25.2 C
Jakarta
22 November 2024, 6:37 AM WIB

Curhat Jelang Diadili, Sudikerta: Uang Saya Bukan Hasil Kejahatan

DENPASAR – Sehari jelang sidang perdana di PN Denpasar, mantan Wagub Bali I Ketut Sudikerta mengeluarkan unek-unek alias isi hatinya yang terpendam.

Dari balik jeruji besi, pria yang akrab disapa Tomi Kecil itu menuangkan curahan hatinya pada tiga lembar kertas yang kemudian dititipkan pada salah seorang kerabatnya bernama Made Sukardin.

Ini adalah pertama kalinya Sudikerta mau buka suara sejak ditahan Polda Bali pada 4 April 2019 atau lima bulan lalu.

Lalu apa isi curhatan politikus kelahiran Pecatu, Badung, 52 tahun silam itu? Sudikerta mengaku raganya memang dalam penahanan dan perlindungan aparat penegak hukum.

Namun, ia menyatakan sejatinya jiwanya dalam perlindungan Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan).

“Pada ruang tahanan yang sempit ini, air mata, air kencing, dan kotoran menjadi satu, justru menjadi dasar kekuatan mencari kebenaran dan keadilan,” tutur Sudikerta mengawali curhatnya.

Mantan Wabup Badung, itu berjanji akan menggunakan proses hukum di PN Denpasar dengan sebaik-baiknya untuk mencari keadilan terhadap apa yang selama ini menjeratnya.

Sudikerta menjelaskan, semua berawal pada 2013 saat dirinya didatangi oleh seseorang berinisial HK dan WS, yang menanyakan tanah seluas 3.300 m2 dengan SHM nomor 16249.

“Saya ditanya, ‘apakah dijual?’ saya katakan dijual yang penting cocok harganya,” cerita Sudikerta.

Lalu, lanjut Sudikerta, dirinya ditanya apakah tanah tersebut bisa digabung dengan tanahnya Pak Wakil (Wayan Wakil, tersangka berkas terpisah) seluas 38.650 m2.

Sudikerta kemudian menghubungi Wakil yang kemudian datang menunjukkan sertifikat untuk dilihat dan disepakati dibeli.

Menurut Sudikerta, dirinya kemudian mengecek status tanah di BPN melalui notaris Ketut Neli Asih.

“Hasilnya bersih (tidak ada masalah) sampai tiga kali cek. Selanjutnya, sampai tiga bulan baru ada perkembangan HK dan WS

datang dengan konsep kerja sama 55 persen dan 45 persen. Selanjutnya semua diurus oleh HK,” ungkap suami Ida Ayu Ketut Sri Sumiatini itu.

Sudikerta menambahkan, ketika PT Marindo Investama (di mana pelapor salah satu pemilik sahamnya) sepakat untuk merger dengan PT Pecatu Bangun Gemilang, di mana istrinya sebagai salah satu pemegang sahamnya.

Kemudian membentuk badan usaha baru bernama PT Marindo Gemilang pada notaris Wimphry Suwignjo sebagaimana akta nomor: 38 tanggal 14 Desember 2013.

Dalam akta tersebut disepakati nilai saham berupa modal setor PT Marindo Gemilang adalah Rp 272,6 miliar berupa aset tanah

masing-masing SHM bernomor 5048 seluas 38.650 m2 dan SHM bernomor 16249 seluas 3.300 m2.

Di mana pelapor PT Marindo Investama memiliki sebesar 55 persen atau senilai Rp 149,9 miliar. “Sedangkan istri saya sebesar 45 persen atau Rp 122,7 miliar,” imbuhnya.

Selanjutnya terjadilah pelepasan hak terhadap tanah SHM bernomor 5048 seluas 38.650 m2 kepada notaris Ketut Neli Asih sebagaimana akta nomor: 50 tertanggal 20 Desember 2013.

Kemudian terbitlah sertifikat HGB nomor: 5074/Jimbaran tertanggal 7 April 2014 dijadikan jaminan pinjaman uang

di Bank Panin senilai 90 miliar oleh AM. Dari jumlah tersebut sebesar Rp 89 miliar dipakai untuk membayar kekurangan pembelian saham.

“Jadi, uang Rp 89 miliar itu bukan merupakan uang AM adalah uang milik PT Pecatu Bangun Gemilang.

Karena itu, saya tidak ada melakukan penggelapan dan penipuan terhadap AM,” tandas pria kelahiran 29 Agustus 1967 itu.

Terkait dengan pemalsuan sertifikat SHM nomor: 5048 seluas 38.650 m2, Sudikerta menyatakan tidak tahu dan tidak pernah memalsukan serta tidak pernah menyuruh orang menggunakan surat tersebut.

Menurut dia, tindak pidana pemalsuan tersebut sudah pernah dipernah diperiksa oleh penyidik Polda Bali dan kasusnya sudah dihentikan melalui penerbitan SP3. Pelapor mengajukan praperadilan namun ditolak hakim.

“Karena tidak ada pemalsuan surat, tidak ada penggelapan, dan tidak ada penipuan, maka uang yang saya terima bukanlah merupakan hasil kejahatan, sehingga tidak ada tindak pidana pencucian uang,” bantahnya.

Di akhir curhatnya, Sudikerta menyatakan dirinya tidak terbukti atau tidak cukup terbukti tindak pidana pemalsuan surat karena tidak ada pihak yang dirugikan.

Dirinya juga mengetahui adanya sertifikat nomor: 5048 dengan luas tanah 38.650 m2, dan tidak pernah membuat atau menyuruh orang melakukan pemalsuan.

“Saya tidak terbukti melakukan penggelapan karena uang. Yang saya terima adalah merupakan uang milik saya yang dikelola oleh PT Pecatu Bangun Gemilang,” sangkalnya.

Ia juga membantah melakukan penipuan. Ia menyebut semua tindakannya berdasar akta perjanjian nomor: 73 tertanggal 14 Desember 2013.

“Tidak benar adanya pencucian uang karena uang saya terima dan bagikan kepada beberapa orang adalah bukan hasil kejahatan,” tegasnya.

Terkait dengan berita yang pada intinya bahwa menyampaikan tanah SHM nomor: 16249 seluas 3.300 m2 sudah dijual sebelumnya,

Sudikerta mengatakan memang pernah dijaminkan dengan membuat PPJB (Perjanjian Perikatan Jual Beli).

Tapi, uang pinjamannya sudah dikembailkan dan tanah tersebut sudah diserahkan kepada Puri Jambe Celagi Gendong sebagai tanah pengganti. 

DENPASAR – Sehari jelang sidang perdana di PN Denpasar, mantan Wagub Bali I Ketut Sudikerta mengeluarkan unek-unek alias isi hatinya yang terpendam.

Dari balik jeruji besi, pria yang akrab disapa Tomi Kecil itu menuangkan curahan hatinya pada tiga lembar kertas yang kemudian dititipkan pada salah seorang kerabatnya bernama Made Sukardin.

Ini adalah pertama kalinya Sudikerta mau buka suara sejak ditahan Polda Bali pada 4 April 2019 atau lima bulan lalu.

Lalu apa isi curhatan politikus kelahiran Pecatu, Badung, 52 tahun silam itu? Sudikerta mengaku raganya memang dalam penahanan dan perlindungan aparat penegak hukum.

Namun, ia menyatakan sejatinya jiwanya dalam perlindungan Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan).

“Pada ruang tahanan yang sempit ini, air mata, air kencing, dan kotoran menjadi satu, justru menjadi dasar kekuatan mencari kebenaran dan keadilan,” tutur Sudikerta mengawali curhatnya.

Mantan Wabup Badung, itu berjanji akan menggunakan proses hukum di PN Denpasar dengan sebaik-baiknya untuk mencari keadilan terhadap apa yang selama ini menjeratnya.

Sudikerta menjelaskan, semua berawal pada 2013 saat dirinya didatangi oleh seseorang berinisial HK dan WS, yang menanyakan tanah seluas 3.300 m2 dengan SHM nomor 16249.

“Saya ditanya, ‘apakah dijual?’ saya katakan dijual yang penting cocok harganya,” cerita Sudikerta.

Lalu, lanjut Sudikerta, dirinya ditanya apakah tanah tersebut bisa digabung dengan tanahnya Pak Wakil (Wayan Wakil, tersangka berkas terpisah) seluas 38.650 m2.

Sudikerta kemudian menghubungi Wakil yang kemudian datang menunjukkan sertifikat untuk dilihat dan disepakati dibeli.

Menurut Sudikerta, dirinya kemudian mengecek status tanah di BPN melalui notaris Ketut Neli Asih.

“Hasilnya bersih (tidak ada masalah) sampai tiga kali cek. Selanjutnya, sampai tiga bulan baru ada perkembangan HK dan WS

datang dengan konsep kerja sama 55 persen dan 45 persen. Selanjutnya semua diurus oleh HK,” ungkap suami Ida Ayu Ketut Sri Sumiatini itu.

Sudikerta menambahkan, ketika PT Marindo Investama (di mana pelapor salah satu pemilik sahamnya) sepakat untuk merger dengan PT Pecatu Bangun Gemilang, di mana istrinya sebagai salah satu pemegang sahamnya.

Kemudian membentuk badan usaha baru bernama PT Marindo Gemilang pada notaris Wimphry Suwignjo sebagaimana akta nomor: 38 tanggal 14 Desember 2013.

Dalam akta tersebut disepakati nilai saham berupa modal setor PT Marindo Gemilang adalah Rp 272,6 miliar berupa aset tanah

masing-masing SHM bernomor 5048 seluas 38.650 m2 dan SHM bernomor 16249 seluas 3.300 m2.

Di mana pelapor PT Marindo Investama memiliki sebesar 55 persen atau senilai Rp 149,9 miliar. “Sedangkan istri saya sebesar 45 persen atau Rp 122,7 miliar,” imbuhnya.

Selanjutnya terjadilah pelepasan hak terhadap tanah SHM bernomor 5048 seluas 38.650 m2 kepada notaris Ketut Neli Asih sebagaimana akta nomor: 50 tertanggal 20 Desember 2013.

Kemudian terbitlah sertifikat HGB nomor: 5074/Jimbaran tertanggal 7 April 2014 dijadikan jaminan pinjaman uang

di Bank Panin senilai 90 miliar oleh AM. Dari jumlah tersebut sebesar Rp 89 miliar dipakai untuk membayar kekurangan pembelian saham.

“Jadi, uang Rp 89 miliar itu bukan merupakan uang AM adalah uang milik PT Pecatu Bangun Gemilang.

Karena itu, saya tidak ada melakukan penggelapan dan penipuan terhadap AM,” tandas pria kelahiran 29 Agustus 1967 itu.

Terkait dengan pemalsuan sertifikat SHM nomor: 5048 seluas 38.650 m2, Sudikerta menyatakan tidak tahu dan tidak pernah memalsukan serta tidak pernah menyuruh orang menggunakan surat tersebut.

Menurut dia, tindak pidana pemalsuan tersebut sudah pernah dipernah diperiksa oleh penyidik Polda Bali dan kasusnya sudah dihentikan melalui penerbitan SP3. Pelapor mengajukan praperadilan namun ditolak hakim.

“Karena tidak ada pemalsuan surat, tidak ada penggelapan, dan tidak ada penipuan, maka uang yang saya terima bukanlah merupakan hasil kejahatan, sehingga tidak ada tindak pidana pencucian uang,” bantahnya.

Di akhir curhatnya, Sudikerta menyatakan dirinya tidak terbukti atau tidak cukup terbukti tindak pidana pemalsuan surat karena tidak ada pihak yang dirugikan.

Dirinya juga mengetahui adanya sertifikat nomor: 5048 dengan luas tanah 38.650 m2, dan tidak pernah membuat atau menyuruh orang melakukan pemalsuan.

“Saya tidak terbukti melakukan penggelapan karena uang. Yang saya terima adalah merupakan uang milik saya yang dikelola oleh PT Pecatu Bangun Gemilang,” sangkalnya.

Ia juga membantah melakukan penipuan. Ia menyebut semua tindakannya berdasar akta perjanjian nomor: 73 tertanggal 14 Desember 2013.

“Tidak benar adanya pencucian uang karena uang saya terima dan bagikan kepada beberapa orang adalah bukan hasil kejahatan,” tegasnya.

Terkait dengan berita yang pada intinya bahwa menyampaikan tanah SHM nomor: 16249 seluas 3.300 m2 sudah dijual sebelumnya,

Sudikerta mengatakan memang pernah dijaminkan dengan membuat PPJB (Perjanjian Perikatan Jual Beli).

Tapi, uang pinjamannya sudah dikembailkan dan tanah tersebut sudah diserahkan kepada Puri Jambe Celagi Gendong sebagai tanah pengganti. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/