Konflik agraria yang menimpa para petani Selasih punya cerita panjang.
Konon disebut sudah mereda, namun faktanya belum.
Kehidupan mereka pun kini terusik kembali dengan hadirnya investor.
I WAYAN WIDYANTARA, Payangan
SEJAK dahulu kala, Pulau Bali dikuasai oleh para raja-raja.
Salah satunya Kerajaan Payangan yang terletak di Kecamatan Payangan, Gianyar.
Meski tak seperti dulu, namun sisa-sika kekuasaan Kerajaan Payangan masih bisa dirasakan bagi generasi penerus di daerah ini.
Peninggalan kekuasan puri (Payangan) itu bahkan bisa dilihat dari keberadaan ruko-ruko dan pedagang yang menyediakan atau menjual barang kebutuhan masyarakat setempat.
Meski tak mengambil upeti dari warga, namun ruko-ruko lama di Payangan diakui masih milik para penerus ataupun keluarga dari Puri Payangan itu
“Ya ini punya orang puri,” ujar warga yang tinggal diseputar puri tersebut sambari menunjuk sebuah toko.
Sementara itu, dikutip dari berbagai sumber, sejarah Payangan memiliki hubungan erat dengan kisah perjalanan Rsi Markandya yang berasal dari tanah Jawa ke Pulau Bali.
Rsi Markandya mendirikan beberapa parahyangan/tempat suci umat Hindu sebagai tempat pemujaan yang masih dapat dilihat keberadaanya hingga sekarang ini.
Di sinilah kemudian muncul kata parahyangan yang lambat laun berubah ejaan menjadi Payangan.
Parahyangan sendiri memiliki arti tempat bersemayamnya para Dewata.
Nah, di Kecamatan Payangan pernah berdiri sebuah kerajaan dengan nama yang sama yaitu Kerajaan Payangan (1735 – 1843).
Dimana runtuhnya kerajaan ini disebabkan oleh serangan dari Kerajaan Buleleng yang kemudian kisah ini tertulis di dalam naskah geguritan Uwug Payangan yang hingga kini masih tersimpan di Gedong Kirtya Singaraja.
Lalu apa kaitannya dengan Banjar Selasih dan kehidupan para petaninya?
Made Sudiantara, salah satu tokoh dan juga petani di Selasih menceritakan hubungan antara Puri Payangan dan para petani yang dihidup di Selasih kini.
“Ini awal tanah kerajaan,” ujar pria berumur 50 tahun tersebut saat ditemui dikediamannya.
Dalam ceritanya, sekitar tahun 1900-an, seorang raja bernama Cokorda Putu Ungu memerintahkan warganya atau para petani untuk merabas hutan di Selasih.
Kala itu, petani memang tidak memiliki lahan. Hasil rabasan itu siap ditanamin untuk kebutuhan sehari-hari, tanah itu dimiliki oleh raja.
“Petani itu diberikan izin menanam dengan alasan harus bayar upeti, pajak ke pihak raja. Namun semua terhenti setelah negeri ini menjadi republik. Di jaman republik, dari pihak kerajaan kena Undang Undang land reform, namun yang punya kuasa masih keturunan raja,” jelasnya.
Walapun hak kerajaan dicabut untuk menguasai sebanyak-banyaknya luasan tanah, surat-surat masih disimpan di kerajaan.
Pihak kerajaan hanya melaporkan, jika pihaknya sudah memberikan tanah tersebut ke para petani yang menggarap.
Sudah empat generasi penerus dari kerajaan, namun persoalan tanah masih saja tetap terjadi.
Hal ini karena pihak Puri menjual tanah-tanahnya yang padahal sudah diberikan kepada warga.
Di Selasih, persoalan dimulai sekitar tahun 1994/1995. Dimana Investor dari PT Ubud Resort Duta Development bertransaksi dengan pihak Puri Payangan soal tanah di Selasih.
Transaksi itu terjadi tanpa sepengetahuan para petani penggarap.
Setidaknya, 144 Hektar di lahan garapan petani tersebut sudah mendapatkan ijin kawasan.
“Transaksi terjadi di puri, antar orang puri dan orang PT. Padahal orang puri ini nggak tau tanahnya yang mana,” ujarnya.
Saat itu, dari pihak Puri menjual tanpa sepengetahuan penggarap.
Lalu apa kompensasi terhadap para petani penggarap?
“Memang ada yang dapat sekitar 3 juta. Itu sebagai sekadar ucapan terima kasih, tetapi yang nggak dapat itu juga banyak,” ungkapnya.
Sudiantara sendiri tanahnya nyaris jadi korban jual beli dengan paksa dan harga murah tentunya.
“Iya. Dipaksa agar mau menjual, bapak saya sampai sembunyi,” ceritanya disamping sang ayah yang sudah tua tersebut.
Ingatan Sudiantara cukup tajam, bahkan dapat mengingat kejadian yang berulang kali menimpanya.
Siapa yang memaksa? Sudiantara menjawab para aparat. Sudiantara bahkan masih mengingat kata-kata yang diungkapkan para aparat tersebut.
“Pak, tanah bapak ini ada dalam kawasan PT, tanah bapak harus dibebaskan, kalau nggak, tanah akan di pagar dan bapak di penjara.
Setiap hari kedatangan polisi dan tentara. Sampai bapak saya sembunyi dikejar polisi untuk tandatangan.
Saat bapak saya membajak, didatangin oleh tentara. Jumlahnya sampa 1 kompi. Setiap hari. Itu dari tahun 1994 sampai 1996,” ujarnya.
Tanah para petani saat itu ditawar dengan harga yang sangat murah. Yakni dari kisaran Rp 700 ribg sampai Rp 1,5 juta per arenya. Beberapa petani pun terpaksa melepasnya.
“Karena tekanan itu mereka melepasnya. Saya mampu bertahan karena merasa benar. Walaupun menekan dari segi apapun, saya punya sertifikat.
Saya tidak mau melepas tanah. Tanah itu merupakan penyambung hidup turun temurun,” tegas Sudiantara.
Beruntung karena kegigihan keluarga Sudiantara untuk menjaga dan tidak mau menjual tanahnya, kini tanahnya tersebut masih diselamatkan.
Sudiantara heran, mengapa pihak puri menjerumuskan dirinya ke persoalan tanah.
“Saya tidak kenal dengan orang puri, tapi konflik dengan puri. Orang puri ngasih tanah juga nggak pernah, kenapa saya mesti konflik dengan orang puri?,” herannya. (bersambung)