DENPASAR – Belakangan ini masyarakat dihebohkan dengan informasi cemaran N-Nitrosodimethylamine (NDMA) pada produk obat
yang mengandung ranitidin seperti yang dilaporkan US Food and Drug Administration (US FDA) dan European Medicine Agency (EMA).
Kabar ini sendiri dibenarkan pihak BPOM. BPOM sendiri berusaha menarik obat tersebut dari masyarakat, termasuk di Bali.
“Itu kan penarikan sukarela, jadi produsen yang sukarela menarik dari peredaran,” kata I Gusti Ayu Adhi Aryapatni, Kepala BPOM di Denpasar, Rabu (9/10) siang.
Dalam penjelasannya, ranitidin adalah obat yang digunakan untuk pengobatan gejala penyakit tukak lambung dan tukak usus.
Badan POM telah memberikan persetujuan terhadap ranitidin sejak tahun 1989 melalui kajian evaluasi keamanan, khasiat, dan mutu.
Ranitidin tersedia dalam bentuk sediaan tablet, sirup, dan injeksi. Pada tanggal 13 September 2019, US FDA dan EMA mengeluarkan peringatan tentang adanya
temuan cemaran NDMA dalam jumlah yang relatif kecil pada sampel produk yang mengandung bahan aktif ranitidin, dimana NDMA merupakan turunan zat Nitrosamin yang dapat terbentuk secara alami.
Studi global memutuskan nilai ambang batas cemaran NDMA yang diperbolehkan adalah 96 ng/hari (acceptable daily intake).
Bersifat karsinogenik jika dikonsumsi di atas ambang batas secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama.
Hal ini dijadikan dasar oleh Badan POM dalam mengawal keamanan obat yang beredar di Indonesia.
Dalam rangka kehati-hatian, Badan POM telah menerbitkan Informasi Awal untuk Tenaga Profesional Kesehatan pada tanggal 17 September 2019 terkait Keamanan Produk Ranitidin yang terkontaminasi NDMA.
Badan POM saat ini sedang melakukan pengambilan dan pengujian beberapa sampel produk ranitidin.
Hasil uji sebagian sampel mengandung cemaran NDMA dengan jumlah yang melebihi batas yang diperbolehkan.
Pengujian dan kajian risiko akan dilanjutkan terhadap seluruh produk yang mengandung ranitidin.
Berdasar nilai ambang batas cemaran NDMA yang diperbolehkan, Badan POM memerintahkan kepada Industri Farmasi pemegang izin edar produk tersebut untuk
melakukan penghentian produksi dan distribusi serta melakukan penarikan kembali (recall) seluruh bets produk dari peredaran.
“Jadi diberikan waktu 80 hari kerja untuk melakukan penarikan. Untuk di Bali sendiri, nanti kami melakukan monitoring, apakah dilakukan penarikan atau tidak nantinya,” ujarnya.
Lalu pasca 80 hari kerja, apa yang akan dilakukan BPOM? “Kalau kami ketemukan lagi, ya kami menyuruh untuk mengembalikan.
Yang jelas, masyarakat nggak usah risau, produsen dan distributor nanti akan menarik sendiri. Kan ada obat lain sebagai pengganti,” tutupnya.