29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 10:56 AM WIB

MIRIS! Cueki Larangan Koster, Daging Anjing Ditawarkan Bebas di Medsos

DENPASAR – Upaya menyadarkan penikmat daging anjing sudah dilakukan bertahun-tahun. Setidaknya sejak 2017 lalu.

Pemprov Bali juga sudah sempat membentuk tim investigasi sebelum Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengeluarkan Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 524.3/9811/KKPP/Disnakkeswan untuk bupati dan wali kota, tertanggal 6 Juli 2017.

Waktu itu, Kepala Biro Humas Pemprov Bali I Dewa Gede Mahendra Putra, menyatakan bahwa peredaran daging anjing itu bisa berlangsung terus menerus karena memang ada penggemar daging anjing.

Mereka terbiasa menikmati daging RW itu. Jadi, seperti hukum ekonomi, ada penjual, ada pembeli, ada peredaran uang dari jual beli itu.

“Ada yang menjual secara sembunyi-sembunyi, ada yang menikmati daging itu,” ujar Dewa Mahendra seraya berseloroh atas mutualis simbiosis penjualan daging anjing itu.

Tentu sebuah simbiosis yang merugikan satwa karib manusia tersebut. Pada bulan Maret 2017 lalu, pihak Universitas Udayana (Unud) bersama sejumlah stakeholder menyimpulkan sejumlah poin penting untuk menghentikan perdagangan anjing Bali.

Hasilnya, larangan dari gubernur itu. Dan, itu berlanjut kepada surat dari Gubernur Koster. Setidaknya pada tahun 2017 lalu ada 14 penjual RW yang mendapat pembinaan.

Seperti di Jalan Hayam Wuruk, Jalan Letda Made Putra, Jalan Kusuma Bangsa 1, Jalan Tukad Languan Nomor 26, Jalan Waturenggong Gang XI Nomor 3 (Warung Manado Minahasa),

Jalan Tukad Mawa Gang O Panjer, Jalan Raya Sesetan, Jalan Pulau Moyo,  Jalan Letda Tantular Gang Garuda,  Jalan Tukad Musi, Panjer, Jalan Banyuasri, dan Jalan Gurita.

Ketua Pusat Kajian One Health Universitas Udayana Nyoman Sri Budayanti, waktu itu mengingatkan bahwa budaya Bali menghormati anjing.

Karena filosofi Tri Hita Karana mengajak krama Bali membina hubungan baik kepada Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan yang mencakup binatang serta tumbuhan.

Tapi, dalam praktiknya, RW masih tersebar di sejumlah tempat di penjuru Bali. Khususnya di perkotaan-perkotaan.

Malah ada yang diiklankan di Kota Denpasar dan Badung. Ada di media sosial (medsos) macam Facebook pula. Dengan nama Warung RW, Sate Guling Anjing.

Tak sulit untuk mencarinya. Tinggal googling saja, di Google, sejumlah tempat yang menjajakan daging anjing pun muncul.

Seperti di kawasan Jalan Ratna, Jalan Hayam Wuruk, Denpasar, hingga di kawasan Jalan Raya Abianbase, Mengwi, Badung.

Dari tahun ke tahun, problem penuntasan larangan mengonsumsi daging anjing ini juga seperti “lingkaran setan” saja.

Kabid Kesehatan Hewan, Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pengolahan Pemasaran, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali Ni Made Sukerni, beberapa bulan lalu

juga lagi-lagi menegaskan sikap, bahwa daging anjing tidak layak dikonsumsi dan tidak layak dijual kepada masyarakat. Tapi, praktiknya pedagang RW tetap ada di sejumlah tempat.

Sebelumnya tim dari Dinas Pertanian dan Satpol PP Kota Denpasar juga sempat melakukan pembinaan kepada pedagang RW. Juga pihak Pemprov Bali.

Namun, praktiknya hingga saat ini, daging anjing yang punya konsumen tersendiri tetap beredar juga.

DENPASAR – Upaya menyadarkan penikmat daging anjing sudah dilakukan bertahun-tahun. Setidaknya sejak 2017 lalu.

Pemprov Bali juga sudah sempat membentuk tim investigasi sebelum Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengeluarkan Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 524.3/9811/KKPP/Disnakkeswan untuk bupati dan wali kota, tertanggal 6 Juli 2017.

Waktu itu, Kepala Biro Humas Pemprov Bali I Dewa Gede Mahendra Putra, menyatakan bahwa peredaran daging anjing itu bisa berlangsung terus menerus karena memang ada penggemar daging anjing.

Mereka terbiasa menikmati daging RW itu. Jadi, seperti hukum ekonomi, ada penjual, ada pembeli, ada peredaran uang dari jual beli itu.

“Ada yang menjual secara sembunyi-sembunyi, ada yang menikmati daging itu,” ujar Dewa Mahendra seraya berseloroh atas mutualis simbiosis penjualan daging anjing itu.

Tentu sebuah simbiosis yang merugikan satwa karib manusia tersebut. Pada bulan Maret 2017 lalu, pihak Universitas Udayana (Unud) bersama sejumlah stakeholder menyimpulkan sejumlah poin penting untuk menghentikan perdagangan anjing Bali.

Hasilnya, larangan dari gubernur itu. Dan, itu berlanjut kepada surat dari Gubernur Koster. Setidaknya pada tahun 2017 lalu ada 14 penjual RW yang mendapat pembinaan.

Seperti di Jalan Hayam Wuruk, Jalan Letda Made Putra, Jalan Kusuma Bangsa 1, Jalan Tukad Languan Nomor 26, Jalan Waturenggong Gang XI Nomor 3 (Warung Manado Minahasa),

Jalan Tukad Mawa Gang O Panjer, Jalan Raya Sesetan, Jalan Pulau Moyo,  Jalan Letda Tantular Gang Garuda,  Jalan Tukad Musi, Panjer, Jalan Banyuasri, dan Jalan Gurita.

Ketua Pusat Kajian One Health Universitas Udayana Nyoman Sri Budayanti, waktu itu mengingatkan bahwa budaya Bali menghormati anjing.

Karena filosofi Tri Hita Karana mengajak krama Bali membina hubungan baik kepada Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan yang mencakup binatang serta tumbuhan.

Tapi, dalam praktiknya, RW masih tersebar di sejumlah tempat di penjuru Bali. Khususnya di perkotaan-perkotaan.

Malah ada yang diiklankan di Kota Denpasar dan Badung. Ada di media sosial (medsos) macam Facebook pula. Dengan nama Warung RW, Sate Guling Anjing.

Tak sulit untuk mencarinya. Tinggal googling saja, di Google, sejumlah tempat yang menjajakan daging anjing pun muncul.

Seperti di kawasan Jalan Ratna, Jalan Hayam Wuruk, Denpasar, hingga di kawasan Jalan Raya Abianbase, Mengwi, Badung.

Dari tahun ke tahun, problem penuntasan larangan mengonsumsi daging anjing ini juga seperti “lingkaran setan” saja.

Kabid Kesehatan Hewan, Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pengolahan Pemasaran, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali Ni Made Sukerni, beberapa bulan lalu

juga lagi-lagi menegaskan sikap, bahwa daging anjing tidak layak dikonsumsi dan tidak layak dijual kepada masyarakat. Tapi, praktiknya pedagang RW tetap ada di sejumlah tempat.

Sebelumnya tim dari Dinas Pertanian dan Satpol PP Kota Denpasar juga sempat melakukan pembinaan kepada pedagang RW. Juga pihak Pemprov Bali.

Namun, praktiknya hingga saat ini, daging anjing yang punya konsumen tersendiri tetap beredar juga.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/