31.6 C
Jakarta
25 November 2024, 18:00 PM WIB

Tawaf Terbalik

Bajaj menuju Kuil Hanoman ini pun bergambar Hanoman –di kaca depannya.

“Di rumah, Anda punya berapa dewa?” tanya saya pada sopir Bajaj itu. Ia orang asli kota suci Varanasi, pedalaman negara bagian Uttar Pradesh.

“Punya dua. Dewa saya Hanoman. Dewa istri saya Shiwa,” katanya.

“Kenapa Dewa istri Anda Shiwa?” tanya saya lagi.

“Lho dia kan wanita,” jawabnya.

Sejak itu saya punya kebiasaan baru. Setiap kali naik Bajaj saya ajukan pertanyaan yang sama. Jawabnya pun sama. Laki-laki berdewa Hanoman. Perempuan berdewa Shiwa.

Waktu kecil saya mengira Shiwa itu laki-laki. Akibat pengajaran agama dengan guru yang kurang membaca.

Di India Dewa Shiva itu istri Parbheti.

Salah anggapan saya lainnya: Dewa Shiwa itu tugasnya menghancurkan dunia. Di India Shiwa itu dewa cinta dan kesetiaan.

Kesalahan saya yang lain: jumlah Dewa. Saya kira Dewa di agama Hindu itu hanya tiga: Brahma, Wishnu, dan Shiwa. Itulah yang diajarkan di sekolah.

Setelah dewasa barulah saya tahu: Dewa dalam Hindu banyak sekali. Orang bisa berdewa satu –tapi umumnya berdewa banyak. Termasuk pohon di tengah jalan. Pelajaran sekolah tentang Hindu banyak yang tidak tepat –dulu.

Termasuk soal kasta yang empat. Ternyata di India ada lima kasta. Yang nomor lima adalah kasta Dalit –kelompok di bawah empat kasta.

Rakyat jelata. Gembel. Istilahnya: tidak berkasta.

Jumlah Dalit luar biasa besarnya. Apalagi di negara bagian Uttar Pradesh ini. Sampai pun pernah menang Pilkada. Beberapa kali. Dengan tokoh utama mereka: Mayawati.

Saat Bajaj masuk ke jalan menuju Kuil Hanoman terlihat tenda usang di depan sana. Dengan meja kusam di bawahnya.

Saya langsung saja berjalan menuju gerbangnya. Melewati pemeriksaan. Badan saya diraba. Ketika rabaan sampai di pinggul tangan itu berhenti.

“Bawa ponsel ya?” katanya.

Saya mengangguk.

“Titipkan di sana,” ujar petugas itu. Seraya menunjuk meja di bawah tenda itu.

Setelah beres saya pun kembali melewati gerbang. Ada koridor selembar 1,5 meter menuju kuil. Kanan-kirinya tanah kosong. Dengan beberapa pohon besar.

Monyet-monyet saling kejar di tanah lapang itu. Saling lompat. Lalu naik ke pohon. Turun lagi. Menyambar pisang hadiah dari pengunjung.

Terlihatlah sepasang kuil kecil di ujung koridor itu. Di antara dua kuil itu ada pendopo kecil.

Di balik pendopo itu ada bangunan berteras. Membentuk huruf U.

Di sepanjang terasnya penuh manusia. Mereka duduk bersila sambil membaca kitab kecil di masing-masing tangan mereka. Atau melantunkan lagu. Menirukan lagu yang dinyanyikan sekelompok kecil penabuh gendang India. Tetabuhan itu terus berjalan keliling di komplek kuil. Menyanyi tiada henti.

Teras itu penuh.

Pendopo itu penuh.

Yang antre menuju altar juga panjang. Sambil membawa bunga. Untuk diletakkan di altarnya.

Mendekati kuil saya melepaskan sepatu. Semua harus begitu. Ada lapak penitipan sepatu berbayar di situ.

Sambil ikut antre saya tertarik pemandangan lain. Ternyata banyak orang yang berjalan mengelilingi kuil kecil itu.

Saya pun keluar dari antrean. Ikut mereka mengelilingi kuil. Seperti orang yang lagi tawaf mengelilingi Ka’bah.

Saya perhatikan apa saja yang mereka lakukan. Sambil berkeliling itu mulut mereka komat-kamit. Ada juga yang sambil membawa kitab kecil di tangan.

Sesekali mereka berhenti. Tangan mereka mengelus-elus dinding kuil. Sambil membenamkan wajah di dinding itu. Meratap.

Di bagian belakang kuil ada jendela yang selalu tertutup. Sebagian mereka pun berhenti di bawah jendela itu. Dengan tangan meraba-raba kayunya. Dan kusen kunonya. Seraya meratap-ratap.

Tiba di sisi barat mereka berhenti. Mencelupkan jari di cawan berisi cairan kental berwarna merah. Lalu menorehkan si kental di ujung jari ke dahi mereka. Tepatnya di antara dua alis.

Saya berhenti memandangi adegan itu. Seseorang lantas menorehkan ujung jari merahnya ke dahi saya. Tepat di antara dua alis saya.

“Ritual keliling ini harus berapa kali putaran?” tanya saya.

“Boleh tiga kali, boleh lima kali,” jawab yang mengolesi dahi saya tadi –seorang wanita setengah tua. “Setelah selesai, lalu melakukan ini,” tambahnyi.

Ups, dia mengira saya sudah keliling lima kali.

Saya lanjutkan memutar sekali lagi. Ingin tahu lebih banyak. Di satu tempat langkah mereka terhambat. Sampai berdesakan. Yakni saat terhambat banyak orang yang lagi berhenti –untuk menghormat Dewa Hanoman. Yang gambarnya ada di dekat altar itu.

Petugas meminta mereka segera bergerak lagi. Agar tidak menghambat yang lagi memutari kuil. Tapi ada saja yang menyembahnya berlama-lama. Sampai sujud segala.

Pikiran saya melayang ke Makkah. Membayangkan saat saya tawaf memutari Ka’bah. Yang sesekali melihat wanita yang mengelus-eluskan tangan di dinding Ka’bah. Sambil juga meratap-ratap.

Membayangkan juga tawaf yang kadang terhambat oleh orang yang memaksa bersujud di dekat Makom Ibrahim.

Rombongan memutari kuil tidak ada hentinya. Datang dan pergi.

Hanya saja di kuil Hanoman ini arah memutarnya kebalikan dari tawaf.

Selesai putaran kedua saya kembali masuk antrean. Mendekati altar. Ingin tahu bagaimana akhir dari antrean itu.

Lalu, saya meninggalkan kuil itu.

Juga dengan sejuta rasa.(Dahlan Iskan)

Bajaj menuju Kuil Hanoman ini pun bergambar Hanoman –di kaca depannya.

“Di rumah, Anda punya berapa dewa?” tanya saya pada sopir Bajaj itu. Ia orang asli kota suci Varanasi, pedalaman negara bagian Uttar Pradesh.

“Punya dua. Dewa saya Hanoman. Dewa istri saya Shiwa,” katanya.

“Kenapa Dewa istri Anda Shiwa?” tanya saya lagi.

“Lho dia kan wanita,” jawabnya.

Sejak itu saya punya kebiasaan baru. Setiap kali naik Bajaj saya ajukan pertanyaan yang sama. Jawabnya pun sama. Laki-laki berdewa Hanoman. Perempuan berdewa Shiwa.

Waktu kecil saya mengira Shiwa itu laki-laki. Akibat pengajaran agama dengan guru yang kurang membaca.

Di India Dewa Shiva itu istri Parbheti.

Salah anggapan saya lainnya: Dewa Shiwa itu tugasnya menghancurkan dunia. Di India Shiwa itu dewa cinta dan kesetiaan.

Kesalahan saya yang lain: jumlah Dewa. Saya kira Dewa di agama Hindu itu hanya tiga: Brahma, Wishnu, dan Shiwa. Itulah yang diajarkan di sekolah.

Setelah dewasa barulah saya tahu: Dewa dalam Hindu banyak sekali. Orang bisa berdewa satu –tapi umumnya berdewa banyak. Termasuk pohon di tengah jalan. Pelajaran sekolah tentang Hindu banyak yang tidak tepat –dulu.

Termasuk soal kasta yang empat. Ternyata di India ada lima kasta. Yang nomor lima adalah kasta Dalit –kelompok di bawah empat kasta.

Rakyat jelata. Gembel. Istilahnya: tidak berkasta.

Jumlah Dalit luar biasa besarnya. Apalagi di negara bagian Uttar Pradesh ini. Sampai pun pernah menang Pilkada. Beberapa kali. Dengan tokoh utama mereka: Mayawati.

Saat Bajaj masuk ke jalan menuju Kuil Hanoman terlihat tenda usang di depan sana. Dengan meja kusam di bawahnya.

Saya langsung saja berjalan menuju gerbangnya. Melewati pemeriksaan. Badan saya diraba. Ketika rabaan sampai di pinggul tangan itu berhenti.

“Bawa ponsel ya?” katanya.

Saya mengangguk.

“Titipkan di sana,” ujar petugas itu. Seraya menunjuk meja di bawah tenda itu.

Setelah beres saya pun kembali melewati gerbang. Ada koridor selembar 1,5 meter menuju kuil. Kanan-kirinya tanah kosong. Dengan beberapa pohon besar.

Monyet-monyet saling kejar di tanah lapang itu. Saling lompat. Lalu naik ke pohon. Turun lagi. Menyambar pisang hadiah dari pengunjung.

Terlihatlah sepasang kuil kecil di ujung koridor itu. Di antara dua kuil itu ada pendopo kecil.

Di balik pendopo itu ada bangunan berteras. Membentuk huruf U.

Di sepanjang terasnya penuh manusia. Mereka duduk bersila sambil membaca kitab kecil di masing-masing tangan mereka. Atau melantunkan lagu. Menirukan lagu yang dinyanyikan sekelompok kecil penabuh gendang India. Tetabuhan itu terus berjalan keliling di komplek kuil. Menyanyi tiada henti.

Teras itu penuh.

Pendopo itu penuh.

Yang antre menuju altar juga panjang. Sambil membawa bunga. Untuk diletakkan di altarnya.

Mendekati kuil saya melepaskan sepatu. Semua harus begitu. Ada lapak penitipan sepatu berbayar di situ.

Sambil ikut antre saya tertarik pemandangan lain. Ternyata banyak orang yang berjalan mengelilingi kuil kecil itu.

Saya pun keluar dari antrean. Ikut mereka mengelilingi kuil. Seperti orang yang lagi tawaf mengelilingi Ka’bah.

Saya perhatikan apa saja yang mereka lakukan. Sambil berkeliling itu mulut mereka komat-kamit. Ada juga yang sambil membawa kitab kecil di tangan.

Sesekali mereka berhenti. Tangan mereka mengelus-elus dinding kuil. Sambil membenamkan wajah di dinding itu. Meratap.

Di bagian belakang kuil ada jendela yang selalu tertutup. Sebagian mereka pun berhenti di bawah jendela itu. Dengan tangan meraba-raba kayunya. Dan kusen kunonya. Seraya meratap-ratap.

Tiba di sisi barat mereka berhenti. Mencelupkan jari di cawan berisi cairan kental berwarna merah. Lalu menorehkan si kental di ujung jari ke dahi mereka. Tepatnya di antara dua alis.

Saya berhenti memandangi adegan itu. Seseorang lantas menorehkan ujung jari merahnya ke dahi saya. Tepat di antara dua alis saya.

“Ritual keliling ini harus berapa kali putaran?” tanya saya.

“Boleh tiga kali, boleh lima kali,” jawab yang mengolesi dahi saya tadi –seorang wanita setengah tua. “Setelah selesai, lalu melakukan ini,” tambahnyi.

Ups, dia mengira saya sudah keliling lima kali.

Saya lanjutkan memutar sekali lagi. Ingin tahu lebih banyak. Di satu tempat langkah mereka terhambat. Sampai berdesakan. Yakni saat terhambat banyak orang yang lagi berhenti –untuk menghormat Dewa Hanoman. Yang gambarnya ada di dekat altar itu.

Petugas meminta mereka segera bergerak lagi. Agar tidak menghambat yang lagi memutari kuil. Tapi ada saja yang menyembahnya berlama-lama. Sampai sujud segala.

Pikiran saya melayang ke Makkah. Membayangkan saat saya tawaf memutari Ka’bah. Yang sesekali melihat wanita yang mengelus-eluskan tangan di dinding Ka’bah. Sambil juga meratap-ratap.

Membayangkan juga tawaf yang kadang terhambat oleh orang yang memaksa bersujud di dekat Makom Ibrahim.

Rombongan memutari kuil tidak ada hentinya. Datang dan pergi.

Hanya saja di kuil Hanoman ini arah memutarnya kebalikan dari tawaf.

Selesai putaran kedua saya kembali masuk antrean. Mendekati altar. Ingin tahu bagaimana akhir dari antrean itu.

Lalu, saya meninggalkan kuil itu.

Juga dengan sejuta rasa.(Dahlan Iskan)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/