29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 9:15 AM WIB

Versi Global Packaging Conference: Pelarangan Plastik Bukan Solusi

MANGUPURA – Jika pemerintah provinsi dan kabupaten di Bali serius memerangi sampah dengan cerdas, Global Packaging Konference yang diikuti 24 negara di Inaya Putri Bali, Nusa Dua, wajib dipelototi.

Isu sampah plastik dan pencemaran lingkungan menjadi pembahasan hangat dalam konferensi yang berlangsung sejak Rabu (6/11) lalu hingga Jumat (8/11) itu.

Daripada buang-buang uang untuk studi banding ke luar negeri, Direktur Eksekutif Federasi Pengemasan Indonesia Hengky Wibowo mengungkapkan,

besarnya pengunaan plastik tak lepas dari kebutuhan warga dunia yang ingin serba praktis. Menariknya, dia menyebut pelarangan penggunaan sampah plastik bukan solusi, melainkan bentuk kepanikan pemerintah.

Untuk itu, Hengky mengajak pemerintah, khususnya pihak eksekutif dan legislatif Bali untuk berpartisipasi.

Kolaborasi antara pemerintah dan pelaku industri tegasnya merupakan kata kunci penyelesaian masalah paling ideal.

Hengky Wibowo menilai kini masyarakat dunia semakin sadar akan pentingnya kesehatan. Khususnya yang berhubungan dengan bahan dan perangkat makanan yang dikonsumsi.

“Packaging ini juga harus murah agar tidak memberatkan konsumen. Ini tantangan bagi kami. Bagaimana membuat packaging baik, tapi harga tetap murah dan ramah lingkungan,” ucapnya.

Menariknya, Hengky menegaskan isu ramah lingkungan ini sering diartikan salah kaprah, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Salah satunya mengenai bahan-bahan yang mudah terurai.

“Kalau kita punya tempat pembuangan akhir (TPA) yang sampahnya tercampur semua, sampah itu tidak akan terurai. Yang terbaik menurut saya adalah yang bisa didaur ulang.

Dalam acara ini (Global Packaging Conference, red) ada beberapa teknologi daur ulang yang diterapkan di beberapa negara. Pengolahan sampah tidak mudah, permasalahan yang dihadapi sangat kompleks,” sambungnya.

Keunggulan yang dimiliki negara maju adalah kemampuan dan kedisiplinan masyarakatnya memilah sampah. Jauh berbeda dengan di Indonesia di mana sampah tidak terpilah hingga akhir.

Kadang dipilah di awal, tapi akhirnya dicampur lagi saat pengangkutan. Indonesia juga cenderung mengandalkan pemulung yang mencari nafkah.

Pemulung tersebut hanya mencari sampah yang memberikan keuntungan bagi dirinya sendiri. “Kalau di negara maju sampah sudah dipilah-pilah dan edukasi

soal itu jauh sebelum mereka memilah sampah. Bukannya tiba-tiba mengeluarkan peraturan pembatasan penggunaan kemasan dengan alasan untuk mengurangi timbunan sampah, tapi proses tidak dilakukan,” imbuhnya.

Pemerintah mesti berperan bukan hanya membatasi tapi memberikan subsidi bukan kepada industrinya tapi subsidi proses daur ulang.

“Kalau di negara maju, hal itu sudah dilakukan, pemilahan dan proses daur ulang yang disubsidi pemerintah,” ucap Hengky yang mengenyam pendidikan dan tinggal lama di Jerman itu.

Ditambahkannya kata kunci untuk mengatasi persoalan sampah adalah sinergitas pihak terkait. Mulai dari kebijakan, edukasi, hingga teknologi.

“UU No. 18 Tahun 2008 tentang penanganan sampah, sebelas tahun yang lalu berbunyi, lima tahun setelah tahun 2008 yang namanya TPA mestinya sudah ditutup semua,

digantikan dengan 500 kabupaten untuk Tempat Penampungan Sementara Terpilah (TPST). Ingat, ini yang mestinya dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan amanat UU.

Jangan kemudian jadi panik atas semua pencemaran yang terjadi dan menjadikan pihak industri sebagai momok,” ungkapnya sembari menyebut pelarangan penggunaan sampah plastik bukan solusi karena sifatnya hanya sementara.

Solusi yang tepat untuk semua itu, terangnya adalah pembangunan TPST. “Pemilahan mulai dilakukan dari rumah, industri, dan yang terpenting bagaimana menumbuhkan kesadaran

masyarakat melalui edukasi, sosialisasi, dan ini tidak serta merta nampak hasilnya, butuh waktu lama. Kalau peraturan sifatnya hanya bersifat pembenaran saja, dimana proses edukasinya?” tanyanya. 

MANGUPURA – Jika pemerintah provinsi dan kabupaten di Bali serius memerangi sampah dengan cerdas, Global Packaging Konference yang diikuti 24 negara di Inaya Putri Bali, Nusa Dua, wajib dipelototi.

Isu sampah plastik dan pencemaran lingkungan menjadi pembahasan hangat dalam konferensi yang berlangsung sejak Rabu (6/11) lalu hingga Jumat (8/11) itu.

Daripada buang-buang uang untuk studi banding ke luar negeri, Direktur Eksekutif Federasi Pengemasan Indonesia Hengky Wibowo mengungkapkan,

besarnya pengunaan plastik tak lepas dari kebutuhan warga dunia yang ingin serba praktis. Menariknya, dia menyebut pelarangan penggunaan sampah plastik bukan solusi, melainkan bentuk kepanikan pemerintah.

Untuk itu, Hengky mengajak pemerintah, khususnya pihak eksekutif dan legislatif Bali untuk berpartisipasi.

Kolaborasi antara pemerintah dan pelaku industri tegasnya merupakan kata kunci penyelesaian masalah paling ideal.

Hengky Wibowo menilai kini masyarakat dunia semakin sadar akan pentingnya kesehatan. Khususnya yang berhubungan dengan bahan dan perangkat makanan yang dikonsumsi.

“Packaging ini juga harus murah agar tidak memberatkan konsumen. Ini tantangan bagi kami. Bagaimana membuat packaging baik, tapi harga tetap murah dan ramah lingkungan,” ucapnya.

Menariknya, Hengky menegaskan isu ramah lingkungan ini sering diartikan salah kaprah, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Salah satunya mengenai bahan-bahan yang mudah terurai.

“Kalau kita punya tempat pembuangan akhir (TPA) yang sampahnya tercampur semua, sampah itu tidak akan terurai. Yang terbaik menurut saya adalah yang bisa didaur ulang.

Dalam acara ini (Global Packaging Conference, red) ada beberapa teknologi daur ulang yang diterapkan di beberapa negara. Pengolahan sampah tidak mudah, permasalahan yang dihadapi sangat kompleks,” sambungnya.

Keunggulan yang dimiliki negara maju adalah kemampuan dan kedisiplinan masyarakatnya memilah sampah. Jauh berbeda dengan di Indonesia di mana sampah tidak terpilah hingga akhir.

Kadang dipilah di awal, tapi akhirnya dicampur lagi saat pengangkutan. Indonesia juga cenderung mengandalkan pemulung yang mencari nafkah.

Pemulung tersebut hanya mencari sampah yang memberikan keuntungan bagi dirinya sendiri. “Kalau di negara maju sampah sudah dipilah-pilah dan edukasi

soal itu jauh sebelum mereka memilah sampah. Bukannya tiba-tiba mengeluarkan peraturan pembatasan penggunaan kemasan dengan alasan untuk mengurangi timbunan sampah, tapi proses tidak dilakukan,” imbuhnya.

Pemerintah mesti berperan bukan hanya membatasi tapi memberikan subsidi bukan kepada industrinya tapi subsidi proses daur ulang.

“Kalau di negara maju, hal itu sudah dilakukan, pemilahan dan proses daur ulang yang disubsidi pemerintah,” ucap Hengky yang mengenyam pendidikan dan tinggal lama di Jerman itu.

Ditambahkannya kata kunci untuk mengatasi persoalan sampah adalah sinergitas pihak terkait. Mulai dari kebijakan, edukasi, hingga teknologi.

“UU No. 18 Tahun 2008 tentang penanganan sampah, sebelas tahun yang lalu berbunyi, lima tahun setelah tahun 2008 yang namanya TPA mestinya sudah ditutup semua,

digantikan dengan 500 kabupaten untuk Tempat Penampungan Sementara Terpilah (TPST). Ingat, ini yang mestinya dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan amanat UU.

Jangan kemudian jadi panik atas semua pencemaran yang terjadi dan menjadikan pihak industri sebagai momok,” ungkapnya sembari menyebut pelarangan penggunaan sampah plastik bukan solusi karena sifatnya hanya sementara.

Solusi yang tepat untuk semua itu, terangnya adalah pembangunan TPST. “Pemilahan mulai dilakukan dari rumah, industri, dan yang terpenting bagaimana menumbuhkan kesadaran

masyarakat melalui edukasi, sosialisasi, dan ini tidak serta merta nampak hasilnya, butuh waktu lama. Kalau peraturan sifatnya hanya bersifat pembenaran saja, dimana proses edukasinya?” tanyanya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/