27.2 C
Jakarta
23 November 2024, 0:02 AM WIB

Lembu Ungu Antar Sang Maestro Gunarsa ke Svarga Loka

RadarBali.com – 20 hari lamanya jenazah budayawan yang juga maestro lukis asal Banjar Banda, Desa Takmung Klungkung, Nyoman Gunarsa disemayamkan di rumah duka.

Ayah tiga anak yang meninggal karena penyakit komplikasi ini diaben di Setra Desa Pakraman Banda, Sabtu (30/9) kemarin.

Di bawah langit yang sedikit mendung, ratusan orang yang terdiri dari keluarga, teman, dan warga sekitar, tampak sibuk mempersiapkan upacara pengabenan untuk Gunarsa.

Warna ungu sangat mendominasi upacara ini. Hal ini tidak lepas dari kehadiran lembu ungu yang akhirnya bisa digunakan Gunarsa setelah sebelumnya gagal digunakan untuk upacara pengabenan ibu sang maestro lukis ini tahun 2006 silam.

Menurut keponakan Gunarsa yang juga perancang lembu ungu untuk upacara pengabenan Gunarsa, I Kadek Topan Adi Wijaya, meski tidak menggunakan nama khas layaknya orang-orang keturunan raja-raja di Bali, tetapi keluarga besar Gunarsa memiliki darah biru.

Karena itu, sebelumnya Gunarsa pernah bertandang ke Puri Klungkung untuk menanyakan upacara pengabenan seperti apa yang boleh untuk sang ibu tahun 2006 silam.

Hasilnya, Gunarsa diperkenankan menggunakan lembu ungu. Namun karena ada berbagai pertimbangan di lingkup keluarga akhirnya penggunaan lembu ungu batal terealisasi.

“Makanya, pak Man sebelum meninggal beliau sering mewanti-wanti tentang itu. Kami kemudian buat semampu kami selama 10 hari secara keroyokan,” katanya.

Berkaitan dengan asal-usul leluhur Gunarsa, menurut adik kandung Gunarsa, Nyoman Sedawa, untuk bade yang digunakan adalah bade tigang ande (tiga tingkatan, red), dengan dihiasi garuda mungkur serta boma.

Sekitar pukul 12.20 diiringi suara gambelan, keluarga Gunarsa mulai bersiap dengan berbagai sarana pengabenan.

Jenazah Gunarsa pun mulai diusung keluar rumah menuju bade yang sudah sejak pagi diletakkan di luar rumah.

Setelah meletakkan jenazah Gunarsa di dalam bade, para lelaki yang semuanya menggunakan baju ungu bergambar wajah Gunarsa mulai mengarak bade dan lembu menuju setra.

Uniknya, lembu Gunarsa ditunggangi sang cucu tertua yang seorang wanita, adapun biasanya bade ditunggangi anak laki-laki.

Tak butuh waktu lama, lembu dan bade sudah tiba di Setra Pakraman Banda. Karena memang rumah Gunarsa letaknya bersebelahan dengan Setra Pakraman Banda.

Jenazah Gunarsa yang berada di bade segera dipindahkan ke dalam lembu. Setelah berbagai sarana upacara dihaturkan, lembu yang di dalamnya terdapat jenazah Gunarsa itu mulai dibakar.

Saking berkesannya karya-karya Gunarsa, pada saat api berkobar beberapa orang yang tergabung dalam Sanggar Dewata Indonesia melakukan demonstrasi melukis di Setra Desa Pakraman Banda.

Objek lukisan para seniman tersebut adalah prosesi pembakaran lembu ungu berlangsung. Hal ini sebagai bentuk apresiasi dan penghormatan atas jasa-jasa Nyoman Gunarsa di bidang seni khususnya seni lukis. 

RadarBali.com – 20 hari lamanya jenazah budayawan yang juga maestro lukis asal Banjar Banda, Desa Takmung Klungkung, Nyoman Gunarsa disemayamkan di rumah duka.

Ayah tiga anak yang meninggal karena penyakit komplikasi ini diaben di Setra Desa Pakraman Banda, Sabtu (30/9) kemarin.

Di bawah langit yang sedikit mendung, ratusan orang yang terdiri dari keluarga, teman, dan warga sekitar, tampak sibuk mempersiapkan upacara pengabenan untuk Gunarsa.

Warna ungu sangat mendominasi upacara ini. Hal ini tidak lepas dari kehadiran lembu ungu yang akhirnya bisa digunakan Gunarsa setelah sebelumnya gagal digunakan untuk upacara pengabenan ibu sang maestro lukis ini tahun 2006 silam.

Menurut keponakan Gunarsa yang juga perancang lembu ungu untuk upacara pengabenan Gunarsa, I Kadek Topan Adi Wijaya, meski tidak menggunakan nama khas layaknya orang-orang keturunan raja-raja di Bali, tetapi keluarga besar Gunarsa memiliki darah biru.

Karena itu, sebelumnya Gunarsa pernah bertandang ke Puri Klungkung untuk menanyakan upacara pengabenan seperti apa yang boleh untuk sang ibu tahun 2006 silam.

Hasilnya, Gunarsa diperkenankan menggunakan lembu ungu. Namun karena ada berbagai pertimbangan di lingkup keluarga akhirnya penggunaan lembu ungu batal terealisasi.

“Makanya, pak Man sebelum meninggal beliau sering mewanti-wanti tentang itu. Kami kemudian buat semampu kami selama 10 hari secara keroyokan,” katanya.

Berkaitan dengan asal-usul leluhur Gunarsa, menurut adik kandung Gunarsa, Nyoman Sedawa, untuk bade yang digunakan adalah bade tigang ande (tiga tingkatan, red), dengan dihiasi garuda mungkur serta boma.

Sekitar pukul 12.20 diiringi suara gambelan, keluarga Gunarsa mulai bersiap dengan berbagai sarana pengabenan.

Jenazah Gunarsa pun mulai diusung keluar rumah menuju bade yang sudah sejak pagi diletakkan di luar rumah.

Setelah meletakkan jenazah Gunarsa di dalam bade, para lelaki yang semuanya menggunakan baju ungu bergambar wajah Gunarsa mulai mengarak bade dan lembu menuju setra.

Uniknya, lembu Gunarsa ditunggangi sang cucu tertua yang seorang wanita, adapun biasanya bade ditunggangi anak laki-laki.

Tak butuh waktu lama, lembu dan bade sudah tiba di Setra Pakraman Banda. Karena memang rumah Gunarsa letaknya bersebelahan dengan Setra Pakraman Banda.

Jenazah Gunarsa yang berada di bade segera dipindahkan ke dalam lembu. Setelah berbagai sarana upacara dihaturkan, lembu yang di dalamnya terdapat jenazah Gunarsa itu mulai dibakar.

Saking berkesannya karya-karya Gunarsa, pada saat api berkobar beberapa orang yang tergabung dalam Sanggar Dewata Indonesia melakukan demonstrasi melukis di Setra Desa Pakraman Banda.

Objek lukisan para seniman tersebut adalah prosesi pembakaran lembu ungu berlangsung. Hal ini sebagai bentuk apresiasi dan penghormatan atas jasa-jasa Nyoman Gunarsa di bidang seni khususnya seni lukis. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/