32.6 C
Jakarta
25 November 2024, 10:09 AM WIB

Gua Leang Ungkap Peradaban Manusia Nusantara

Kian banyak buktinya. Bahwa Adam bukanlah manusia pertama di bumi.

Bukti terbaru datang dari Sulawesi. Dari sebuah gua yang nyaris hancur –digerus escavator untuk jadi bahan baku pabrik semen di sebelahnya.

Di Tonasa.

Nama gua itu Leang Bulusipong. Di Desa Silorong, Kabupaten Pangkep. Dua jam dari Kota Makassar.

Di situ jenis alamnya agak aneh. Bergunung. Juga bergua-gua.

Salah satu mata airnya menjadi pusat wisata. Yang banyak kupu-kupunya itu.

Di dalam salah satu gua itulah ditemukan lukisan kuno di dindingnya.

Gambar kerbau. Atau Anoa. Gambar itu dilukis setidaknya 40.000 tahun silam.

Jauh lebih tua dari Nabi Adam. Yang diperkirakan hidup 8.000 tahun lalu.

Kawasan ini memang gugusan pegunungan kapur. Yang sangat luas.

Yang kapurnya amat bagus untuk bahan baku semen. Itulah sebabnya pabrik Semen Tonasa didirikan di sebelah perbukitan ini.

Beberapa unit sekaligus.

Demikian juga pabrik semen swasta Bosowa. Milik keluarga Akhsa Mahmud itu.

Penggerusan bukit pun berlangsung tiada henti. Diperkirakan tidak akan habis selama 100 tahun.

Masih berapa kilometer lagi penggerusan itu sampai ke Gua Leang Bulusipong?

“Bukan berapa kilometer pak. Tinggal beberapa meter lagi,” ujar Iwan Sumantri. Ia ahli arkeologi dari Universitas Hasanuddin, Makassar.
Dari nama belakangnya yang Sumantri, Iwan seperti orang Jawa. Padahal asli Bugis. Ia sarjana antropologi Unhas. Lalu mengambil dua master sekaligus: di Unhas untuk Antropologi dan di Universitas Indonesia untuk Arkeologi.

Menurut Iwan, penemuan lukisan kuno itu terjadi lima tahun lalu. Tapi belum diteliti secara ilmiah.

Seberapa pentingkah lukisan itu untuk ilmu pengetahuan?

Mula-mula hanya anak kampung sebelah yang suka masuk gua itu. Main-main di situ. Tidak berbahaya. Tidak terlalu dalam.

Mulut gua itu sekitar 1 meter. Kian ke dalam kian besar.

“Ada gambar kerbau di dalam gua,” begitu pembicaraan anak-anak di kampung itu. Yang jaraknya sekitar 3 km dari mulut gua.

Petugas arkeologi setempat lantas masuk gua. Melaporkan penemuan itu ke kantornya di Makassar. Dikirimlah tim arkeolog setempat.

Lantas dilaporkan pula ke Balai Arkeologi Pusat di Jakarta.

Pihak Semen Tonasa merespon dengan nyata: tidak lagi mengambil bahan baku dari dekat Gua Leang itu. Tonasa menjadikan kawasan tersebut sebagai cagar budaya. Seluas sekitar 3 km persegi.

Adalah ahli dari Griffith University, Australia, yang memastikan nilai ilmiah lukisan di gua itu.

Dua tahun lalu ahli-ahli dari Griffith melakukan penelitian di Leang. Lalu datang lagi membawa peralatan –berupa ditektor. Itulah ditektor nuklir.

Dari situ dipastikan lukisan di Gua Leang itu paling tidak berumur 44.000 tahun.

“Saya sudah meneliti ratusan gua seperti itu. Belum pernah ada yang seperti ini,” ujar Adam Brumm ahli dari Griffith University.

Brumm mengadakan konferensi pers untuk penemuannya yang begitu sexy. Di Kemendiknas Jakarta. Dalam konferensi pers itu Brumm juga mengundang ahli dari Unhas seperti Iwan Sumantri.

Jurnal ilmiah Nature kemudian mempublikasikannya minggu lalu. Dunia arkeologi pun heboh.

Saya pun menghubungi ahli nuklir Universitas Gadjah Mada. Saya ingin tahu bagaimana nuklir dipakai untuk mengukur umur sebuah lukisan. Atau umur apa pun.

“Sudah ada detektor untuk mengukur kandungan C14 di sebuah benda,” ujar Dr Yudiutomo Imardjoko, ahli nuklir UGM. “Detektor bisa membaca: di barang itu masih mengandung C14 berapa Ci,” tambahnya.

Dr Yudiutomo sekarang menjabat Direktur Utama PT Ensterna –sebuah perusahaan irradiasi– yang kami dirikan bersama.

Menurut Yudiu –begitu kami biasa memanggilnya– metode itu ditemukan Prof Willard Libby. Prof Libby adalah peraih hadiah Nobel bidang kimia tahun 1960.

Radiocarbon (14C) itu, katanya, adalah hasil interaksi antara sinar kosmis dan nitrogen. Radiocarbon itu lantas bergabung dengan oksigen di atmosfir. Terbentuklah carbon dioksida radioaktif. Yang digunakan tumbuhan untuk fotosintesis.

Sejak sebuah pohon atau hewan mati interaksi itu berakhir. Demikian pula sejak lukisan itu selesai dibuat. “Kandungan 14C-nya terus menurun. Berapa sisa kandungan 14C di situ menentukan sudah berapa lama tumbuhan itu mati,” ujar Dr. Yudiu.

Saya pun minta tolong wartawan harian Fajar di Pangkep, Sakina. Yang harus langsung naik motor. Harus ke Gua Leang. Untuk memotretnya. Demi DI’s Way.

Teori memang menyebutkan manusia pertama ada di Afrika. Lalu menyebar. Melalui Yaman. Di Yaman itulah mereka berpisah. Ada yang ke arah utara. Ada yang ke arah timur.

Yang ke utara mencapai Jerman dan Eropa lainnya. Mereka hidup di gua-gua. Makhluk ini disebut Neanderthal. Sedikit lebih kecil dari manusia Jerman sekarang.

Waktu saya melakukan test DNA di Amerika diketahuilah: saya ini juga keturunan Neanderthal.

Dalam darah saya terdapat 2 persen darah Neanderthal. Ada juga darah Tionghoa, Arab, Indian Amerika, dan yang dominan adalah darah Asia Tenggara.

Sebagian yang mengarah ke timur sampailah ke India, Sulawesi, dan Australia.
Ahli-ahli Australia antusias ke Sulawesi. Ingin mencari hubungan gua itu dengan suku asli Aborigin di sana.

Dari gua di Sulawesi itu akan banyak diungkap kenyataan baru. Tentang perjalanan sejarah manusia.

Yang tidak percaya pun akan punya banyak alasan. Dan ribuan dalih.(Dahlan Iskan)

Kian banyak buktinya. Bahwa Adam bukanlah manusia pertama di bumi.

Bukti terbaru datang dari Sulawesi. Dari sebuah gua yang nyaris hancur –digerus escavator untuk jadi bahan baku pabrik semen di sebelahnya.

Di Tonasa.

Nama gua itu Leang Bulusipong. Di Desa Silorong, Kabupaten Pangkep. Dua jam dari Kota Makassar.

Di situ jenis alamnya agak aneh. Bergunung. Juga bergua-gua.

Salah satu mata airnya menjadi pusat wisata. Yang banyak kupu-kupunya itu.

Di dalam salah satu gua itulah ditemukan lukisan kuno di dindingnya.

Gambar kerbau. Atau Anoa. Gambar itu dilukis setidaknya 40.000 tahun silam.

Jauh lebih tua dari Nabi Adam. Yang diperkirakan hidup 8.000 tahun lalu.

Kawasan ini memang gugusan pegunungan kapur. Yang sangat luas.

Yang kapurnya amat bagus untuk bahan baku semen. Itulah sebabnya pabrik Semen Tonasa didirikan di sebelah perbukitan ini.

Beberapa unit sekaligus.

Demikian juga pabrik semen swasta Bosowa. Milik keluarga Akhsa Mahmud itu.

Penggerusan bukit pun berlangsung tiada henti. Diperkirakan tidak akan habis selama 100 tahun.

Masih berapa kilometer lagi penggerusan itu sampai ke Gua Leang Bulusipong?

“Bukan berapa kilometer pak. Tinggal beberapa meter lagi,” ujar Iwan Sumantri. Ia ahli arkeologi dari Universitas Hasanuddin, Makassar.
Dari nama belakangnya yang Sumantri, Iwan seperti orang Jawa. Padahal asli Bugis. Ia sarjana antropologi Unhas. Lalu mengambil dua master sekaligus: di Unhas untuk Antropologi dan di Universitas Indonesia untuk Arkeologi.

Menurut Iwan, penemuan lukisan kuno itu terjadi lima tahun lalu. Tapi belum diteliti secara ilmiah.

Seberapa pentingkah lukisan itu untuk ilmu pengetahuan?

Mula-mula hanya anak kampung sebelah yang suka masuk gua itu. Main-main di situ. Tidak berbahaya. Tidak terlalu dalam.

Mulut gua itu sekitar 1 meter. Kian ke dalam kian besar.

“Ada gambar kerbau di dalam gua,” begitu pembicaraan anak-anak di kampung itu. Yang jaraknya sekitar 3 km dari mulut gua.

Petugas arkeologi setempat lantas masuk gua. Melaporkan penemuan itu ke kantornya di Makassar. Dikirimlah tim arkeolog setempat.

Lantas dilaporkan pula ke Balai Arkeologi Pusat di Jakarta.

Pihak Semen Tonasa merespon dengan nyata: tidak lagi mengambil bahan baku dari dekat Gua Leang itu. Tonasa menjadikan kawasan tersebut sebagai cagar budaya. Seluas sekitar 3 km persegi.

Adalah ahli dari Griffith University, Australia, yang memastikan nilai ilmiah lukisan di gua itu.

Dua tahun lalu ahli-ahli dari Griffith melakukan penelitian di Leang. Lalu datang lagi membawa peralatan –berupa ditektor. Itulah ditektor nuklir.

Dari situ dipastikan lukisan di Gua Leang itu paling tidak berumur 44.000 tahun.

“Saya sudah meneliti ratusan gua seperti itu. Belum pernah ada yang seperti ini,” ujar Adam Brumm ahli dari Griffith University.

Brumm mengadakan konferensi pers untuk penemuannya yang begitu sexy. Di Kemendiknas Jakarta. Dalam konferensi pers itu Brumm juga mengundang ahli dari Unhas seperti Iwan Sumantri.

Jurnal ilmiah Nature kemudian mempublikasikannya minggu lalu. Dunia arkeologi pun heboh.

Saya pun menghubungi ahli nuklir Universitas Gadjah Mada. Saya ingin tahu bagaimana nuklir dipakai untuk mengukur umur sebuah lukisan. Atau umur apa pun.

“Sudah ada detektor untuk mengukur kandungan C14 di sebuah benda,” ujar Dr Yudiutomo Imardjoko, ahli nuklir UGM. “Detektor bisa membaca: di barang itu masih mengandung C14 berapa Ci,” tambahnya.

Dr Yudiutomo sekarang menjabat Direktur Utama PT Ensterna –sebuah perusahaan irradiasi– yang kami dirikan bersama.

Menurut Yudiu –begitu kami biasa memanggilnya– metode itu ditemukan Prof Willard Libby. Prof Libby adalah peraih hadiah Nobel bidang kimia tahun 1960.

Radiocarbon (14C) itu, katanya, adalah hasil interaksi antara sinar kosmis dan nitrogen. Radiocarbon itu lantas bergabung dengan oksigen di atmosfir. Terbentuklah carbon dioksida radioaktif. Yang digunakan tumbuhan untuk fotosintesis.

Sejak sebuah pohon atau hewan mati interaksi itu berakhir. Demikian pula sejak lukisan itu selesai dibuat. “Kandungan 14C-nya terus menurun. Berapa sisa kandungan 14C di situ menentukan sudah berapa lama tumbuhan itu mati,” ujar Dr. Yudiu.

Saya pun minta tolong wartawan harian Fajar di Pangkep, Sakina. Yang harus langsung naik motor. Harus ke Gua Leang. Untuk memotretnya. Demi DI’s Way.

Teori memang menyebutkan manusia pertama ada di Afrika. Lalu menyebar. Melalui Yaman. Di Yaman itulah mereka berpisah. Ada yang ke arah utara. Ada yang ke arah timur.

Yang ke utara mencapai Jerman dan Eropa lainnya. Mereka hidup di gua-gua. Makhluk ini disebut Neanderthal. Sedikit lebih kecil dari manusia Jerman sekarang.

Waktu saya melakukan test DNA di Amerika diketahuilah: saya ini juga keturunan Neanderthal.

Dalam darah saya terdapat 2 persen darah Neanderthal. Ada juga darah Tionghoa, Arab, Indian Amerika, dan yang dominan adalah darah Asia Tenggara.

Sebagian yang mengarah ke timur sampailah ke India, Sulawesi, dan Australia.
Ahli-ahli Australia antusias ke Sulawesi. Ingin mencari hubungan gua itu dengan suku asli Aborigin di sana.

Dari gua di Sulawesi itu akan banyak diungkap kenyataan baru. Tentang perjalanan sejarah manusia.

Yang tidak percaya pun akan punya banyak alasan. Dan ribuan dalih.(Dahlan Iskan)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/