DENPASAR – Sidang penggelapan dan penipuan jual beli tanah dengan terdakwa Gunawan Priambodo, 41, berlangsung panas.
Ini setelah majelis hakim yang diketuai I Dewa Budi Watsara menelanjangi dua orang saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU). Dua saksi tersebut bukan orang sembarangan.
Saksi pertama adalah Ida Ayu Ketut Sri Sumiantini yang tak lain istri mantan Wagub Bali, I Ketut Sudikerta alias Tomi.
Saksi kedua adalah I Wayan Suwandi, adik kandung Sudikerta. Secara khusus hakim memperingatkan saksi Suwandi agar memberikan keterangan yang benar karena sudah disumpah.
“Hakim bisa dibohongi, tapi Tuhan tidak,” ujar Watsara. Suwandi mengaku diajak mendirikan PT. Bangsing Permai oleh terdakwa. Suwandi diangkat sebagai direktur.
Lucunya, setali tiga uang dengan Dayu, Suwandi mengau tidak mengetahui kegiatan PT. Bangsing Permai. Hakim dan JPU pun geleng-geleng kepala karena saksi sering menjawab tidak tahu.
Suwandi mengaku hanya disuruh tanda tangan oleh terdakwa. Yang tidak masuk akal, Suwandi juga mengaku tidak tahu alamat PT Basing Permai.
“Jabatannya tinggi, sebagai direktur. Wah gampang sekali menipu saudara, padahal Anda sarjana bukan tamatan SD atau SR. Antara profesi dan pengakuan tidak cocok,” sodok hakim Watsara.
“Ini PT apa? PT kok gelap-gelapan,” sindir Watsara. Hakim yang penasaran menanyakan pekerjaan Suwandi. Adik Sudikerta itu mengaku memiliki apartemen dengan 40 kamar.
“Wah, penghasilan Anda tinggi berarti, bisa ratusan juta setiap bulannya. Gaji hakim kalah. Apalagi gaji wartawan, tambah kalah jauh,” seloroh Watsara.
Hakim pun meminta Suwandi merenungkan kerugian Rp 2,4 miliar yang diderita korban. Dikatakan Watsara, korban adalah pensiunan yang susah payah mengumpukan uang.
Setelah uang terkeumpul uangnya hilang terkena tipu. “Bayangkan saudara, uang pensiunan yang dikumpulkan itu amblas. Uangnya mengalir ke rekening saksi (Dayu Sudikerta).
Saudara pikirkan itu, saudara punya Tuhan. Saya yakin saudara tahu, tapi bilang tidak tahu agar tidak terlibat,” tegas Watsara.
Watsara kembali mengingatkan Suwandi agar berterus terang, sehingga masalah ini bisa terang. “Ingat, doa orang teraniaya itu lebih didengar Tuhan.
Dan, manusia itu hidup dengan karmanya. Kalau pensiunan itu tidak kuat jantungnya bisa sakit dan mati. Renungkan kejadian ini,” kata Watsara memberikan nasihat.
Sidang pun dilanjutkan pekan depan dengan agenda konfrontir antara saksi dengan terdakwa. Sementara itu, dalam dakwaan JPU Putu Oka Surya Atmaja diungkapkan,
terdakwa Gunawan Priambodo, pada 2 Maret 2012 bertemu saksi Marhendro Anton Inggriyono merupakan marketing agen era victory properti pada PT Anugerah Sejahtera Propertindo.
Keduanya lantas menjalin kerja sama dengan terdakwa yang merupakan presiden direktur PT Bangsing Permai Properti.
Terdakwa meminta saksi memasarkan tanah kavling di Pecatu Kuta Selatan seluas 16.640 meter persegi (m2).
Selanjutnya saksi Marhendro menjalin komunikasi dengan korban Kurnia Soetantiyo yang ingin mencoba bisnis properti di Bali.
Sesuai perintah dari terdakwa saksi Marhendro memasarkan tanah pada korban. Terdakwa menyebut harga per are Rp 400 juta. Korban tertarik membeli 1.462 m2.
Terdakwa kemudian mentransfer uang Rp 100 juta ke rekening PT Anugerah Sejahtera Properindo atau kepada saksi Marhendro sebagai tanda jadi.
Selanjutnya saksi Marhendro melaporkan pada terdakwa. Terdakwa mengajak pertemuan pada Sabtu (21/7/2012) pukul 14.00 bertempat di Kantor Notaris Ni Ketut Neli Asih, Jalan Nakula, Nomor 8, Legian, Kuta.
Terdakwa mengatakan tanah tersebut tidak ada masalah. Notaris juga menyebut tidak ada masalah. Padahal, tanah tersebut masih milik Arifin Susilo Adiyasa.
Antara terdakwa dengan notaris rupanya tengah bersekongkol. Korban pun semakin yakin mau membeli tanah. Total luas tanah kavling yang dibeli 1.592 m2.
Korban memberikan uang muka sebesar Rp 1.069.600.000. sedangkan sisanya Rp 5,3 miliar dilakukan pembayaran bertahap sebanyak 18 kali.
Selanjutnya korban melakukan pembayaran sebanyak 8 kali sejak 31 Juli 2012 – 28 Februari 2013, hingga mencapai jumlah Rp 2,4 miliar.
Notaris Neli Asih mengecek status tanah di Kantor Pertanahan Kabupaten Badung. Setelah dicek, ternyata tanah tersebut bertatus kawasan perlindungan dan lahan hortikultura yang tidak diperuntukkan untuk lahan permukiman.
Tapi, terdakwa mengatakan masalah tersebut akan diurus Ketut Sudikerta yang pada saat tersebut menjabat Wabup Badung.
Pada 18 Oktober 2012 pemilik tanah yang sah atas nama Arifin datang ke kantor notaris Neli Asih bermaksud mengambil kembali sertifikatnya.
Neli Asih tidak ada menerangkan terhadap terdakwa bahwa tanah tersebut telah terjadi perikatan jual beli.
Singkat cerita, korban yang merasa tertipu melapor ke polisi. Sehingga mengalami kerugian sebesar Rp 2,4 miliar.
Perbuatan terdakwa diancam Pasal 372 KUHP, 378 KUHP dengan ancaman pidana penjara empat tahun. Terdakwa juga dijerat Pasal 154 UU Nomor 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.