26.7 C
Jakarta
31 Oktober 2024, 3:20 AM WIB

Oktober You

Bulan bahasa kian dekat. Naskah sudah boleh dikirim ke email: redaksi@disway.id. Agar mulai bisa dimuat di DI’s Way edisi 1 Oktober. Hari itu saya juga akan memulai yang baru.

Saya akan membedakan dalam menulis “nya”.  Akan ada “nya” dan akan ada “nyi”.  Itu sebagai kelanjutan dari langkah saya tahun lalu. Yang –alhamdulillah– bisa saya lakukan secara konsisten.

Sampai hari ini. Yakni soal pembedaan “dia” dan “ia”. Saya selalu menulis “dia” untuk perempuan dan “ia” untuk laki-laki.  Awalnya saya ingin sebaliknya –dia untuk laki-laki.

Tapi seorang pembaca DI’s Way mengusulkan sebaliknya. Alasannya sangat logis. Saya pun mengikuti usul itu.  Saya ingin memberikan oleh-oleh syal Leicester kepadanya.

Yang saya beli di toko resmi di stadion Leicester. Tapi saya kehilangan nama dan alamatnya. Juga khawatir ia tidak suka sepak bola. Memang gema perubahan “dia” dan “ia” tidak ada.

Tidak menjadi perhatian umum. Tidak jadi bahasan di fakultas bahasa. Yang lebih dipersoalan adalah “hutang” atau “utang”. Atau soal “terlantar” dan “telantar”.

Dan sebangsanya.  Juga soal penggunaan kata “sedang” yang tidak boleh diganti “lagi”. Semua itu memang harus diluruskan. Saya juga –dengan tertatih-tatih harus memperhatikannya.

Saya masih sering lupa –terutama kalau lagi konsentrasi di kualitas isi. Tapi itu tidak menghalangi saya untuk memulai “nya” dan “nyi”.  Mulai tanggal 1 Oktober nanti, kalau saya menulis “katanya”, berarti yang mengatakan adalah sosok laki-laki.  

Kalau saya nanti menulis “katanyi” berarti yang mengatakan adalah sosok wanita.  Demikian juga dengan “miliknya” (pemiliknya laki-laki) dan “miliknyi” (pemiliknya perempuan).

Tentu langkah itu saya lakukan untuk masa depan. Agar karya-karya tulis Indonesia bisa mendunia. Lewat Google Translate. Dengan terjemahan yang akurat. 

Penerjemahan Google itu kian tahun kian baik. Tapi Google mengalami banyak masalah. Ketika harus menerjemahkan dari naskah berbahasa Indonesia.  

Kalau saya menulis “katanya” sering diterjemahkan dengan “he said”. Padahal yang mengatakan itu wanita.  Saya juga terpikir untuk menggunakan “katanyo” (laki-laki), “katanya” (perempuan).

Bisa lebih mengakomodasikan bahasa daerah Minang. Tapi terserah pembaca. Mana yang lebih baik. Toh 1 Oktober masih satu minggu lagi. 

Dalam bahasa Mandarin lebih kongkrit lagi. “Dia” untuk laki-laki dibedakan dengan “dia” untuk perempuan dan “dia” untuk barang.  “Dia” untuk laki-laki tulisannya ä»–.

“Dia” untuk wanita ditulis 她. “Dia” untuk benda ditulis 它. Saat saya di sebuah hotel di Cardiff minggu lalu “dia” untuk barang ditulis ‘she’ (perempuan).

Yakni ketika di lantai hotel ada pengisap debu yang jalan sendiri. Seperti yang saya punya di Surabaya. Saya pikir Made In China. Ternyata bikinan Oxford, Inggris. 

Dalam penjelasan mengenai kemampuan robot itu selalu saja dia disebut ‘she’. Mungkin karena barang itu mengganti tugas wanita? Tentu, saya juga terdorong oleh pembaca DI’s Way di luar negeri.

Teman-teman saya. Di berbagai belahan dunia. Termasuk yang di Liverpool. Merekalah yang menjelaskan terjemahan Google kian baik. Tapi terhalang banyak hal.  

Saya tidak perlu memberi hadiah kaus Liverpool pada mereka –terutama pembaca-pembaca yang tinggal di Liverpool itu. Mau tidak mau kita harus mendekat ke bahasa Inggris.

Atau Mandarin. Seberapa tidak masuk akalnya pun bahasa Inggris. Saya pernah mempersoalkan ini kepada John Mohn –wartawan Amerika yang saya anggap mumpuni dalam bahasa Inggris: bagaimana bisa ‘one’ dibaca ‘wan’. “

Seharusnya dibaca oni,” kata saya.  John tidak bisa menjawab.  Demikian juga mengapa ‘w’ disebut ‘double u’. Ia juga tidak bisa menjawab.  

Saya sendiri akhirnya tahu. Saat saya di Cardiff, Wales, Inggris kali ini. Rupanya dari sinilah asalnya: mengapa ‘w’ dibaca ‘double u’. Simaklah foto di mal yang menyertai tulisan ini.  

Itu toko alat-alat kecantikan. Lihatlah tulisan di depannya. Yang terjemahannya adalah ‘beauty’.  Semula saya tidak bisa mengejanya. Huruf matinya terlalu banyak.

Huruf hidupnya hanya satu.  Di situ ada lima huruf yang semuanya huruf mati. Coba, bagaimana membacanya. Saya pun bertanya pada orang yang lewat di situ.

Jarang yang bisa menjelaskan.  Itu bahasa daerah Wales. Lantas ada lagi yang lewat di situ. Saya tanya lagi. Ia bisa menjelaskan. “Huruf w itu Anda baca seperti u, tapi agak panjang,” katanya.  

Oh, berarti w itu huruf hidup. Di Wales ini.  Itu rupanya mengapa w disebut double u.  Wales tampak ingin mempertahankan bahasanya. Yang menjelang kematiannya.

Nama-nama dan petunjuk jalan harus menyertakan tulisan Wales – -di depan tulisan Inggris.  Kita juga harus terus mempermodern bahasa kita. Sekecil apa pun usaha itu. Termasuk soal ia, dia, nya, nyi, atau pun nyo.(Dahlan Iskan) 

Bulan bahasa kian dekat. Naskah sudah boleh dikirim ke email: redaksi@disway.id. Agar mulai bisa dimuat di DI’s Way edisi 1 Oktober. Hari itu saya juga akan memulai yang baru.

Saya akan membedakan dalam menulis “nya”.  Akan ada “nya” dan akan ada “nyi”.  Itu sebagai kelanjutan dari langkah saya tahun lalu. Yang –alhamdulillah– bisa saya lakukan secara konsisten.

Sampai hari ini. Yakni soal pembedaan “dia” dan “ia”. Saya selalu menulis “dia” untuk perempuan dan “ia” untuk laki-laki.  Awalnya saya ingin sebaliknya –dia untuk laki-laki.

Tapi seorang pembaca DI’s Way mengusulkan sebaliknya. Alasannya sangat logis. Saya pun mengikuti usul itu.  Saya ingin memberikan oleh-oleh syal Leicester kepadanya.

Yang saya beli di toko resmi di stadion Leicester. Tapi saya kehilangan nama dan alamatnya. Juga khawatir ia tidak suka sepak bola. Memang gema perubahan “dia” dan “ia” tidak ada.

Tidak menjadi perhatian umum. Tidak jadi bahasan di fakultas bahasa. Yang lebih dipersoalan adalah “hutang” atau “utang”. Atau soal “terlantar” dan “telantar”.

Dan sebangsanya.  Juga soal penggunaan kata “sedang” yang tidak boleh diganti “lagi”. Semua itu memang harus diluruskan. Saya juga –dengan tertatih-tatih harus memperhatikannya.

Saya masih sering lupa –terutama kalau lagi konsentrasi di kualitas isi. Tapi itu tidak menghalangi saya untuk memulai “nya” dan “nyi”.  Mulai tanggal 1 Oktober nanti, kalau saya menulis “katanya”, berarti yang mengatakan adalah sosok laki-laki.  

Kalau saya nanti menulis “katanyi” berarti yang mengatakan adalah sosok wanita.  Demikian juga dengan “miliknya” (pemiliknya laki-laki) dan “miliknyi” (pemiliknya perempuan).

Tentu langkah itu saya lakukan untuk masa depan. Agar karya-karya tulis Indonesia bisa mendunia. Lewat Google Translate. Dengan terjemahan yang akurat. 

Penerjemahan Google itu kian tahun kian baik. Tapi Google mengalami banyak masalah. Ketika harus menerjemahkan dari naskah berbahasa Indonesia.  

Kalau saya menulis “katanya” sering diterjemahkan dengan “he said”. Padahal yang mengatakan itu wanita.  Saya juga terpikir untuk menggunakan “katanyo” (laki-laki), “katanya” (perempuan).

Bisa lebih mengakomodasikan bahasa daerah Minang. Tapi terserah pembaca. Mana yang lebih baik. Toh 1 Oktober masih satu minggu lagi. 

Dalam bahasa Mandarin lebih kongkrit lagi. “Dia” untuk laki-laki dibedakan dengan “dia” untuk perempuan dan “dia” untuk barang.  “Dia” untuk laki-laki tulisannya ä»–.

“Dia” untuk wanita ditulis 她. “Dia” untuk benda ditulis 它. Saat saya di sebuah hotel di Cardiff minggu lalu “dia” untuk barang ditulis ‘she’ (perempuan).

Yakni ketika di lantai hotel ada pengisap debu yang jalan sendiri. Seperti yang saya punya di Surabaya. Saya pikir Made In China. Ternyata bikinan Oxford, Inggris. 

Dalam penjelasan mengenai kemampuan robot itu selalu saja dia disebut ‘she’. Mungkin karena barang itu mengganti tugas wanita? Tentu, saya juga terdorong oleh pembaca DI’s Way di luar negeri.

Teman-teman saya. Di berbagai belahan dunia. Termasuk yang di Liverpool. Merekalah yang menjelaskan terjemahan Google kian baik. Tapi terhalang banyak hal.  

Saya tidak perlu memberi hadiah kaus Liverpool pada mereka –terutama pembaca-pembaca yang tinggal di Liverpool itu. Mau tidak mau kita harus mendekat ke bahasa Inggris.

Atau Mandarin. Seberapa tidak masuk akalnya pun bahasa Inggris. Saya pernah mempersoalkan ini kepada John Mohn –wartawan Amerika yang saya anggap mumpuni dalam bahasa Inggris: bagaimana bisa ‘one’ dibaca ‘wan’. “

Seharusnya dibaca oni,” kata saya.  John tidak bisa menjawab.  Demikian juga mengapa ‘w’ disebut ‘double u’. Ia juga tidak bisa menjawab.  

Saya sendiri akhirnya tahu. Saat saya di Cardiff, Wales, Inggris kali ini. Rupanya dari sinilah asalnya: mengapa ‘w’ dibaca ‘double u’. Simaklah foto di mal yang menyertai tulisan ini.  

Itu toko alat-alat kecantikan. Lihatlah tulisan di depannya. Yang terjemahannya adalah ‘beauty’.  Semula saya tidak bisa mengejanya. Huruf matinya terlalu banyak.

Huruf hidupnya hanya satu.  Di situ ada lima huruf yang semuanya huruf mati. Coba, bagaimana membacanya. Saya pun bertanya pada orang yang lewat di situ.

Jarang yang bisa menjelaskan.  Itu bahasa daerah Wales. Lantas ada lagi yang lewat di situ. Saya tanya lagi. Ia bisa menjelaskan. “Huruf w itu Anda baca seperti u, tapi agak panjang,” katanya.  

Oh, berarti w itu huruf hidup. Di Wales ini.  Itu rupanya mengapa w disebut double u.  Wales tampak ingin mempertahankan bahasanya. Yang menjelang kematiannya.

Nama-nama dan petunjuk jalan harus menyertakan tulisan Wales – -di depan tulisan Inggris.  Kita juga harus terus mempermodern bahasa kita. Sekecil apa pun usaha itu. Termasuk soal ia, dia, nya, nyi, atau pun nyo.(Dahlan Iskan) 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/