33.4 C
Jakarta
22 November 2024, 14:05 PM WIB

Mengulik Penunjukan Eks Menkominfo Rudiantara Jadi Dirut PLN

Lihat dulu ”kelas” kementeriannya. Lihat pula ”kelas” BUMN-nya. 

Dari Menteri Kominfo ke Direktur Utama PLN harusnya tidak termasuk yang bisa disindir sebagai turun pangkat. 

Bahkan naik ”kelas”.

PLN memang di bawah menteri. Secara struktur. Demikian juga Pertamina. Tapi dirut dua BUMN tersebut bisa dibilang tidak kalah kelas dengan menteri.

Banyak kementerian yang anggaran jauh di bawah PLN atau Pertamina.

Kalau ke Tiongkok saya sering diperkenalkan sebagai menteri kelistrikan.

”Saya bukan menteri,” sergah saya. ”Saya ini hanya Dirut PLN”.

”Di sini kelas Dirut PLN disebut menteri,” tukasnya.

Terserah saja.

Yang penting saya harus mulai waspada. Mereka boleh pinter, kita tidak boleh bodoh.

Dirut PLN –dan Pertanina– tidak jarang diundang ikut sidang kabinet –meski duduknya di barisan belakang. Dan tidak boleh bicara kalau tidak diminta.

Saat bicara pun harus pandai-pandai mengatur lidah: banyak atasan yang bisa terjepit di forum itu. 

Ejekan bahwa dari Menteri Kominfo ke Dirut PLN itu turun kelas pasti datang dari orang yang sangat sadar-kelas.

Rudiantara tidak harus merasa turun kelas. Harus merasa naik kelas. 

Memang ia kan Menteri Komunikasi dan Informasi. Tapi kan mantan. Tentu ia harus mau ditugaskan menjadi Dirut PLN.

Saya justru salut kepada orang yang punya ide menempatkan mantan menteri itu ke Dirut PLN. Kok terpikir ya.

Memang sulit mencari dirut baru PLN saat ini. Banyak yang hebat-hebat di dalam PLN. Tapi mungkin saja belum dikenal oleh para pengambil putusan. 

Dikenal itu penting. Untuk diketahui akan bisa dipercaya atau tidak. Terutama kemampuan dan integritas mereka.

Memilih dirut perusahaan sekelas PLN memang juga harus mempertimbangkan iklim kerja di dalam.

Misalnya apakah ada kubu-kubun di dalamnya. Yang pro dirut lama dan yang kontra. Yang di tengah pun dianggap kejepit: dianggap kubu yang lain lagi.

Para ahli di dalam PLN dikhawatirkan sudah berada dalam salah satu kubu –biar pun sebenarnya tidak.

Itu bagian dari nasib.

Setidaknya Rudiantara tidak terlibat perkubuan itu.

Memang ia pernah menjabat Wakil Direktur Utama PLN. Tapi itu sudah 10 tahun lalu. Sebelum ada kubu-kubuan.

Memang ia bukan orang teknik. Bukan elektro. Tapi sudah pernah menjadi wadirut lima tahun. Ia sudah sangat paham masalah PLN –yang teknis sekali pun. Ia sudah ”orang dalam” PLN.

Di PLN Rudiantara banyak menangani energi primer. Yakni yang menangani pengadaan solar, batubara, gas, dan sejenisnya. Di zaman ialah PLTGU Muara Tawar berubah total. Dari 100 persen Solar ke 100 persen gas.

Itu berarti sebuah penghematan sekitar Rp 3 triliun sendiri setahun.

Ia memang tidak termasuk yang saya ajak di BOD. Padahal, saya menilai ia mampu. Beberapa staf juga mengusulkannya. Tapi saya telanjur menghapus jabatan wadirut. Sedang untuk menjadikannya direktur saya merasa tidak sopan: menurunkan jabatannya.

Saya benar-benar salut pada pengambil keputusan ini. Kok terpikir nama Rudiantara. Kok bisa merayunya agar mau untuk turun pangkat.

Pemilihan Rudiantara bisa menghindarkan PLN dari persoalan tarik-menarik.

Sesekali alumni Universitas Padjadjaran Bandung menjabat Dirut PLN. Memang bukan dari fakultas tekniknya, tapi dari jurusan statistik. Tidak terlalu jauh. Pasti lebih baik dari sekedar lulusan pesantren seperti saya.

Apalagi Rudiantara pernah menjadi Wadirut Semen Gresik. Pernah juga jadi CEO banyak perusahaan besar.

Naluri bisnis Rudiantara sangat baik. Keahliannya di bidang keuangan juga istimewa.

Kedisiplinan salat lima waktunya jangan ditanya. 

Di PLN itu titik beratnya ”hanya” pada leadership. Ahli-ahlinya luar biasa banyak. Yang lebih berat adalah masalah politiknya. Saya bisa bercerita banyak soal ini.

Terlalu banyak proyek di PLN. Terlalu besar-besar nilai proyeknya. Anggaran di PLN jauh lebih besar dari kementerian Kominfo. Dari segi anggaran Rudiantara jelas naik pangkat.

Saya yang justru pernah turun pangkat. Saat dipindahkan dari jabatan Dirut PLN menjadi Menteri BUMN.

Turun pangkat?

Benar.

Dirut PLN gajinya Rp 170 juta/bulan.

Menteri BUMN gajinya Rp 19 juta/bulan.

Untung penurunan itu tidak terasa –saya tidak pernah melihat keduanya.

Dari segi ini, siapa bilang Pak Rudiantara turun pangkat.(dahlan iskan)

Lihat dulu ”kelas” kementeriannya. Lihat pula ”kelas” BUMN-nya. 

Dari Menteri Kominfo ke Direktur Utama PLN harusnya tidak termasuk yang bisa disindir sebagai turun pangkat. 

Bahkan naik ”kelas”.

PLN memang di bawah menteri. Secara struktur. Demikian juga Pertamina. Tapi dirut dua BUMN tersebut bisa dibilang tidak kalah kelas dengan menteri.

Banyak kementerian yang anggaran jauh di bawah PLN atau Pertamina.

Kalau ke Tiongkok saya sering diperkenalkan sebagai menteri kelistrikan.

”Saya bukan menteri,” sergah saya. ”Saya ini hanya Dirut PLN”.

”Di sini kelas Dirut PLN disebut menteri,” tukasnya.

Terserah saja.

Yang penting saya harus mulai waspada. Mereka boleh pinter, kita tidak boleh bodoh.

Dirut PLN –dan Pertanina– tidak jarang diundang ikut sidang kabinet –meski duduknya di barisan belakang. Dan tidak boleh bicara kalau tidak diminta.

Saat bicara pun harus pandai-pandai mengatur lidah: banyak atasan yang bisa terjepit di forum itu. 

Ejekan bahwa dari Menteri Kominfo ke Dirut PLN itu turun kelas pasti datang dari orang yang sangat sadar-kelas.

Rudiantara tidak harus merasa turun kelas. Harus merasa naik kelas. 

Memang ia kan Menteri Komunikasi dan Informasi. Tapi kan mantan. Tentu ia harus mau ditugaskan menjadi Dirut PLN.

Saya justru salut kepada orang yang punya ide menempatkan mantan menteri itu ke Dirut PLN. Kok terpikir ya.

Memang sulit mencari dirut baru PLN saat ini. Banyak yang hebat-hebat di dalam PLN. Tapi mungkin saja belum dikenal oleh para pengambil putusan. 

Dikenal itu penting. Untuk diketahui akan bisa dipercaya atau tidak. Terutama kemampuan dan integritas mereka.

Memilih dirut perusahaan sekelas PLN memang juga harus mempertimbangkan iklim kerja di dalam.

Misalnya apakah ada kubu-kubun di dalamnya. Yang pro dirut lama dan yang kontra. Yang di tengah pun dianggap kejepit: dianggap kubu yang lain lagi.

Para ahli di dalam PLN dikhawatirkan sudah berada dalam salah satu kubu –biar pun sebenarnya tidak.

Itu bagian dari nasib.

Setidaknya Rudiantara tidak terlibat perkubuan itu.

Memang ia pernah menjabat Wakil Direktur Utama PLN. Tapi itu sudah 10 tahun lalu. Sebelum ada kubu-kubuan.

Memang ia bukan orang teknik. Bukan elektro. Tapi sudah pernah menjadi wadirut lima tahun. Ia sudah sangat paham masalah PLN –yang teknis sekali pun. Ia sudah ”orang dalam” PLN.

Di PLN Rudiantara banyak menangani energi primer. Yakni yang menangani pengadaan solar, batubara, gas, dan sejenisnya. Di zaman ialah PLTGU Muara Tawar berubah total. Dari 100 persen Solar ke 100 persen gas.

Itu berarti sebuah penghematan sekitar Rp 3 triliun sendiri setahun.

Ia memang tidak termasuk yang saya ajak di BOD. Padahal, saya menilai ia mampu. Beberapa staf juga mengusulkannya. Tapi saya telanjur menghapus jabatan wadirut. Sedang untuk menjadikannya direktur saya merasa tidak sopan: menurunkan jabatannya.

Saya benar-benar salut pada pengambil keputusan ini. Kok terpikir nama Rudiantara. Kok bisa merayunya agar mau untuk turun pangkat.

Pemilihan Rudiantara bisa menghindarkan PLN dari persoalan tarik-menarik.

Sesekali alumni Universitas Padjadjaran Bandung menjabat Dirut PLN. Memang bukan dari fakultas tekniknya, tapi dari jurusan statistik. Tidak terlalu jauh. Pasti lebih baik dari sekedar lulusan pesantren seperti saya.

Apalagi Rudiantara pernah menjadi Wadirut Semen Gresik. Pernah juga jadi CEO banyak perusahaan besar.

Naluri bisnis Rudiantara sangat baik. Keahliannya di bidang keuangan juga istimewa.

Kedisiplinan salat lima waktunya jangan ditanya. 

Di PLN itu titik beratnya ”hanya” pada leadership. Ahli-ahlinya luar biasa banyak. Yang lebih berat adalah masalah politiknya. Saya bisa bercerita banyak soal ini.

Terlalu banyak proyek di PLN. Terlalu besar-besar nilai proyeknya. Anggaran di PLN jauh lebih besar dari kementerian Kominfo. Dari segi anggaran Rudiantara jelas naik pangkat.

Saya yang justru pernah turun pangkat. Saat dipindahkan dari jabatan Dirut PLN menjadi Menteri BUMN.

Turun pangkat?

Benar.

Dirut PLN gajinya Rp 170 juta/bulan.

Menteri BUMN gajinya Rp 19 juta/bulan.

Untung penurunan itu tidak terasa –saya tidak pernah melihat keduanya.

Dari segi ini, siapa bilang Pak Rudiantara turun pangkat.(dahlan iskan)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/