25.4 C
Jakarta
25 November 2024, 8:17 AM WIB

Cuma Dihargai Rp 400, Petani Pilih Stok Garam Tunggu Harga Stabil

Para petani garam di Desa Pejarakan, Gerokgak mengeluhkan harga garam yang jatuh sejak tiga bulan terakhir. Kini petani lebih banyak melakukan stok garam ketimbang menjual garam.

 

JULIADI, Gerokgak

DUA Banjar Dinas di Desa Pejarakan, Gerokgak menjadi pusat produksi pembuatan garam laut terbesar di Buleleng. Luasannya mencapai 150 hektar lebih.

Pembuatan garam laut berada di pesisir utara Desa Pejarakan yakni berlokasi di Banjar Dinas Batu Ampar, dan Banjar Dinas Banyuwedang. 

Ketika Jawa Pos Radar Bali berkunjung ke lokasi tambak garam Senin (30/9) kemarin, seluas mata memadang areal lahan yang dulunya kering disulap oleh masyarakat nelayan Pejarakan menjadi tambak garam.

Kini masyarakat sudah tak lagi mengandalkan penghasilan ekonomi dari bekerja sebagai nelayan, tetapi dari hasil produksi garam. 

Puluhan tahun mereka menggeluti pekerjaan sebagai petani garam. Namun, harga garam tak pernah bersahabat kepada petambak garam.

Apalagi sekarang harga garam berkisar Rp 400 sampai Rp 500 rupiah perkilogramnya. Mursahid, 48, dan Junaedi, 59, petani garam laut secara terbuka mengeluhkan kondisi tersebut.

“Harus kami ukur volume air dan kadar haramnya biar kadar asin garam produksi bagus,” kata Mursahid sambil menunjukkan alat pengukuran kadar garam miliknya. 

Sebagai petani garam yang paling utama tetap mementingkan kualitas garam hasil produksi. Kalau kadar keasinan garam yang baik rata-rata mencapai normal 27 persen kadar garam baik untuk dikonsumsi.

Dijelaskan Musrsahid, dalam proses pembuatan garam mengadalkan bantuan sinar matahari. Paling cepat garam bisa dipanen selama 15 hari. Paling lambat selama 20 hari. 

“Saya memiliki luas lahan tambak sekitar 95 are. Untuk ukuran tambak garam 8×15 mampu memproduksi garam 5 ton persatu kali panen,” ungkapnya.  

Mursahid mengaku harga garam saat ini turun drastis tidak seimbang dengan hasil produksi garam. Per kilogram Rp 500 rupiah pada dua hari yang lalu. Sekarang sudah turun mencapai Rp 400 rupiah.

“Lantaran harga garam yang anjlok saya lebih baik stok garam menunggu harga garam normal. Baru saya jual,” siasatnya. 

Anjloknya harga garam, dikatakan Mursahid, ditenggarai oleh kelebihan stok garam dan karena produksi yang melimpah.

Kemudian sisa impor garam tahun lalu dan produksi dalam negeri. Apalagi saat ini memasuki masa panen hingga bulan Oktober mendatang. 

“Kendala kami sebagai petani hanya pada harga garam yang jatuh. Kami berharap pemerintah turun mengendalikan harga garam.

Selama ini garam dipasok untuk kebutuhan Bali. Tidak keluar Bali. Kalau tahun 2017 baru sampai pengiriman garam ke daerah Jawa Tengah,” terangnya.

Dia menambahkan petani garam didesa Pejarakan kini banyak dalam pembuatan garam gunakan terpal. Namun alat masih sederhana.

Terpal digelar pada lahan kemudian diisi air laut. Jika dibandingkan dengan lahan tambak dengan tanah yang biasanya. 

Perbedaan dari proses pembuatan garam. Lebih cepat dengan terpal. Karena air laut tidak menyusut ke tanah. Kemudian warna garam lebih putih. Sementara dari sisi rasa  garam agak terasa pahit. 

“Kalau saya tetap pembuatan garam bertumpu pada lahan, karena mementingkan kualitas pasar untuk konsumen,” ujarnya.

Mursahid memperkirakan produksi garam akan menurun pada bulan Desember 2019 hingga bulan Maret 2020. Karena sudah memasuki musim hujan. (*)

 

Para petani garam di Desa Pejarakan, Gerokgak mengeluhkan harga garam yang jatuh sejak tiga bulan terakhir. Kini petani lebih banyak melakukan stok garam ketimbang menjual garam.

 

JULIADI, Gerokgak

DUA Banjar Dinas di Desa Pejarakan, Gerokgak menjadi pusat produksi pembuatan garam laut terbesar di Buleleng. Luasannya mencapai 150 hektar lebih.

Pembuatan garam laut berada di pesisir utara Desa Pejarakan yakni berlokasi di Banjar Dinas Batu Ampar, dan Banjar Dinas Banyuwedang. 

Ketika Jawa Pos Radar Bali berkunjung ke lokasi tambak garam Senin (30/9) kemarin, seluas mata memadang areal lahan yang dulunya kering disulap oleh masyarakat nelayan Pejarakan menjadi tambak garam.

Kini masyarakat sudah tak lagi mengandalkan penghasilan ekonomi dari bekerja sebagai nelayan, tetapi dari hasil produksi garam. 

Puluhan tahun mereka menggeluti pekerjaan sebagai petani garam. Namun, harga garam tak pernah bersahabat kepada petambak garam.

Apalagi sekarang harga garam berkisar Rp 400 sampai Rp 500 rupiah perkilogramnya. Mursahid, 48, dan Junaedi, 59, petani garam laut secara terbuka mengeluhkan kondisi tersebut.

“Harus kami ukur volume air dan kadar haramnya biar kadar asin garam produksi bagus,” kata Mursahid sambil menunjukkan alat pengukuran kadar garam miliknya. 

Sebagai petani garam yang paling utama tetap mementingkan kualitas garam hasil produksi. Kalau kadar keasinan garam yang baik rata-rata mencapai normal 27 persen kadar garam baik untuk dikonsumsi.

Dijelaskan Musrsahid, dalam proses pembuatan garam mengadalkan bantuan sinar matahari. Paling cepat garam bisa dipanen selama 15 hari. Paling lambat selama 20 hari. 

“Saya memiliki luas lahan tambak sekitar 95 are. Untuk ukuran tambak garam 8×15 mampu memproduksi garam 5 ton persatu kali panen,” ungkapnya.  

Mursahid mengaku harga garam saat ini turun drastis tidak seimbang dengan hasil produksi garam. Per kilogram Rp 500 rupiah pada dua hari yang lalu. Sekarang sudah turun mencapai Rp 400 rupiah.

“Lantaran harga garam yang anjlok saya lebih baik stok garam menunggu harga garam normal. Baru saya jual,” siasatnya. 

Anjloknya harga garam, dikatakan Mursahid, ditenggarai oleh kelebihan stok garam dan karena produksi yang melimpah.

Kemudian sisa impor garam tahun lalu dan produksi dalam negeri. Apalagi saat ini memasuki masa panen hingga bulan Oktober mendatang. 

“Kendala kami sebagai petani hanya pada harga garam yang jatuh. Kami berharap pemerintah turun mengendalikan harga garam.

Selama ini garam dipasok untuk kebutuhan Bali. Tidak keluar Bali. Kalau tahun 2017 baru sampai pengiriman garam ke daerah Jawa Tengah,” terangnya.

Dia menambahkan petani garam didesa Pejarakan kini banyak dalam pembuatan garam gunakan terpal. Namun alat masih sederhana.

Terpal digelar pada lahan kemudian diisi air laut. Jika dibandingkan dengan lahan tambak dengan tanah yang biasanya. 

Perbedaan dari proses pembuatan garam. Lebih cepat dengan terpal. Karena air laut tidak menyusut ke tanah. Kemudian warna garam lebih putih. Sementara dari sisi rasa  garam agak terasa pahit. 

“Kalau saya tetap pembuatan garam bertumpu pada lahan, karena mementingkan kualitas pasar untuk konsumen,” ujarnya.

Mursahid memperkirakan produksi garam akan menurun pada bulan Desember 2019 hingga bulan Maret 2020. Karena sudah memasuki musim hujan. (*)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/