SINGARAJA – Munculnya fenomena raja -raja di Indonesia dan Bali khususnya menarik minat banyak kalangan bereaksi.
Di Bali, Koordinator Komponen Rakyat Bali (KRB) I Gusti Ngurah Harta malah melaporkan anggota DPD RI dapil Bali Arya Wedakarna (AWK) ke Polda Bali.
Kondisi ini memantik Ketua Manggala Pasemetonan Eka Sthana Dharma Puri Buleleng Anak Agung Wiranata Kusuma angkat bicara.
“Sekali lagi saya tekankan, bahwa saya bukan raja disini bicara tapi Ketua Pasemetonan Puri se-Buleleng,” ucap AA Wiranata Kusuma.
Menurut pria berpangkat Kompol ini, keberadaan raja di Indonesia sudah tidak ada lagi. Itu sejak tahun 1945.
Saat itu seluruh raja-raja di Nusantara menyatakan tunduk dibawah NKRI. Artinya sudah tidak lagi ada zaman kerajaan.
Yang memimpin mulai tahun 1945 adalah seorang presiden, kemudian tingkat provinsi Gubernur dan kabupaten Bupati/Wali Kota, Camat sampai tingkat bawah Kepala Desa (perbekal).
“Kalau zaman sekarang masih ada yang menganggap dirinya raja di Bali secara pribadi saya tidak sepakat dengan hal itu.
Ini memunculkan dampak negatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata anggota Polres Buleleng ini.
Lantaran kemunculan raja-raja membuat perpecahan persatuan dan itu bisa saja dimanfaatkan oleh pihak lain. Kalau pun ada di luar sana yang mengakui dirinya sebagai raja, itu jelas bertanggung jawab terhadap hukum masing-masing.
Sebagai contoh di Purworejo, Jawa Tengah Kerajaan Agung Sejagat (KAS) itu membuat masyarakat resah dan sudah ada konsekuensi hukum.
Di Bali juga sama muncul raja baru yang memicu pihak lain melapor ke polisian. Tentu saja ada konsekuensi hukum atas laporan ini.
“Sekali lagi ini sudah bukan zaman kerajaan, tapi zaman republik,” tegas Agung Wiranata. Dia menambahkan raja pasti ada darah dan trah silsilah keturunan.
Namun, itu tidak cukup untuk mengaku sebagai seorang raja. Keturunan raja pasti iya ada, namun bukan raja. Karena raja memiliki kekuasaan dan kewenangan di kerajaan mereka.
Kemudian memiliki pasukan, memiliki aturan dan undang-undang, memiliki rakyat dan wilayah kekuasaan. Yang paling penting diakui oleh negara lain.
“Khusus di Buleleng, jika ada yang mengaku-ngaku raja Buleleng dikemudian hari itu tidak ada. Karena keluarga besar tidak pernah merekomendasikan
atau mengangkat, membisikan sebagai raja dan ratu. Kami di puri sudah bersepakat menyatu dengan NKRI,” ungkapnya.