DENPASAR – Siswi Bali Island School (BIS) mencuri perhatian insan perlebahan Nusantara. Konsisten pada populasi lebah di Bali lewat program Save the Bee, Ralisha Nurruhvira Woodhouse, 15,
dianugerahi penghargaan Duta Muda Api dari Asosiasi Perlebahan Indonesia (Indonesian Apicultural Association) di Jakarta, 25 September 2019 lalu.
Baginya, peran lebah, khususnya Apis cerana (lebah madu Asia) sangat penting bagi kelangsungan ekosistem alam dan umat manusia.
Kepada Jawa Pos Radar Bali, anak kedua dari tiga bersaudara yang kini duduk di kelas X itu mengaku tertarik pada lebah sejak tiga tahun silam.
Bermula saat ibunya, Ratih Nurruhliati, membantu seorang rekannya yang mengelola toko lilin. Dia mengetahui informasi bahwa lilin lebah semakin mahal karena populasi lebah menurun.
“Saya tertarik dengan masalah lebah sekitar April 2016 ketika saya berusia sekitar 11 tahun. Itu sangat menarik karena saya menemukan fakta bahwa lebah memasok sepertiga dari tanaman kita.
Pikiran saya hancur dan tiba-tiba menjadi takut (pada kelangsungan ekosistem alam, red). Itu yang membangun gairah saya,” ucap Ralisha.
Siswi cantik yang masuk tim inti sepakbola wanita BIS itu mengaku jarang menemukan orang yang tidak mengira lebah sebagai tawon atau sebaliknya.
Fakta bahwa kebanyakan orang takut pada lebah menyengat membuatnya benar-benar sedih. Ralisha menilai hal itu terjadi karena banyak yang tidak mengerti bahwa lebah sangat penting.
Jadi, tidak perlu takut pada serangga itu. Bagaimana Ralisha memulai program “Save the Bee”? Ralisha menyebut dimulai setelah orang menyukai videonya tentang penyelamatan lebah.
Pada tahun berikutnya, Ralisha tertarik pada konferensi GIN di Hong Kong pada 2017. Dia adalah satu-satunya orang dari BIS yang menghadiri konferensi itu didampingi sang guru.
Diakuinya, tahun itu, hanya 3 siswa dan sekitar 4 guru menghadiri lokakarya. “Saya kecewa bahwa orang lebih suka pergi ke bengkel (kelompok, red) yang memiliki “permen gratis”
daripada benar-benar belajar tentang masalah penting dan diremehkan. Setelah lokakarya, saya memegang gerai saya sendiri di konferensi, menjual lilin-lilin (lilin lebah, red)
untuk meningkatkan kesadaran, dan semua orang pergi ke gerai saya dan membeli lilin. Mereka tampak sangat tertarik dengan apa yang saya lakukan.
Itu yang membuat saya bangga,” kenangnya sembari menyebut sejumlah konferensi yang diikutinya. Menariknya, ia mengaku pernah menyurvei Waterboom, Kuta, terkait keluhan lebah di area makan di sana.
Terkait program Save the Bee, Ralisha mengaku memindahkan sarang lebah ke Bali Barat. Ia membantu dengan acara mencicipi madu,
membantu dengan konferensi terapi API, dan menghadiri 3 konferensi GIN sejauh ini untuk berbicara tentang penurunan lebah.
Atas dedikasi terhadap penyelamatan lebah, siswi belia itu mendapat penghargaan Service as Action selama 3 tahun terakhir.
“Saya juga mendapatkan penghargaan dari Asosiasi Lebah Indonesia pada bulan September tahun ini. Saya merasa bangga setelah
menerima penghargaan. Itu membuat saya ingin melakukan lebih banyak layanan untuk masalah ini selain dari hasrat saya,” tandasnya.
Ratih Nurruhliati mengatakan ketertarikan anaknya pada lebah dimulai ketika pada 2016 BIS jadi host Global Initiative Network Highschool Earcos.
Selanjutnya pada sejumlah forum Ralisha mempresentasikan hasil riset singkatnya tentang Save the Bees di GIN Miiddle School di HongKong, Bali dan pada April 2019 di Manila, tepatnya pada forum GIN Middle School Earcos.
“Tahun depan dia dan timnya akan mengangkat topik hutan sebagai ekosistem penting tidak hanya bagi lebah, tapi untuk kita semua.
Ralisha akan presentasi di GIN forum Bangkok. Mereka sudah memulai penelitian literatur dan akan field trip ke Kalimantan untuk persiapan ini. Melihat langsung efek kebakaran hutan,” ungkapnya.
Ratih mengaku terharu pada perjuangan buah hatinya. Ralisha dan teman-temannya, ungkap Ratih mendesain stiker dan bag tag lalu menjualnya sebagai upaya penggalangan dana.
“Hasilnya diserahkan ke kelompok peternak lebah di Bali Barat,” tutupnya. (rba)