NEGARA– Dibandingkan tahun sebelumnya, jumlah kasus bunuh diri pada tahun 2019 lalu, meningkat hingga 50 persen.
Fenomena bunuh diri tersebut, dinilai bukan fenomena biasa. Karena bunuh diri merupakan penyakit, sehingga harus mendapat penangan khusus untuk mencegahnya.
Bahkan potensi untuk melakukan bunuh diri lebih banyak dilakukan pada remaja.
Berdasarkan data laporan dari Polres Jembrana tahun 2018, tercatat ada sebanyak 11 kasus bunuh diri.
Sedangkan pada tahun 2019, laporan kasus bunuh diri naik menjadi 17 kasus atau bertambah 6 kasus.
Meningkatknya akan kasus bunuh diri inipun langsung menjadi perhatian serius Dinas Sosial Kabupaten Jembrana
Kepala Dinas Sosial Jembrana I Made Dwipayana, menjelaskan ada dua kelompok umur dalam kasus bunuh diri.
Dua kelompok umur itu, yakni kelompok umur remaja dan orang tua.
“Kalau untuk orang tua sebagian besar karena sakit yang tidak kunjung sembuh hingga depresi. Kalau orang yang bunuh diri karena sakit, bukan hanya karena tidak bisa menahan sakitnya. Tetapi juga peran dari keluarga, biasanya ditelantarkan keluarganya,” ujar mantan direktur RSU Negara ini.
Terkait kasus bunuh diri yang dilakukan orang tua karena sakit dan diterlantarkan keluarga, sebagai antisipasinya, Disos Jembrana melakukan upaya dengan beberapa cara. Selain memberikan pengobatan, Disos Jembrana bersama pihak kepolisian, perangkat desa, dan LSM juga melakukan pendekatan dengan memberikan motivasi atau semangat hidup.
“Sedangkan bagi orang tua yang sakit, terlantar karena tidak punya keluarga langsung kami ajak ke panti jompo agar mendapat penanganan dini lebih baik dari kesehatan dan kehidupan sosialnya.
Lebih lanjut, bunuh diri dari segi medis bisa disebabkan karena penyakit jiwa. Misalnya apabila ada bisikan pada orang yang mudah diri, maka termasuk dalam gangguan jiwa. Namun apabila karena emosi sesaat, bukan termasuk gangguan jiwa melainkan gangguan emosional.
Sedangkan untuk kasus remaja yang punya kecenderungan bunuh diri, kata Made Dwipayana, permasalahannya lebih kompleks.
Pemikiran remaja mengikuti trend. Sedangkan orang tua tidak bisa mengikuti.
Selain itu pengaruh kemajuan teknologi bisa menyebabkan introvert (kepribadian seseorang yang sering menutup diri pada keadaan luar) dan emosi yang tidak terkendali.
Karena itu, faktor keluarga sangat menentukan. Pola asuh yang salah bisa membuat anak menjadi introvert. Broken home juga menyebabkan anak berubah tidak bisa mengendalikan emosinya.
“Kalau anak sudah main HP dan suka menyendiri, emosi tidak terkendali,” terangnya.
Bunuh diri karena gangguan jiwa lebih sulit ditangani, berbeda jika disebabkan gangguan emosi. Pihaknya bekerjasama lintas dinas-dinas terkait, untuk melakukan pendeteksi dini, pemantauan dan pendampingan.
“Apabila ada yang perlu pendampingan khusus dari psikiater, maka akan didampingi sampai bisa mengendalikan diri,”tukasnya.