“Jangan sampai sejarah terulang”. Itulah kalimat yang membuat saya menulis ini –hari ini. Yang mengucapkan kalimat itu pewaris kerajaan Inggris: Pangeran Harry.
Dengan nada yang memelas. Kalimat itu sekaligus menjadi alasan: mengapa ia mendukung langkah istrinya, Meghan Markle, yang mengajukan gugatan ke pengadilan.
Yang digugat adalah koran-koran Inggris grup media Associated Newspapers (Kini DMG Media). Yakni Daily Mail, MailOnline, Metro, dan penerbitan lain di grup itu.
Tokoh seperti Elton John dan Hillary Clinton mendukung langkah Meghan itu. Itulah koran-koran yang mengutamakan gosip. Khususnya gosip keluarga kerajaan.
Kalimat Pangeran Harry itu memang juga mengingatkan sejarah duka ibunya: Lady Di. Yang tidak henti-hentinya jadi bahan gosip koran dan tabloid Inggris.
Yang membuat sang ibu terbirit-birit. Dengan naik mobil Mercy-nya. Di malam hari. Sampai mengalami kecelakaan fatal. Yang membuat Lady Di meninggal dunia. Demikian juga pacarnya –pacar?– Dodi Al Fayed.
Sikap ke Meghan ini untuk pertama kali: keluarga kerajaan ambil peduli. Sampai ke jalur hukum. Tidak lagi pola lama. Yang hanya menghindar dan sembunya.
Mungkin karena Meghan bukan asli orang dalam kerajaan. Bukan dari kalangan ningrat. Bahkan bukan orang Inggris. Pun bukan orang kulit putih sepenuhnya.
Meghan tidak terlalu terbeban untuk menjadi tidak biasa. Ia sudah biasa memberontak. Kawin dengan pewaris kerajaan adalah pemberontakan tersendiri.
Janda kawin perjaka pemberontakan yang lain lagi. Pun dia yang jauh lebih tua. Mendapat jodoh Pangeran Harry yang lebih muda. Dia aslinya adalah gadis California.
Dengan kehidupan bebasnya. Pemakai jeans dan baju potong duanya. Yang sering kelihatan pusarnya. Bahkan Meghan memberontak ayahnya sendiri: Thomas Markle.
Meghan tidak mau ayahnya hadir di perkawinannya. Itu lantaran sang ayah terlihat ingin memanfaatkan hubungannya dengan pewaris kerajaan itu. Kita semua menonton upacara perkawinan kerajaan itu.
Dua tahun lalu. Yang terlihat hadir hanya ibunya: Doria Ragland. Yang berkulit hitam. Berambut keriting. Yang terlihat menonjol –sebagai orang biasa– di tengah laut kulit putih nan serba upper class.
Sang bapak –salah seorang pelaku produksi perfilman– terus ingin memperbaiki hubungan dengan putrinya itu. Tapi sang putri terus menghindar.
Dia melihat indikasi negatif: sang ayah hanya ingin memanfaatkan posisinya. Begitu gigih sang ayah berusaha mendekat sang putri. Tidak berhasil.
Suatu saat Meghan sampai kirim surat sendiri ke ayahnya. Dia tulis sendiri dengan tangannya. Isinya Anda bisa menerka sendiri. Sebagian surat itulah yang bocor ke tabloid Inggris.
Yang tidak habis-habisnya digoreng. Digunting. Ditambal. Dijahit. Dibordir. Jadi berita gosip yang tidak habis-habisnya. Sang ayah membantah sebagai yang membocorkannya.
Tabloid itu hanya mengambil bagian-bagian kalimat yang menguntungkannya. Yang seolah hubungan dengan Meghan sudah baikan. Sang ayah juga membantah isu lain: ia mendapatkan uang dari menjual bagian-bagian surat Meghan itu.
Tapi siapa yang percaya. Pangeran Harry begitu iba melihat istrinya jadi bulan-bulanan media. Sang istri terlihat sangat tertekan. Sejak masih hamil. Sepanjang hamil. Sampai punya anak laki-laki: Archie Mountbatten-Windsor.
Meghan terus tertekan sampai kini. Sampai Archi tumbuh sebagai anak kerajaan sekarang ini. Pangeran Harry tidak mau anaknya itu mengalami apa yang dia alami.
Ketika ia masih kanak-kanak. Ketika ibunya depresi oleh pemberitaan media kuning. Pangeran Harry sangat mendukung apa pun yang dilakulan Markle.
Termasuk langkahnya menggugat surat kabar itu. Bagi Pangeran Harry, Meghan adalah segala-galanya. Meghan-lah yang berhasil mengubah hidupnya.
Memperbaiki wataknya. Menghidupkan harapannya. Baru tahun 2016 Pangeran Harry bertemu Meghan. Ketika umurnya sudah 32 tahun. Dan umur Meghan 35 tahun.
Dalam sebuah pertemuan yang diatur temannya. Dan itulah jalan hidupnya. “Begitu ketemu langsung terpikat,” ujar Pangeran Harry dalam wawancara yang amat jarang.
Dulu pun Pangeran Harry pernah tersenyum. Tapi tidak pernah senyumnya secerah setelah bertemu Meghan. Wajahnya pernah ceria. Tapi tidak pernah seceria setelah bersama Meghan.
Meghan-lah yang menemukan kembali hidup Pangeran Harry. Yang sejak kanak-kanak ibu-bapaknya dalam ketegangan abadi. Yang ketika remaja terlibat kenakalan melebihi kepatutan bangsawan.
Yang ketika muda menantang-nantang pemburu berita. Apalagi ketika kakaknya, Pangeran William, menikah. Pangeran Harry lebih tidak punya sandaran lagi.
Memang ia sempat pacaran. Dengan artis dan gadis model. Dari Inggris sendiri. Namanya ‘Gadis Itu’. Umurnya 25 tahun. Saat itu. Gosip pun meluas. Mereka segera menikah.
Nama asli ‘Gadis Itu’ adalah: Cressida Curzon Bonas. Ternyata putus. Pangeran Harry kian tidak bercahaya. Di wajahnya. Sampai takdir menentukan yang lain: bertemu Meghan itu.
Yang kini sedang sewot habis terhadap media-media Inggris. Pers Inggris sudah sering kalah menghadapi gugatan seperti itu. Mereka mampu membayar ganti rugi.
Tapi Meghan tidak punya motif uang di balik gugatannya. Dia lebih pada idealisme: membebaskan manusia dari bully. Dia melihat bully adalah neraka baru bagi manusia masa kini.
Pasti gugatannyi itu akan jadi bahan gosip tersendiri. Pangeran Harry pun setuju: untuk sementara mereka pindah negara. Tinggal di Kanada. Mereka sudah membeli istana di sana.
Kini sudah hampir selesai diperbaiki. Betapa besar cinta Pangeran Harry kepada Meghan. Sampai ada yang mengatakan ‘tanggung jawab Meghan lebih besar untuk memelihara cinta pangerannya’.(Dahlan Iskan)