Usaha warga Desa Musi, Gerokgak, Buleleng yang mengubah kotoran sapi menjadi pupuk organik, tampaknya, perlu ditiru warga dan kelompok sapi lain.
Pasalnya, usaha pupuk ini tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tapi juga berdampak positif bagi pertanian masyarakat setempat.
JULIADI, Gerokgak
JANGAN dianggap sepele kotoran sapi saat ini. Meski berbau dan menjijikkan, namun mampu memberikan nilai tambah ekonomi bagi para peternak sapi di Desa Musi Gerokgak.
Salah satunya kelompok ternak Sapi Bina Karya Bakti. Mereka tidak hanya beternak sapi saat ini. Mereka juga memproduksi kotoran sapi menjadi pupuk organik secara swadaya dalam skala besar.
Saat Jawa Pos Radar Bali bertandang ke lokasi pengolahan pupuk kotoran sapi, Kamis (7/11) lalu, suara dari mesin penggiling datang menyambut.
Selain itu tampak beberapa peternak sapi sedang mengolah pupuk dengan menggunakan alat sederhana.
“Produksi kotoran sapi menjadi pupuk organik mulai kami lakukan sejak tahun 2011 silam,” kata Ketua Kelompok Ternak Bina Karya Bakti Ketut Sumadi sambil memasukkan pupuk organik ke dalam karung.
Munculnya pengolahan pupuk dari kotoran sapi, bukan tanpa sebab. Bermula dari realita dan kondisi di Desa Musi.
Tahun 2002 silam banyak masyarakat yang memelihara sapi, baik secara individu maupun gabungan kelompok ternak sapi.
Limbah dari kotoran sapi di desa hanya dibiarkan begitu saja dan dibuang. Bahkan tidak digunakan sebagai pupuk oleh masyarakat.
Berton-berton kotoran sapi dihasilkan. Padahal, satu orang warga setempat bisa memelihara 5 sampai 6 ekor sapi.
Sedangkan satu ekor sapi menghasilkan kotoran 3 kg perharinya. Belum lagi dari kelompok peternak sapi dengan rata-rata memelihara 20 ekor sapi per satu kelompok.
“Kami melihat hal itu sehingga mencoba memproduksi pupuk organik secara swadaya. Sehingga membentuk kelompok ternak, tetapi mampu membuat sistem pertanian terintegrasi,” ujar Sumadi.
Ketut Sumadi menambahkan, cukup mudah cara mengolah kotoran sapi menjadi pupuk organik. Hanya butuh waktu 21 hari dari proses pencampuran hingga dilakukan fermentasi.
Sayangnya, ada saja kendala di lapangan. Menurutnya, cukup sulit menyadarkan masyarakat untuk terlibat langsung dalam pengolahan pupuk secara mandiri.
Selain itu terkendala juga menyadarkan masyarakat untuk berhenti menggunakan pupuk kimia untuk beralih ke pupuk organik.
“Kami sebagai pelaku (peternak) butuh waktu 9 tahun untuk menyadarkan masyarakat, mulai dari tahun 2002 hingga 2011,” bebernya.
Saat ini di Desa Musi peternak sapi ada yang secara mandiri (rumahan) memproduksi pupuk dari kotoran sapi. Meski dalam jumlah kecil.
Saat ini rata-rata mampu memproduksi pupuk organik 4 ton per harinya. “Kotoran sapi kami serap langsung dari masyarakat dan kelompok ternak sapi dengan jumlahnya ribuan ton perbulannya,”
Untuk harga perkilogramnya kotoran sapi yang ambil dari masyarakat sebesar Rp 350 rupiah. Kemudian untuk pupuk organik dijual Rp 1.000 perkilogramnya.
“Pupuk organik dari kotoran sapi didistribusikan bukan hanya bagi petani di Buleleng, tapi juga dijual kepada petani di Tabanan,” paparnya.
Diolahnya kotoran sapi menjadi pupuk selain sebagai tambahan perekonomian peternak sapi juga sebagai meningkat hasil kualitas pertanian mereka.
Khusus pada pertanian jagung dan kacang. Sementara pada perkebunan pada tanaman mangga dan buah anggur.
“Disamping itu menjadi solusi bagi masyarakat petani ditengah kegelisahan terkait mahalnya harga pupuk kimia,” tandasnya. (*)