RadarBali.com – Fenomena erupsi Gunung Agung menjadi bahan diskusi budayawan sejak ribuan tahun lalu.
Itu dibuktikan dengan munculnya banyak lontar yang menceritakan dashyatnya erupsi Gunung Agung.
Salah satunya lontar Puja Panembutan karya Sang Made Gede Sidemen atau Ida Pedanda Made Sidemen.
Menurut Sugi Linus, pendiri Hanacaraka Society, saat dtemui di sebuah acara diskusi di rumah makan di Jalan Gatot Subroto, Denpasar, penulis lontar mengungkap tentang letusan 1963 yang diikuti kekacauan politik 1965.
Tahun 1963 Gunung Agung meletus. Dua tahun kemudian 1965 masyarakat hancur karena kekacuan politik saat itu. Banyak warga dibunuh karena disebut-sebut terlibat Gerakan 30 September 1965.
Dijelaskan Sugi Lanus, pada 24 Februari 1963 mulai turun lahar di bagian utara Gunung Agung. Lahar diperkirakan meluncur sejauh 7 kilometer selama 20 hari.
Puncak kebencanaan terjadi pada tanggal 17 Maret 1963. Letusan menyemburkan abu vulkanik diperkirakan mencapai 10 kilometer ke udara.
Letusan ini memakan korban ribuan orang. Kemudian letusan susulan 16 Mei 1963 memakan korban sekitar 200 orang. Letusan berakhir tahun 1964. Setelah itu tidak ada lagi aktivitas.
“Melalui lontar ini masyarakat tidak perlu panik. Sebab, pemerintah sudah menyiapkan rambu-rambu dan lainnya,” imbuh pria asal Buleleg itu.
“Tetap siaga tapi jangan panik. Peristiwa bencana sekian banyak terjadi di Bali, kita bisa melampui, modalnya adakah ketenangan,” tegasnya.