26.4 C
Jakarta
24 November 2024, 0:57 AM WIB

Samar Gantang Dedikasikan Novel Leak Tegal Sirah untuk Korban PKI

TABANAN – Seniman  Tabanan I Gusti Putu Bawa Samar Gantang akhirnya merampungkan karya novel ketiganya berjudul Leak Tegal Sirah. 

Novel fiksi dengan setting genosida tahun 1965 ini merupakan dedikasi Samar Gantang bagi mereka yang menjadi korban G30S/PKI.

Melalui pergumulan pemikiran, novel setebal 202 halaman tersebut rampung selama 19 tahun.

“Saya menulis novel ini selama 19 tahun dan merampungkannya selama sembilan bulan,” tutur Samar Gantang saat ditemui di rumahnya di Banjar Tegal Belodan, Desa Dauh Peken, Tabanan.

Seniman yang kini berusia 70 tahun tersebut mengatakan, sejarah semestinya ditulis, baik oleh orang yang menang, orang yang kalah, maupun orang yang netral. 

Namun, menurutnya, sepengetahuan dirinya yang sempat hidup di era itu serta beberapa sumber, ada banyak korban yang sebenarnya tidak pernah bersentuhan dengan partai apapun namun justru menjadi korban. 

“Saya menulis buku ini dengan tidak punya kepentingan apapun. Saya hanya ingin melukiskan apa yang 

terjadi saat itu apa yang saya lihat dan alami ketika saya masih remaja dan saat pecahnya peristiwa PKI di Bali,” katanya.

Ia berpendapat bahwa hidup tak lepas dari tiga unsur, yakni hitam, putih, dan abu-abu. “Tak ada kehidupan yang hanya putih saja atau hitam saja, pasti ada abu-abu juga,” tambahnya.

Disinggung terkait lamanya proses pengerjaan novel yang memakan waktu hingga 19 tahun, Samar Gantang ingin harus terlebih dahulu menghadirkan ingatannya kembali ke era tahun 1965 di saat kondisi pembantaian terjadi. 

Sejarah kelam tersebut menimbulkan kesan trauma hingga saat ini. “Bagaimana melukiskan kondisi saat itu agar orang-orang 

menangkap peristiwa seperti itu. Kejadian ini kan cukup lama, kita harus flashback lagi apa yang terjadi pada tahun 65,” terang Samar Gantang.

Novel ini sendiri menceritakan kejadian di Banjar Tegal Sirah yang sudah dikenal angker sejak zaman Kerajaan Carik pada 1500-an.

Tempat itu, menjadi sarang yang menyenangkan bagi roh-roh halus, sedangkan setiap malam Jumat Kliwon banyak krama Banjar Tegal Sirah melihat leak-leak bergentayangan dengan wujud yang bermacam-macam. 

Mereka bermarkas di setra Tegal Sirah dan di sekitar campuhan. Sejak peristiwa Desember 1965 itu, Tegal Sirah semakin angker karena 20 krama Banjar Tegal Sirah ikut dibunuh.

Rohnya penasaran dan menghantui beberapa orang yang terlibat dalam praktik pembunuhan. Mereka adalah orang-orang yang tidak bersalah dan menjadi korban pembataian tanpa proses peradilan.

TABANAN – Seniman  Tabanan I Gusti Putu Bawa Samar Gantang akhirnya merampungkan karya novel ketiganya berjudul Leak Tegal Sirah. 

Novel fiksi dengan setting genosida tahun 1965 ini merupakan dedikasi Samar Gantang bagi mereka yang menjadi korban G30S/PKI.

Melalui pergumulan pemikiran, novel setebal 202 halaman tersebut rampung selama 19 tahun.

“Saya menulis novel ini selama 19 tahun dan merampungkannya selama sembilan bulan,” tutur Samar Gantang saat ditemui di rumahnya di Banjar Tegal Belodan, Desa Dauh Peken, Tabanan.

Seniman yang kini berusia 70 tahun tersebut mengatakan, sejarah semestinya ditulis, baik oleh orang yang menang, orang yang kalah, maupun orang yang netral. 

Namun, menurutnya, sepengetahuan dirinya yang sempat hidup di era itu serta beberapa sumber, ada banyak korban yang sebenarnya tidak pernah bersentuhan dengan partai apapun namun justru menjadi korban. 

“Saya menulis buku ini dengan tidak punya kepentingan apapun. Saya hanya ingin melukiskan apa yang 

terjadi saat itu apa yang saya lihat dan alami ketika saya masih remaja dan saat pecahnya peristiwa PKI di Bali,” katanya.

Ia berpendapat bahwa hidup tak lepas dari tiga unsur, yakni hitam, putih, dan abu-abu. “Tak ada kehidupan yang hanya putih saja atau hitam saja, pasti ada abu-abu juga,” tambahnya.

Disinggung terkait lamanya proses pengerjaan novel yang memakan waktu hingga 19 tahun, Samar Gantang ingin harus terlebih dahulu menghadirkan ingatannya kembali ke era tahun 1965 di saat kondisi pembantaian terjadi. 

Sejarah kelam tersebut menimbulkan kesan trauma hingga saat ini. “Bagaimana melukiskan kondisi saat itu agar orang-orang 

menangkap peristiwa seperti itu. Kejadian ini kan cukup lama, kita harus flashback lagi apa yang terjadi pada tahun 65,” terang Samar Gantang.

Novel ini sendiri menceritakan kejadian di Banjar Tegal Sirah yang sudah dikenal angker sejak zaman Kerajaan Carik pada 1500-an.

Tempat itu, menjadi sarang yang menyenangkan bagi roh-roh halus, sedangkan setiap malam Jumat Kliwon banyak krama Banjar Tegal Sirah melihat leak-leak bergentayangan dengan wujud yang bermacam-macam. 

Mereka bermarkas di setra Tegal Sirah dan di sekitar campuhan. Sejak peristiwa Desember 1965 itu, Tegal Sirah semakin angker karena 20 krama Banjar Tegal Sirah ikut dibunuh.

Rohnya penasaran dan menghantui beberapa orang yang terlibat dalam praktik pembunuhan. Mereka adalah orang-orang yang tidak bersalah dan menjadi korban pembataian tanpa proses peradilan.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/