29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 10:32 AM WIB

Bali Krisis Air Bersih? Ayo Budayakan Tampung Air Hujan

DENPASAR – Belakangan ini Bali memang mengalami kemarau panjang. Krisis air bersih  tejadi di mana-mana. Hampir di semua kabupaten di Bali.

Seperti Kabupaten Karangasem, Tabanan, Jembrana dan Buleleng. Lalu bagaimana sebenarnya kondisi sumberdaya air di Bali?

Dalam acara yang digelar Youth Conservation Initiative (YCI), suatu gerakan kaum muda untuk konservasi dan difasilitasi oleh Conservation International Indonesia di Kuta, Bali,

Senin (28/10) kemarin terungkap Pulau Bali dianugerahi sumberdaya air yang cukup berlimpah, dengan curah hujan rata-rata 2000 meter per tahun.

Bali memiliki 4 danau yang menjadi sumber air baku bagi mata air yang ada di seluruh pulau ini. 

Selain air danau, potensi kesediaan air di Provinsi Bali dapat berasal dari mata air, air sungai dan air tanah. 

Tercatat ada 570 mata air di Bali, dengan total debit mencapai 442,3 juta m3 per tahun. Di sisi lain, kebutuhan air penduduk Bali yang saat ini tercatat sekitar 4,5 juta jiwa terus mengalami peningkatan. 

Bahkan, kebutuhan yang lebih besar akan air datang dari pariwisata, sektor andalan yang telah memberi kontribusi terbesar bagi masyarakat Bali.

Pada tahun 2018, tercatat ada 9,7 juta kunjungan wisatawan domestik ke Bali, dan ada 6 juta wisatawan asing. 

Angka ini diproyeksikan akan terus meningkat, yang berarti apabila pelaksanaannya tetap seperti saat ini, juga akan meningkatkan kebutuhan terhadap air bersih.

Menurut data PHRI Bali, seorang turis menghabiskan 800 hingga 3.000 liter air bersih per hari, tergantung dari lokasi dan jenis akomodasinya. 

Jumlah ini signifikan dengan kebutuhan rata-rata air masyarakat Bali per hari, yang dihitung sekitar 180 liter.

Akuifer Bali telah mengalami eksploitasi yang melampaui batasannya, mengakibatkan intrusi oleh air laut di sejumlah titik di Badung, Tabanan, Jembrana, Buleleng, dan Karangasem.

Akuifer yang telah mengalami intrusi air laut berpotensi tinggi tidak dapat dipulihkan kembali.

Sebuah desalination plant milik swasta telah dibangun di Bali Selatan dengan biaya yang tinggi sebagai respons atas keterbatasan air bersih.

Solusi yang umumnya diambil untuk daerah-daerah yang benar-benar kering, dan bukan menjadi jawaban ideal untuk Bali saat ini.

Tekanan pada ketersediaan sumber daya air di Bali juga tidak didukung oleh sistem hidrologi yang sehat. 

Menurut UU Kehutanan Nomor 41/1999 Pasal 18, luas hutan harus minimal 30 persen dari luas Daerah Aliran Sungai (DAS) atau pulau dengan sebaran secara proposional.

Luas hutan di Bali sendiri saat ini 121.112,78 Ha, atau hanya 22,74 persen dari luas wilayah Bali.

Kawasan hutan ini pun tidak semuanya berada dalam kondisi yang baik. Area dengan tutupan vegetasi yang ‘sehat’ diperkirakan hanya 8 persen dari luas Bali. 

Sementara jumlah lahan kristis dan sangat kritis di Bali mencapai 46.892,8 Ha. Kondisi kritis ini disebabkan oleh baik faktor alam maupun manusia, 

yang menyebabkan tutupan vegetasinya menjadi berkurang atau hilang, sehingga lahan tidak optimal lagi dalam fungsinya sebagai penyerap air dan pengendali erosi, 

siklus unsur hara, regulasi iklim mikro, sekuestrasi karbon, dan untuk secara berkelanjutan menunjang kehidupan di atasnya.

Semua hal di atas mendorong berbagai lembaga/institusi dari pemerintah, akademik, lembaga swadaya masyarakat, 

hingga media lokal serta internasional mewacanakan bahwa Bali akan mengalami defisit air, dan berpotensi mengalami krisis air dalam waktu dekat apabila upaya-upaya strategis tidak diterapkan segera. 

Kondisi ini tentu akan menjadi ironi besar di Pulau Dewata, pulau surga yang memuja air. 

Untuk menanggulangi hal tersebut, Youth Conservation Initiative (YCI) yang fokus pada konservasi alam difasilitasi oleh Conservation International Indonesia 

mewujudkannya dengan dalam aksi nyata sebagai bentuk tanggung jawab kepada kehidupan dan menyediakan masa depan selanjutnya yang lebih baik kepada generasi penerus.

Salah satu kegiatan yang digagas oleh Youth Conservation Initiative (YCI) adalah dengan menyelenggarakan forum berbagi yang dilanjutkan dengan pelatihan 

perakitan peralatan untuk memanen air hujan untuk air minum baik untuk instalasi individu (keluarga) maupun instalasi besar untuk institusi atau perusahaan.

“Saya pikir, dengan memanen air hujan untuk air minum dapat menjadi solusi untuk mengurangi defisit 

air yang terjadi di Bali ini,” ujar I Putu Sugiarta, anggota YCI saat ditemui di forum berbagi dan pelatihan – budaya air.

Dalam acara yang diikuti ratusan orang, baik dari jenjang SMA/K sampai dengan para guru ini menghadirkan pembicara dari para peneliti ternama.

Seperti Romo V. Kirjito selaku Pemerhati Budaya Air; Agus Bima Pratyitna dari pegiat Budaya Air Hujan, Rico daro Interior Designer dam Dr. Frederik dari Komunitas Air Langit Bali.

“Dengan gerakan bersama yang dijiwai semangat gotong royong dalam memanfaatkan air hujan niscaya dapat menopang  

kebutuhan akan air bersih sekaligus menyelamatkan Bali dari ancaman krisis ketersediaan air bersih,” lanjut Sugiarta.

Sementara itu, Romo V. Kirjito menyebut dalam memanen air hujan tentu ada proses, baik dari alat yang digunakan untuk mengukur kadar air hujan hingga nanti air tersebut diproses untuk dapat diminum. 

“Kalau sudah kadar air baik, makan panenlah sebanyak-banyaknya. Untuk mengukur baik atau tidaknya nanti, mari dicoba dulu. Pengalaman saya sih sangat baik,” ujarnya saat mengisi acara.

DENPASAR – Belakangan ini Bali memang mengalami kemarau panjang. Krisis air bersih  tejadi di mana-mana. Hampir di semua kabupaten di Bali.

Seperti Kabupaten Karangasem, Tabanan, Jembrana dan Buleleng. Lalu bagaimana sebenarnya kondisi sumberdaya air di Bali?

Dalam acara yang digelar Youth Conservation Initiative (YCI), suatu gerakan kaum muda untuk konservasi dan difasilitasi oleh Conservation International Indonesia di Kuta, Bali,

Senin (28/10) kemarin terungkap Pulau Bali dianugerahi sumberdaya air yang cukup berlimpah, dengan curah hujan rata-rata 2000 meter per tahun.

Bali memiliki 4 danau yang menjadi sumber air baku bagi mata air yang ada di seluruh pulau ini. 

Selain air danau, potensi kesediaan air di Provinsi Bali dapat berasal dari mata air, air sungai dan air tanah. 

Tercatat ada 570 mata air di Bali, dengan total debit mencapai 442,3 juta m3 per tahun. Di sisi lain, kebutuhan air penduduk Bali yang saat ini tercatat sekitar 4,5 juta jiwa terus mengalami peningkatan. 

Bahkan, kebutuhan yang lebih besar akan air datang dari pariwisata, sektor andalan yang telah memberi kontribusi terbesar bagi masyarakat Bali.

Pada tahun 2018, tercatat ada 9,7 juta kunjungan wisatawan domestik ke Bali, dan ada 6 juta wisatawan asing. 

Angka ini diproyeksikan akan terus meningkat, yang berarti apabila pelaksanaannya tetap seperti saat ini, juga akan meningkatkan kebutuhan terhadap air bersih.

Menurut data PHRI Bali, seorang turis menghabiskan 800 hingga 3.000 liter air bersih per hari, tergantung dari lokasi dan jenis akomodasinya. 

Jumlah ini signifikan dengan kebutuhan rata-rata air masyarakat Bali per hari, yang dihitung sekitar 180 liter.

Akuifer Bali telah mengalami eksploitasi yang melampaui batasannya, mengakibatkan intrusi oleh air laut di sejumlah titik di Badung, Tabanan, Jembrana, Buleleng, dan Karangasem.

Akuifer yang telah mengalami intrusi air laut berpotensi tinggi tidak dapat dipulihkan kembali.

Sebuah desalination plant milik swasta telah dibangun di Bali Selatan dengan biaya yang tinggi sebagai respons atas keterbatasan air bersih.

Solusi yang umumnya diambil untuk daerah-daerah yang benar-benar kering, dan bukan menjadi jawaban ideal untuk Bali saat ini.

Tekanan pada ketersediaan sumber daya air di Bali juga tidak didukung oleh sistem hidrologi yang sehat. 

Menurut UU Kehutanan Nomor 41/1999 Pasal 18, luas hutan harus minimal 30 persen dari luas Daerah Aliran Sungai (DAS) atau pulau dengan sebaran secara proposional.

Luas hutan di Bali sendiri saat ini 121.112,78 Ha, atau hanya 22,74 persen dari luas wilayah Bali.

Kawasan hutan ini pun tidak semuanya berada dalam kondisi yang baik. Area dengan tutupan vegetasi yang ‘sehat’ diperkirakan hanya 8 persen dari luas Bali. 

Sementara jumlah lahan kristis dan sangat kritis di Bali mencapai 46.892,8 Ha. Kondisi kritis ini disebabkan oleh baik faktor alam maupun manusia, 

yang menyebabkan tutupan vegetasinya menjadi berkurang atau hilang, sehingga lahan tidak optimal lagi dalam fungsinya sebagai penyerap air dan pengendali erosi, 

siklus unsur hara, regulasi iklim mikro, sekuestrasi karbon, dan untuk secara berkelanjutan menunjang kehidupan di atasnya.

Semua hal di atas mendorong berbagai lembaga/institusi dari pemerintah, akademik, lembaga swadaya masyarakat, 

hingga media lokal serta internasional mewacanakan bahwa Bali akan mengalami defisit air, dan berpotensi mengalami krisis air dalam waktu dekat apabila upaya-upaya strategis tidak diterapkan segera. 

Kondisi ini tentu akan menjadi ironi besar di Pulau Dewata, pulau surga yang memuja air. 

Untuk menanggulangi hal tersebut, Youth Conservation Initiative (YCI) yang fokus pada konservasi alam difasilitasi oleh Conservation International Indonesia 

mewujudkannya dengan dalam aksi nyata sebagai bentuk tanggung jawab kepada kehidupan dan menyediakan masa depan selanjutnya yang lebih baik kepada generasi penerus.

Salah satu kegiatan yang digagas oleh Youth Conservation Initiative (YCI) adalah dengan menyelenggarakan forum berbagi yang dilanjutkan dengan pelatihan 

perakitan peralatan untuk memanen air hujan untuk air minum baik untuk instalasi individu (keluarga) maupun instalasi besar untuk institusi atau perusahaan.

“Saya pikir, dengan memanen air hujan untuk air minum dapat menjadi solusi untuk mengurangi defisit 

air yang terjadi di Bali ini,” ujar I Putu Sugiarta, anggota YCI saat ditemui di forum berbagi dan pelatihan – budaya air.

Dalam acara yang diikuti ratusan orang, baik dari jenjang SMA/K sampai dengan para guru ini menghadirkan pembicara dari para peneliti ternama.

Seperti Romo V. Kirjito selaku Pemerhati Budaya Air; Agus Bima Pratyitna dari pegiat Budaya Air Hujan, Rico daro Interior Designer dam Dr. Frederik dari Komunitas Air Langit Bali.

“Dengan gerakan bersama yang dijiwai semangat gotong royong dalam memanfaatkan air hujan niscaya dapat menopang  

kebutuhan akan air bersih sekaligus menyelamatkan Bali dari ancaman krisis ketersediaan air bersih,” lanjut Sugiarta.

Sementara itu, Romo V. Kirjito menyebut dalam memanen air hujan tentu ada proses, baik dari alat yang digunakan untuk mengukur kadar air hujan hingga nanti air tersebut diproses untuk dapat diminum. 

“Kalau sudah kadar air baik, makan panenlah sebanyak-banyaknya. Untuk mengukur baik atau tidaknya nanti, mari dicoba dulu. Pengalaman saya sih sangat baik,” ujarnya saat mengisi acara.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/