33.4 C
Jakarta
22 November 2024, 12:06 PM WIB

Saat Virus Corona Merebak dan Nasib Mahasiswa Indonesia di Wuhan

Sehari kemarin saya sibuk menghubungi mahasiswa yang lagi kuliah di Wuhan. Atau yang di kota-kita lain sekitar Wuhan –di Provinsi Hubei.

Tentu saya ingin tahu keadaan mereka. Di saat virus Wuhan lagi mewabah. Yang sampai kemarin sudah membuat lebih 1.200 orang terjangkit –52 di antaranya meninggal dunia.

Banyak di antara mahasiswa itu yang berangkat lewat yayasan kami, ITCC. Misalnya Zakia Ayu Alvita Abidin Putri, asal pulau Nunukan, Kalimantan Utara.

Zakia sebenarnya tidak kuliah di Wuhan. Tapi di Kota Huashi. Masih di Provinsi Hubei yang ibukotanya Wuhan. Kota Huashi sekitar 100 Km di selatan Wuhan. Sudah dekat dengan Provinsi Jiangxi, yang ibu kotanya Nanchang.

Di Huashi Zakia ambil prodi kedokteran. Kini sudah semester delapan.

“Orang tua saya minta agar saya pulang,” ujar Zakia.

Orang tuanyi di Nunukan seorang pegawai negeri. Bapak-ibunyi terus mengikuti perkembangan virus Wuhan yang mengerikan itu. Dan anak mereka lagi di pusat virus itu.

“Tapi saya tidak mungkin pulang. Bahkan keluar dari Kota Wuhan ini saja tidak mungkin. Kota ini di-lock,” ujar Zakia.

Kampus Zakia kan di Huashi, kenapa dia di Wuhan?

Ini kan hari libur panjang. Tahun baru Imlek. Zakia ingin ke Beijing. Dia belum pernah tahu ibu kota Tiongkok itu.

Di Beijing Zakia liburan selama lima hari, sampai tanggal 17 Desember. Dari Beijing Zakia ke Wuhan. Ada teman lain lagi yang ingin dia kunjungi.

Zakia liburan di Beijing

Itulah temannyi dari Surabaya. Yang lagi kuliah di Wuhan. Nama mereka: Fitrak dan Faiz. Dari Unesa Surabaya.

Dan lagi untuk pulang ke Huashi dia memang harus lewat Wuhan.

Ibu kota Hubei itu memang pusat transportasi di Tiongkok Tengah. Ke mana pun harus melewati Wuhan.

Di Wuhan Zakia tinggal di asrama mahasiswa kenalannya yang asal Surabaya itu. Mereka sesama aktivis mahasiswa asal Indonesia. Zakia memang sudah sering ke Wuhan. Untuk rapat-rapat organisasi mahasiswa Indonesia Tiongkok.

Ketika sudah lima hari di Wuhan tiba-tiba kota itu diisolasi. Yang sudah di Wuhan tidak lagi bisa ke mana-mana.

“Saya sebenarnya juga takut sekarang ini. Tapi saya kuat-kuatkan,” ujar Zakia.

Zakia bersama Fitra dan Faiz di depan asrama di Wuhan.

Saya juga menghubungi Fachrur Razi, mahasiswa kedokteran asal Sampang, Madura. Yang satu kamar dengan mahasiswa sesama asal Sampang.

Fachrur baru semester tiga –segera ke semester empat. Orang tuanya juga ketakutan akan nasib anaknya. Minta sang anak pulang. “Saya juga takut di sini. Tapi bagaimana lagi,” ujar Fachrur.

Tempat kuliah Fachrur ini memang di Provinsi Hubei tapi di Kota Xianning –sekitar 100 di utara Wuhan. Kota ini juga diisolasi. Fachrur tidak bisa ke mana-mana.

Tiap hari di kamar saja. Sudah dua minggu ini tidak berani keluar kamar.

Udara lagi dingin, 4 derajat Celsius. Fachrur tidak berani menghidupkan mesin pemanas. “Takut tagihan listriknya mahal,” ujar Fachrur.

Ia memilih memakai baju tebal. Dan selimut tebal.

Di kamarnya itu tidak pula ada televisi.

Di kamar pun Fachrur memakai masker. “Untuk kehati-hatian,” katanya.

Masker itu didapat dari universitas. Tiap penghuni asrama diberi masker 20 buah. “Saya masih punya 15,” ujar Fachrur.

Tapi Zakia sudah berani keluar asrama. “Saya pakai masker rangkap dua,” ujarnya sambil ketawa.

Itu dia lakukan kemarin. Ketika bahan makan di kamar temannyi itu habis. Zakia berjalan sekitar 10 menit. Ke toko yang sudah mulai buka di dekat asrama. “Tokonya orang Arab,” ujar Zakia.

Sepanjang jalan menuju toko itu Zakia merasakan betapa sepi Kota Wuhan. Tapi masih dia lihat juga beberapa orang berjalan. “Yang berani jalan-jalan itu saya lihat orang berkulit hitam dari Afrika,” ujar Zakia.

Dia juga melihat ada satu dua mobil yang lewat. Tapi dibanding biasanya tentu bisa dibilang senyap.

Kini tidak hanya virus corona yang harus diperangi di Wuhan. Tapi juga medsos yang menyebarkan hoax.

Misalnya ada yang memviralkan khasiat bunga tertentu. Yang katanya bisa sebagai obat ajaib untuk melawan virus itu.

Bahkan ada yang menganjurkan agar menyalakan mercon yang dirangkai panjang di depan rumah. Agar virus di rumah itu mati semua.

Delapan orang sudah ditangkap polisi di Provinsi Hubei akibat hoax seperti itu.

Dalam suasana kepanikan memang ada orang yang lebih emosional. Lalu menyebarkan informasi yang dilebih-lebihkan. Termasuk menggambarkan Kota Wuhan menjadi seperti kota zombie: orang-orang jatuh bergelimpangan di jalan-jalan terkena virus. Bergeletakan mati di situ.

Memang Kota Wuhan menjadi sepi sekarang ini. Orang dilarang meninggalkan kota. Orang luar juga dilarang masuk kota. Padahal Kota Wuhan itu besar sekali –sebesar Jakarta. Dengan penduduk 11 juta. Termasuk sekitar 200 orang mahasiswa Indonesia yang belajar di sana.

Mahasiswa seperti Zakia dan Fachrur kini lagi mengikuti ujian kehidupan –mendahului ujian akhir mereka.(Dahlan Iskan) 

Sehari kemarin saya sibuk menghubungi mahasiswa yang lagi kuliah di Wuhan. Atau yang di kota-kita lain sekitar Wuhan –di Provinsi Hubei.

Tentu saya ingin tahu keadaan mereka. Di saat virus Wuhan lagi mewabah. Yang sampai kemarin sudah membuat lebih 1.200 orang terjangkit –52 di antaranya meninggal dunia.

Banyak di antara mahasiswa itu yang berangkat lewat yayasan kami, ITCC. Misalnya Zakia Ayu Alvita Abidin Putri, asal pulau Nunukan, Kalimantan Utara.

Zakia sebenarnya tidak kuliah di Wuhan. Tapi di Kota Huashi. Masih di Provinsi Hubei yang ibukotanya Wuhan. Kota Huashi sekitar 100 Km di selatan Wuhan. Sudah dekat dengan Provinsi Jiangxi, yang ibu kotanya Nanchang.

Di Huashi Zakia ambil prodi kedokteran. Kini sudah semester delapan.

“Orang tua saya minta agar saya pulang,” ujar Zakia.

Orang tuanyi di Nunukan seorang pegawai negeri. Bapak-ibunyi terus mengikuti perkembangan virus Wuhan yang mengerikan itu. Dan anak mereka lagi di pusat virus itu.

“Tapi saya tidak mungkin pulang. Bahkan keluar dari Kota Wuhan ini saja tidak mungkin. Kota ini di-lock,” ujar Zakia.

Kampus Zakia kan di Huashi, kenapa dia di Wuhan?

Ini kan hari libur panjang. Tahun baru Imlek. Zakia ingin ke Beijing. Dia belum pernah tahu ibu kota Tiongkok itu.

Di Beijing Zakia liburan selama lima hari, sampai tanggal 17 Desember. Dari Beijing Zakia ke Wuhan. Ada teman lain lagi yang ingin dia kunjungi.

Zakia liburan di Beijing

Itulah temannyi dari Surabaya. Yang lagi kuliah di Wuhan. Nama mereka: Fitrak dan Faiz. Dari Unesa Surabaya.

Dan lagi untuk pulang ke Huashi dia memang harus lewat Wuhan.

Ibu kota Hubei itu memang pusat transportasi di Tiongkok Tengah. Ke mana pun harus melewati Wuhan.

Di Wuhan Zakia tinggal di asrama mahasiswa kenalannya yang asal Surabaya itu. Mereka sesama aktivis mahasiswa asal Indonesia. Zakia memang sudah sering ke Wuhan. Untuk rapat-rapat organisasi mahasiswa Indonesia Tiongkok.

Ketika sudah lima hari di Wuhan tiba-tiba kota itu diisolasi. Yang sudah di Wuhan tidak lagi bisa ke mana-mana.

“Saya sebenarnya juga takut sekarang ini. Tapi saya kuat-kuatkan,” ujar Zakia.

Zakia bersama Fitra dan Faiz di depan asrama di Wuhan.

Saya juga menghubungi Fachrur Razi, mahasiswa kedokteran asal Sampang, Madura. Yang satu kamar dengan mahasiswa sesama asal Sampang.

Fachrur baru semester tiga –segera ke semester empat. Orang tuanya juga ketakutan akan nasib anaknya. Minta sang anak pulang. “Saya juga takut di sini. Tapi bagaimana lagi,” ujar Fachrur.

Tempat kuliah Fachrur ini memang di Provinsi Hubei tapi di Kota Xianning –sekitar 100 di utara Wuhan. Kota ini juga diisolasi. Fachrur tidak bisa ke mana-mana.

Tiap hari di kamar saja. Sudah dua minggu ini tidak berani keluar kamar.

Udara lagi dingin, 4 derajat Celsius. Fachrur tidak berani menghidupkan mesin pemanas. “Takut tagihan listriknya mahal,” ujar Fachrur.

Ia memilih memakai baju tebal. Dan selimut tebal.

Di kamarnya itu tidak pula ada televisi.

Di kamar pun Fachrur memakai masker. “Untuk kehati-hatian,” katanya.

Masker itu didapat dari universitas. Tiap penghuni asrama diberi masker 20 buah. “Saya masih punya 15,” ujar Fachrur.

Tapi Zakia sudah berani keluar asrama. “Saya pakai masker rangkap dua,” ujarnya sambil ketawa.

Itu dia lakukan kemarin. Ketika bahan makan di kamar temannyi itu habis. Zakia berjalan sekitar 10 menit. Ke toko yang sudah mulai buka di dekat asrama. “Tokonya orang Arab,” ujar Zakia.

Sepanjang jalan menuju toko itu Zakia merasakan betapa sepi Kota Wuhan. Tapi masih dia lihat juga beberapa orang berjalan. “Yang berani jalan-jalan itu saya lihat orang berkulit hitam dari Afrika,” ujar Zakia.

Dia juga melihat ada satu dua mobil yang lewat. Tapi dibanding biasanya tentu bisa dibilang senyap.

Kini tidak hanya virus corona yang harus diperangi di Wuhan. Tapi juga medsos yang menyebarkan hoax.

Misalnya ada yang memviralkan khasiat bunga tertentu. Yang katanya bisa sebagai obat ajaib untuk melawan virus itu.

Bahkan ada yang menganjurkan agar menyalakan mercon yang dirangkai panjang di depan rumah. Agar virus di rumah itu mati semua.

Delapan orang sudah ditangkap polisi di Provinsi Hubei akibat hoax seperti itu.

Dalam suasana kepanikan memang ada orang yang lebih emosional. Lalu menyebarkan informasi yang dilebih-lebihkan. Termasuk menggambarkan Kota Wuhan menjadi seperti kota zombie: orang-orang jatuh bergelimpangan di jalan-jalan terkena virus. Bergeletakan mati di situ.

Memang Kota Wuhan menjadi sepi sekarang ini. Orang dilarang meninggalkan kota. Orang luar juga dilarang masuk kota. Padahal Kota Wuhan itu besar sekali –sebesar Jakarta. Dengan penduduk 11 juta. Termasuk sekitar 200 orang mahasiswa Indonesia yang belajar di sana.

Mahasiswa seperti Zakia dan Fachrur kini lagi mengikuti ujian kehidupan –mendahului ujian akhir mereka.(Dahlan Iskan) 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/