KUTA – Ribuan warga hadir dalam peringatan 17 tahun Bom Bali di Monumen Bom Bali, di Jalan Legian, Desa Adat Kuta, Badung, Sabtu (12/10) malam.
Sejumlah agenda digelar, seperti menyalakan 17 lilin, tabur bunga, doa bersama dan sebagainya. Suasana haru pun menyelimuti acara peringatan peristiwa yang pernah membuat Bali ini “kelam”.
Bagaimana tidak? 202 nyawa dari berbagai negara hilang akibat dua kali ledakan yang terjadi di depan diskotik sari club dan Paddy’s club 17 tahun yang lalu.
Ribuan warga dari berbagai agama dan wisatawan ini hadir. Mereka juga sejenak hening dengan berdoa bersama dengan kepercayaan masing-masing. Sebuah kebhinekaan menyelimuti acara yang penuh haru ini.
Salah satu keluarga korban, Endang Isnani, 48, hadir dalam acara tersebut. Suaminya, Aris Munandar yang saat itu berusia 36 tahun menjadi korban keganasan bom yang meledak.
“Suami saya bekerja sebagai sopir. Saat itu dia berada di dalam mobil. Dia biasanya parkir di depan Sari Club,” ujarnya usai acara peringatan Bom Bali tersebut.
Kondisi saat itu memang kacau. Sangat sulit mengindentifikasi jenazah. Kemudian keesokan harinya, Endang terkejut melihat jenasah suaminya berada di rumah sakit.
“Kondisinya seperti ayam terbakar. Tidak hancur, karena dia berada di dalam mobil,” ungkapnya. Aris Munandar pun kini telah meninggalkan istri dan tiga anaknya yang saat itu masih kecil.
Di Bali, Aris dan istrinya telah merantau sejak ahun 1991 silam. Aris merupakan warga Brebes, Jawa Tengah. Sedangkan Endang yang kini berusia 48 tahun asli Banyuwangi, Jawa Timur.
Endang kini bekerja sebagai tukang jahit di daerah Pemogan, Denpasar Selatan, untuk mengidupi ketiga anaknya.
“Dengan peringatan ini, semoga timbul kesadaran bagi para pelaku. Bahwa tindakan mereka (pelaku: teroris) membuat kami menderita,” ujar Endang.
“Lukanya masih terasa bagi kami. Sulit bagi kami untuk sembuh total, tetapi sebagai manusia, kami memaafkan,” ujarnya.
Apa yang sulit ibu lupakan? “Suami saya berangkat kerja, pulang-pulang malah jadi mayat. Nggak gampang bagi kami dan juga anak-anak menerima hal tersebut,” pungkasnya.
Sementara itu, Putu Adnyana selaku Ketua Panitia acara peringatan 17 tahun Bali ini mengaku tidak bermaksud untuk membuka luka lama.
Melainkan acara peringatan yang menjadi sebuah tragedi di masyarakat ini dapat menjadi pembelajaran bersama.
“Semua komponen masyarakat hadir. Disini kita saling mengkoreksi diri, sehingga Kuta dapat terjaga dari tindakan radikalisme,” ujarnya.
Acara yang diprakasai oleh LPM Kuta ini diakuinya dibuat memang secara sederhana namun tak mengurangi makna.
“Disini kami sama-sama merenung dan mengenang peristiwa yang terjadi 17 tahun lalu. Kami tidak mengajak bersedih, tapi mengajak bangkit dan saling berpengangan tangan untuk kedepannya,” pungkasnya.