BANJAR – Masyarakat di Desa Cempaga, Kecamatan Banjar, melangsungkan acara Nyepi Desa. Acara itu berlangsung sejak pukul 06.00 pagi kemarin (29/9), hingga pukul 06.00 pagi hari ini (30/9).
Nyepi desa itu pun tak pasti kapan dilaksanakan, karena krama di Desa Cempaga menggunakan sistem wuku dalam pelaksanaan ritual.
Nah, tahun ini, nyepi desa dilaksanakan karena rahina tilem katiga dan rahina purnama kapat bertepatan jatuh dengan triwara beteng.
Terakhir kalinya, Nyepi Desa dilaksanakan pada 2017 lalu, karena momen yang serupa. “Jadi, pelaksanaannya belum tentu, apakah pada purnama kapat atau purnama kadasa.
Karena sesuai dresta di Cempaga, kami berpatokan pada wuku,” jelas Kelian Desa Pakraman Cempaga, I Nyoman Dira, saat ditemui di Pura Labuan Aji, Sabtu (28/9) malam.
Dira mengatakan ritual nyepi desa itu memang tidak tersurat dalam prasasti maupun lontar. Namun hal itu sudah diwariskan secara turun temurun melalui tutur lisan para tetua desa.
Masyarakat setempat menyebutnya dengan istilah “lontar tanpa tulis”. Menurutnya, nyepi desa di Cempaga memiliki filosofi pembersihan desa.
Biasanya sebelum nyepi desa, masyarakat akan melaksanakan upacara pengabenan. Baik itu ngaben massal maupun ngaben pribadi. Setelah itu dilangsungkan serangkaian upacara lain, yang berujung pada nyepi desa.
“Jadi pitra yadnya ini harus selesai dulu, kemudian dilaksanakan Nyepi Desa. Setelah bersih, baru kemudian boleh melaksanakan dewa yadnya,” jelasnya lagi.
Seperti halnya nyepi pada umumnya, masyarakat diwajibkan melaksanakan catur brata penyepian. Yakni amati geni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak bersenang-senang).
Seluruh warga yang tinggal di Cempaga, baik yang berstatus krama maupun tamiu wajib melaksanakannya.
Selain itu akses jalan menuju Desa Cempaga juga ditutup selama sehari penuh. Wilayah perbatasan ditutup dengan palang bambu.
Sehingga masyarakat yang ingin menuju Desa Pedawa melalui Desa Cempaga atau Sidatapa, harus melalui akses jalan lain.
Bagaimana bila ada yang melanggar? Dira menyatakan para prajuru dan ulu desa akan menyelesaikannya lewat pauman magelang-gelang.
Forum pauman itu hanya dilaksanakan setelah nyepi desa. Biasanya masyarakat yang melanggar, akan menyampaikan pengakuan secara terbuka pada krama dalam forum tersebut.
“Ya ini semacam sanksi sosial, dan pelanggar ini akan diingat oleh krama bahwa dia pernah melanggar. Kami tidak mewajibkan membayar denda atau
menghaturkan banten tertentu. Tapi kalau ada kesadaran ngaturang guru piduka, kami tidak melarang,” jelasnya.