RadarBali.com – Ni Wayan Tangkih saat ditemui di ruang perawatan RS Buleleng mengaku tidak merasakan gejala akan melahirkan, ketika akan mengungsi.
Saat masuk pengungsian, usia kehamilannya sudah 9 bulan 2 minggu. Karena merasa belum waktunya melahirkan, dia tidak melapor ke petugas kesehatan.
“Saya biasa saja, tidak khawatir. Lima hari sebelum mengungsi, saya sudah USG. Setelah dilihat sama petugas di pengungsian, langsung dibawa ke puskesmas dan dibilang sudah bukaan,” ceritanya.
Ketika dirujuk ke RSUD Buleleng, dia pun hanya bisa pasrah. Tangkih mengaku tidak melakukan persiapan apa pun, karena tidak menyangka akan melahirkan di pengungsian.
Dia pun belum tahu anaknya akan diberi nama siapa. “Belum ada persiapan. Dipikir belakangan saja. Yang penting sudah lahir sehat dan selamat,” imbuhnya.
Pun saat ditanya kemungkinan namanya berisi kata “Agung”, Tangkih hanya tertawa. “Karena lagi mengungsi, bisa jadi namanya Ketut Ngungsi,” kelakarnya.
Untuk sementara, Tangkih masih dirawat di RSUD Buleleng bersama dengan bayinya. Sedangkan suaminya, Wayan Gunung, 40, masih tinggal di pengungsian.
Sesekali Wayan Gunung juga pulang ke desa, memberi pakan sapi. Di pengungsian, Gunung tinggal bersama anaknya, Nyoman Astawa, 17.
Nantinya Tangkih berencana membawa bayinya ke kerabatnya di Dusun Dulun Sampih, Desa Abang. Itu pun bila kondisi masih dianggap aman. Bila tidak, ia hanya bisa pasrah.
Sementara itu, Wakil Bupati Buleleng dr. Nyoman Sutjidra menyatakan pemerintah akan menanggung biaya pengobatan Wayan Tangkih.
Wabup Sutjidra menegaskan seluruh pengungsi yang mendapat pelayanan kesehatan, baik di puskesmas maupun di rumah sakit milik pemerintah, tidak akan dikenakan biaya.
“Biaya nanti pemerintah yang menanggung. Pokoknya pengungsi, selama dia dirawat di fasilitas pemerintah, tidak dikenakan biaya,” kata Sutjidra.
Lebih lanjut Sutjidra menyatakan, Wayan Tangkih bersama bayinya, tidak dikembalikan ke pengungsian. Kondisi pengungsian yang berdebu, sangat riskan bagi bayi yang baru lahir.
Bahkan, bisa berdampak fatal. Setidaknya selama sebulan mendatang, pemerintah akan menampung Tangkih di fasilitas yang ada.
“Nanti kami tampung di kota. Di dekat rumah sakit kan ada rumah singgah. Nanti ditampung di sana. Tidak boleh balik ke pengungsian. Riskan,” tegasnya.
Di sisi lain, pengungsi yang mengalami sakit terus bertambah. Data di tenda pengungsian Desa Les menyebutkan, dalam sehari setidaknya ada 30 hingga 50 orang pengungsi yang memeriksakan kesehatan ke pos pelayanan.
Mayoritas mengeluh mengalami pilek dan sesak nafas. Ada pula yang mengalami gatal-gatal dan diare.
Siang kemarin, seorang pengungsi, Wayan Sati, warga Desa Ban, juga dievakuasi ke Puskesmas Tejakula I karena mengalami dehidrasi.