saja terbit di langit timur. Satu persatu santri bersila di lantai. Di hadapan Kyai Maimoen. Semua mengenakan sarung.
Juga kopiah. Sekitar 30 orang santri memenuhi ruang depan rumah Kyai. Ditambah dua teman saya: Arif Affandi dari Surabaya dan Gus Amik dari Magetan.
Saya turun dari kursi. Ikut duduk di lantai. Ikut membuka kitab kuning. Yang tulisan Arab-nya gundul –tanpa tanda baca. Itulah kitab yang ditulis 1000 tahun lalu.
Kitab filsafat: Ihya Ulumuddin. Karya filsuf besar dunia Imam Al Ghazali. Saya pun mulai mencari halaman yang akan dipelajari pagi itu. Dibantu salah seorang santri di sebelah saya.
Tapi Kyai Maimoen minta saya naik ke sofa lagi. Duduk di sebelah beliau. Yang juga sudah membuka kitab di pangkuan beliau. Pelajaran pun dimulai.
Beliau membaca kalimat-kalimat di kitab itu. Dalam bahasa Arab. Para santri menyimak halaman masing-masing. Saya juga menyimak halaman yang sama.
Sesekali Kyai Maimoen menjelaskan apa maksud kalimat itu. Dalam bahasa Jawa. Dengan suara yang datar. Di halaman kitab itu sebenarnya juga ada penjelasannya.
Ditempatkan di pinggir halaman. Dalam tulisan Arab tapi bunyinya dalam bahasa Jawa halus. Saat itulah Kyai Maimoen menyisipkan penjelasan pada saya.
Bahwa para santri itu kini sudah diakui pemerintah. Disamakan sebagai mahasiswa jurusan filsafat. Dengan gelar sarjana filsafat S-1. Saya pun harus kembali ke Surabaya.
Dengan sangat penasaran: belum sempat menanyakan kelanjutan dari perkembangan hukum Islam tadi. Pertanyaan itu sebenarnya sudah siap.
Dan sangat mengganggu pikiran saya. Tapi di hadapan Kyai Maimoen tidak bisa seperti wartawan. Yang berani memotong pembicaraan begitu saja. Pertanyaan itu pun saya bawa pulang ke Surabaya.
Dengan satu dendam: harus saya tanyakan pada beliau. Pada saatnya nanti. Kesempatan itu datang. Saya akan bertemu beliau lagi di Jombang.
Di pondok pesantren Denanyar. Di acara peringatan 40 hari wafatnya Kyai Aziz, pengasuh pondok Denanyar. Tapi manusia luar biasa banyaknya. Pun sampai jam 11 malam.
Saya memang diminta duduk di sebelah beliau. Sepanjang malam itu. Tapi kesempatan untuk diskusi serius tidak tersedia. Pertanyaan itu pun terus menggantung sampai sekarang:
mengapa seratus tahun dan seratus-seratus tahun berikutnya tidak lahir sumber hukum baru dalam Islam? Saya berharap masih bisa duduk lagi di sebelah beliau. Suatu saat kelak. Kalau pun tidak bisa, di emperan surga beliau pun sudah luar biasa.(Dahlan Iskan)