Apakah Indonesia tetap perlu punya pabrik baja? Atau tidak? Bagaimana kalau pabrik bajanya rugi terus?
Biasa. Jual-tidak-jual-tidak. Selalu banyak teori. Dua di antaranya saling bertolak belakang.
Pihak yang mempertahankan biasanya punya alasan kuat: negara tidak bisa maju kalau tidak punya pabrik baja.
Tesis ini benar kalau kita melihat Amerika, Inggris, Perancis, Jepang dan belakangan Tiongkok dan Korea Selatan.
Tapi juga tidak benar kalau kita melihat Singapura.
Yang ‘pro dijual’ biasanya membawa pandangan praktis: untuk apa memelihara kambing kalau bisa beli sate dengan mudah dan murah.
Tentu ada tambahan alasan emosional. Yang satu nasionalisme. Yang lain modernitas-globalis.
Maka Krakatau Steel itu biar pun sakit terus tapi tidak mati-mati. Tidak ada yang berani mematikan. Bahkan tidak ada yang berani menjualnya.
Padahal begitu banyak yang mengincarnya. Mittal saja sudah tiga kali berusaha membelinya: 1997, 1999, dan 2008.
Selalu saja terjadi drama di dalam prosesnya. Selalu saja terbaca. Siapa yang ingin sekali menjual. Lalu dihujat. Selalu gagal.
Saya beruntung kenal banyak ahli di bidang metalurgi.
Pemain di bidang baja ini tidak banyak. Komunitas mereka kecil. Saling kenal. Saling bermusuhan. Saling caplok.
Setidaknya saling intip.
Konsumen baja juga sedikit. Pedagang baja umumnya saling kenal. Semua terbaca: pedagang mana konsumen pabrik mana. Juga saling intip. Saling menjatuhkan.
Itulah karakter dasar industri baja. Yang membuat pemegang kebijakan politik tidak mudah mengambil putusan.
Termasuk putusan menutup atau menjual. Atau meneruskan pabrik rugi.
Bahkan termasuk sulit saat memilih siapa yang layak memimpin pabrik baja.
Pabrik baja bertolak belakang dengan pabrik –misalkan– handphone dan sejenisnya.
Memilih pimpinan pabrik baja jauh lebih sulit.
Sekali memilih harus benar untuk waktu lama. Ia/dia harus memimpin dalam jangka yang cukup panjang. Setidaknya lima tahun. Kalau bisa 8 tahun.
Bicara pabrik baja adalah bicara jangka panjang. Strategis. Sesuai dengan karakter industri baja.
Jangan pernah cepat mengganti pimpinan pabrik baja. Jangan terjebak berpikir jangka pendek. Itu bukan jiwa pabrik baja.
Tiga kali mengganti bos pabrik baja dalam lima tahun membuat kultur industri baja tidak terbentuk.
Bisa jadi saya salah dalam menyimpulkan itu. Saya bisa menerima pandangan lain yang lebih benar.
Jadi, Krakatau Steel perlu dijual atau tidak?
Lihatlah angka berikut ini. Kebutuhan baja dalam negeri –di tahun 2019– adalah 14 juta ton. Angka ini cenderung naik terus. Apalagi kalau ekonomi Indonesia terus meroket. Ruang untuk tumbuh masih sangat besar.
Produksi baja Indonesia saat ini 7 juta ton. Sudah termasuk pabrik stainless steel terbaru di Morowali, Sulawesi Tenggara.
Berarti, produksi baja kita sebenarnya baru separo dari kebutuhan dalam negeri.
Jelas sekali, pabrik baja di dalam negeri masih diperlukan.
Asal harganya bisa bersaing dengan baja impor. Terutama dari –Anda saja yang melanjutkan kalimat itu.
Saya termasuk yang menyesal tidak cepat memutuskan ini: ganti total gas di Krakatau Steel dengan batu bara. Memang perlu uang banyak.
Dan Krakatau Steel lagi tidak punya uang. Tapi harusnya uang bisa dicari.
Uang memang sudah dicari. Tapi prioritas kala itu untuk membangun pabrik baja baru. Sekalian dengan bahan energi batu bara.
Ups, ada alasan lain. Penggantian pabrik lama ke batu bara tidak bisa dilakukan serentak. Harus bertahap. Pabrik baru harus beroperasi dulu.
Baru yang lama dirombak. Agar produksi tidak terhenti. Apalagi sampai beberapa tahun.
Alasan untuk tidak melakukan perombakan itu memang banyak. Kadang masuk akal. Kadang tidak.
Yang diputuskan waktu itu baru ini: pabrik baru harus tidak boleh lagi pakai gas. Itu kalau kebijakan gas negara masih seperti ini. Harus didesain menggunakan batu bara.
Keputusan itu jalan. Salah satu pabrik yang baru di sana sudah menggunakan batu bara.
Ke depan, pembangkit listrik Krakatau Steel pun juga harus diganti. Dengan PLTU batu bara. Pembangkit gas yang sekarang bisa dikerjasamakan dengan PLN. Hanya untuk kebutuhan peaker Jakarta dan sekitarnya. Yang keperluannya kian terasa waktu mati listrik sengin 1 triliun lalu.
Masih banyak hope di sana. Hanya saja memang harus lebih sabar. Tidak bisa mengharapkan hasil langkah baru dalam tiga tahun. Apalagi dua tahun.
Nyawa pabrik baja kini sepenuhnya di tangan malaikat yang berkuasa: pemerintah. Nafas pabrik baja begitu terkait pada kebijakan impor, kebijakan energi dan kebijakan politik.
Satu-satunya hiburan adalah: baja tidak sendirian menderita. Pabrik semen sudah siap menemaninya.(Dahlan Iskan)