29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 10:20 AM WIB

Masalah Pura Hyang Pasek Gaduh Memanas, Pemangku Lapor Polda Bali

DENPASAR – Permasalahan Pura Hyang Pasek Gaduh di Canggu, Kuta Utara, Badung kembali memanas.

Pemangku Pura Hyang Pasek Gaduh, I Wayan Medri, 77, melaporkan 4 orang ke bagian pengaduan masyarakat Dit Reskrimum Polda Bali kemarin.

Keempat orang yang dilaporkan itu adalah Kornelius I Wayan Mega, 63; Thomas I Nengah Suprata, 60; I Wayan Emilius, 51, dan I Nyoman Bernadus, 51.

Untuk diketahui, Wayan Medri ke Polda Bali tak lain dan tak bukan buntut panjang dari sengketa tanah Pura Hyang Pasek Gaduh yang berada di Banjar Babakan, Desa Canggu, Kecamatan Kuta Utara.

Tanah pura seluas 2,5 are itu merupakan tanah pusaka warisan keluarga. I Nyoman Sukrayasa bersama timnya selaku kuasa hukum Wayan Medri mengatakan sengketa tanah pada Pura tersebut sudah berlangsung lama.

Bahkan perkaranya sudah berproses di beberapa pengadilan. Pertama di Pengadilan Negeri Denpasar dan diputuskan 22 Januari 2015.

Dalam putusan dengan nomor 383/Pdt.G/2014/PN.DPS Wayan Medri dinyatakan kalah. Wayan Medri melakukan upaya hukum ke Pengadilan Tinggi Denpasar.

Berdasar putusan dengan nomor 80/PDT/2015/PT.DPS Pengadilan Tinggi Denpasar tanggal 12 Agustus 2015 Wayan Medri dinyatakan menang.

Perkaranya tak berhenti sampai di situ, tapi dilanjutkan ke Mahkamah Agung. Dalam putusan MA dengan nomor 92K/PDT/2016 Wayan Medri dinyatakan menang.

Namun, proses hukum tetap berlanjut dengan Peninjauan Kembali (PK). PK dengan nomor 482 PK/PDT/2018 memenangkan terlapor.

Dikatakan posisi hukum dalam dalil gugatan putusan PK itu menguatkan putusan PN Denpasar. Kebetulan putusan di PN Denpasar jadi pertimbangan PK dan menguatkan putusan tersebut.

Atas kekalahan itu pihaknya selaku kuasa hukum Wayan Medri melakukan kajian. Hasilnya, terlapor diduga melakukan pemalsuan silsilah yang dibawa pada saat persidangan PK.

Pemalsuan silsilah yang dimaksud itu, lanjut Sukrayasa, adalah ada yang hilang atau terpotong pada garis keturunan dan ada juga kekurangan tanda tangan pengesahan.

Karena itu, pihaknya melakukan upaya hukum yaitu dengan silsilah yang dimiliki. Data silsilah itu didapat dari penglingsir dan komponen masyarakat dari Pura Hyang Pasek Gaduh tersebut.

“Jadi, inti laporan kami diduga terlapor ada indikasi memalsukan silsilah yang dipakai sebagai alat bukti surat waktu proses sidang di Pengadilan Negeri Denpasar,” tuturnya.

Upaya melaporkan keempat terlapor ungkap Sukrayasa adalah sebagai langkah antisipasi sebelum Pura tersebut dieksekusi oleh PN Denpasar.

Terkait eksekusi pemberitahuan dari Pengadilan belum ada. Dalam konteks ini pihaknya antisipasi. “Dulu kamar perkaranya perdata, kini kami bawa ke kamar pidana,” tandas Sukrayasa.

Sukrayasa menyatakan keempat terlapor sebenarnya adalah bagian dari keluarga besarnya. Namun posisi hubungan kekeluargaannya jauh berpisah 4 turunan.

Tanah tersebut merupakan milik dari Nang Rangin pada tahun 1846. Saat itu luas keseluruhannya 20,5 are. Wayan Medri membeberkan setelah Nang Tangin meninggal, kepemangkuan Pura tersebut dilanjutkan anak pertamanya, yakni I Rangin.

Setelah I Rangin meninggal, kepemangkuan Pura tersebut dilanjutkan putera pertamanya yakni, I Rawig.

Setelah I Rawig meninggal, kepemangkuan Pura tersebut dilanjutkan oleh, I Nengah Lawa yang merupakan saudara sepupu dari, I Rawig dan anak Dari I Wangin.

I Nengah Lawa diperkirakan jadi pemangku pada Pura tersebut diperkirakan tahun 1942-1962. Pada tahun 1962, I Nengah Lawa pindah kepercayaan memeluk agama Katolik.

Kepemangkuan Pura tersebut ditinggalkannya sehingga diambil alih oleh anak dari I Rangin, Yaitu I Ketut Narwi.

Setelah I Ketut Narwi meninggal kepemangkuan Pura tersebut dilanjutkan oleh I Wayan Medri sampai sekarang.

DENPASAR – Permasalahan Pura Hyang Pasek Gaduh di Canggu, Kuta Utara, Badung kembali memanas.

Pemangku Pura Hyang Pasek Gaduh, I Wayan Medri, 77, melaporkan 4 orang ke bagian pengaduan masyarakat Dit Reskrimum Polda Bali kemarin.

Keempat orang yang dilaporkan itu adalah Kornelius I Wayan Mega, 63; Thomas I Nengah Suprata, 60; I Wayan Emilius, 51, dan I Nyoman Bernadus, 51.

Untuk diketahui, Wayan Medri ke Polda Bali tak lain dan tak bukan buntut panjang dari sengketa tanah Pura Hyang Pasek Gaduh yang berada di Banjar Babakan, Desa Canggu, Kecamatan Kuta Utara.

Tanah pura seluas 2,5 are itu merupakan tanah pusaka warisan keluarga. I Nyoman Sukrayasa bersama timnya selaku kuasa hukum Wayan Medri mengatakan sengketa tanah pada Pura tersebut sudah berlangsung lama.

Bahkan perkaranya sudah berproses di beberapa pengadilan. Pertama di Pengadilan Negeri Denpasar dan diputuskan 22 Januari 2015.

Dalam putusan dengan nomor 383/Pdt.G/2014/PN.DPS Wayan Medri dinyatakan kalah. Wayan Medri melakukan upaya hukum ke Pengadilan Tinggi Denpasar.

Berdasar putusan dengan nomor 80/PDT/2015/PT.DPS Pengadilan Tinggi Denpasar tanggal 12 Agustus 2015 Wayan Medri dinyatakan menang.

Perkaranya tak berhenti sampai di situ, tapi dilanjutkan ke Mahkamah Agung. Dalam putusan MA dengan nomor 92K/PDT/2016 Wayan Medri dinyatakan menang.

Namun, proses hukum tetap berlanjut dengan Peninjauan Kembali (PK). PK dengan nomor 482 PK/PDT/2018 memenangkan terlapor.

Dikatakan posisi hukum dalam dalil gugatan putusan PK itu menguatkan putusan PN Denpasar. Kebetulan putusan di PN Denpasar jadi pertimbangan PK dan menguatkan putusan tersebut.

Atas kekalahan itu pihaknya selaku kuasa hukum Wayan Medri melakukan kajian. Hasilnya, terlapor diduga melakukan pemalsuan silsilah yang dibawa pada saat persidangan PK.

Pemalsuan silsilah yang dimaksud itu, lanjut Sukrayasa, adalah ada yang hilang atau terpotong pada garis keturunan dan ada juga kekurangan tanda tangan pengesahan.

Karena itu, pihaknya melakukan upaya hukum yaitu dengan silsilah yang dimiliki. Data silsilah itu didapat dari penglingsir dan komponen masyarakat dari Pura Hyang Pasek Gaduh tersebut.

“Jadi, inti laporan kami diduga terlapor ada indikasi memalsukan silsilah yang dipakai sebagai alat bukti surat waktu proses sidang di Pengadilan Negeri Denpasar,” tuturnya.

Upaya melaporkan keempat terlapor ungkap Sukrayasa adalah sebagai langkah antisipasi sebelum Pura tersebut dieksekusi oleh PN Denpasar.

Terkait eksekusi pemberitahuan dari Pengadilan belum ada. Dalam konteks ini pihaknya antisipasi. “Dulu kamar perkaranya perdata, kini kami bawa ke kamar pidana,” tandas Sukrayasa.

Sukrayasa menyatakan keempat terlapor sebenarnya adalah bagian dari keluarga besarnya. Namun posisi hubungan kekeluargaannya jauh berpisah 4 turunan.

Tanah tersebut merupakan milik dari Nang Rangin pada tahun 1846. Saat itu luas keseluruhannya 20,5 are. Wayan Medri membeberkan setelah Nang Tangin meninggal, kepemangkuan Pura tersebut dilanjutkan anak pertamanya, yakni I Rangin.

Setelah I Rangin meninggal, kepemangkuan Pura tersebut dilanjutkan putera pertamanya yakni, I Rawig.

Setelah I Rawig meninggal, kepemangkuan Pura tersebut dilanjutkan oleh, I Nengah Lawa yang merupakan saudara sepupu dari, I Rawig dan anak Dari I Wangin.

I Nengah Lawa diperkirakan jadi pemangku pada Pura tersebut diperkirakan tahun 1942-1962. Pada tahun 1962, I Nengah Lawa pindah kepercayaan memeluk agama Katolik.

Kepemangkuan Pura tersebut ditinggalkannya sehingga diambil alih oleh anak dari I Rangin, Yaitu I Ketut Narwi.

Setelah I Ketut Narwi meninggal kepemangkuan Pura tersebut dilanjutkan oleh I Wayan Medri sampai sekarang.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/