NEGARA – Musim kemarau panjang membuat krisis air di Jembrana meningkat. Dampaknya air untuk kebutuhan pertanian dan air bersih untuk kebutuhan semakin sulit didapat.
Kondisi ini akibat sumber air semakin terbatas. Selain karena kerusakan hutan, pengambilan air baku langsung ke sumber mata air juga mempengaruhi.
Menurut Wakil Ketua DPRD Jembrana I Wayan Suardika, pemerintah dituntut semua rumah tangga harus mendapat aliran air bersih.
Namun hingga saat ini belum seratus persen rumah tangga mendapat aliran air bersih, terutama air yang dikelola pemerintah melalui badan usahanya seperti PDAM.
“Kalaupun ada belum lancar, kadang mati. Kemudian kualitas airnya kurang standar. Kondisi ini akibat sumber air baku terbatas,” jelas Suardika.
Politisi Partai Golkar ini mengaku sempat melihat kondisi Bendungan Benel, Desa Manistutu. Bendungan yang semestinya untuk air baku dan pengairan ini, saat ini debit airnya semakin berkurang.
Karena itu, kondisi air bendungan yang sudah turun drastis ini sudah tidak bisa digunakan untuk irigasi dan air baku.
Namun, di sisi lain, sekitar bendungan terdapat pipa berkurangan besar yang langsung menuju hulu bendungan untuk mengalirkan air bersih dari sumber mata air langsung ke rumah-rumah warga.
Air dari sumber mata air di hutan utara bendungan tidak lagi masuk ke bendungan, sehingga berdampak keringnya air di sungai.
Dampak lain, pengairan untuk pertanian berkurang dan kebutuhan air baku menurun. Menurutnya, masyarakat sekitar hutan yang menjadikan hutan untuk aktivitas perekonomian tidak bisa disalahkan.
Begitu juga dengan pengambilan air baku dari sumber mata air langsung oleh masyarakat karena untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga.
Namun, di sisi lain kepentingan masyarakat luas di hilir dan pertanian juga memerlukan air. “Sekarang bukan saatnya saling menyalahkan,
harus bersama-sama mencari solusi agar kebutuhan air baku rumah tangga dan kebutuhan pertanian masyarakat terpenuhi,” tandasnya.
Kondisi ini perlu solusi menyeluruh oleh semua pihak. Semua yang berwenang, mulai dari pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi yang mengelola hutan dan pihak terkait harus duduk bersama agar masalah ini tidak semakin bertambah ke depannya.
“Mencari solusi mengelola air baku ini perlu langkah menyeluruh. Karena selain masalah kerusakan hutan, satu sisi kebutuhan ekonomi masyarakat pegunungan,” ujarnya.