DENPASAR – Melakukan donor darah memang tidak semudah yang dibayangkan. Tahapannya lama dan penuh kehati-hatian.
Sampai darah yang sudah diberikan akan melalui sistem screening. Supaya bebas dari penyakit menular dan layak diberikan kepada pasien yang membutuhkan.
Maka dari Itu, UTD Palang Merah Indonesia (PMI) Bali menyeleksi ketat untuk menjadi pendonor harus lolos uji seleksi dan darahnya yang sudah diambil diseleksi kembali.
Bahkan, darah yang sudah diambil ternyata ditemukan terinfeksi penyakit menular. Pada tahun 2019,
PMI Bali menemukan darah yang terinfeksi penyakit menular yang reaktif, seperti hepatitis B, hepatitis C, Sifilis dan HIV/AIDS.
Hal itu diungkapkan oleh Kepala UTD PMI Provinsi Bali, dr. AA Sagung Mas Dwipayani.
Disebutkan dari 36.300 kantong darah, hepatitis B sebanyak 0,7 persen, hepatitis C 0,3 persen, terus sifilis 0,7 persen dan HIV/AIDS ada 0.2 persen.
PMI pun tak tinggal diam. Ketika saat screening ada tanda cekal, petugas akan langsung menelpon yang bersangkutan untuk diajak konseling dan tes sampel.
“Konseling untuk melakukan tes sampel ulang darahnya, begitu dikatakan benar reaktif baru dirujuk ke dokter yang berwenang. Kami sebut kan reaktif karena sensitive dan spesifik,” terangnya.
Darah-darah yang terkontaminasi itu pun langsung dimusnahkan. Proses pemusnahannya sama dengan limbah medis.
PMI bekerja sama dengan pihak ketiga yang memang sudah tersertifikasi. “Pemusnahannya dengan bekerja sama pihak ketiga,
bekerja sama dengan Rumah Sakit Sanglah resmi dan tersertifikasi mengeluarkan anggaran per kilo 19.500,” ucapnya.
Selain itu, Sagung juga mewanti-wanti pada donor darah pengganti, hal yang harus dimaklumi.
Sebab, donor darah pengganti yang lazimnya dari pihak keluarga pasien dan lebih banyak orang baru dan tidak ada rekam jejaknya.
Berbeda dengan donor darah sukarela yang dari awal sudah tercatat di sistem informasi manajemen donor darah (simdondar).
Simdondar adalah program dokumentasi, pencatatan, dan sistem informasi kegiatan pelayanan darah yang dilakukan setiap Unit Transfusi Darah (UTD) PMI.
“Kami meminimalisasi donor darah pengganti. Donor darah sukarela kami sudah memiliki record, 98,4 persen.
Untuk 2019, 36.171 orang. Pendonor darah sukarela tidak ada empat infeksi penyakit menular atau bermasalah dengan darahnya HIV/AIDS, sifilis, Hepatitis B dan C.
Mereka akan langsung terlihat dalam simdondar yaitu data terintegrasi data sistem donor darah terintegrasi mereka tidak akan tanda cekal,” jelasnya.
“Tetapi kalau sudah terlihat ada salah satu dari penyakit tersebut begitu mereka mendaftar akan langsung ada tanda merah.
Tanda cekal itu sangat confidential. Yang tahu bagian yang menangani. Kalau donor darah pengganti harus mengulangi dari awal,
lolos darah tahan seleksi donor belum tentu seleksi saring. Diperiksa lagi dari empat penyakit tersebut. Jika ditemukan darah tersebut akan langsung dimusnahkan.
Jika mau didonorkan ke keluarga itu tidak bisa. Itu yang jarang dipahami oleh masyarakat itu proses yang tidak
boleh diberikan keluarga,” ujarnya dengan menambahkan bahwa pengecekkan pada darah itu butuh 10 sampai 14 jam.
Terlebih lagi, dalam mendapatkan satu kantong darah, memang dikenakan biaya pengganti atas pengolahan darah tersebut.
Menurut Sagung, per kantong Rp 360 ribu. Harga tersebut ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan dan di provinsi oleh Dinas Kesehatan Provinsi Bali.