DENPASAR – Kasus kematian ratusan babi secara mendadak dan massal akhir-akhir ini membingungkan semua pihak.
Tidak hanya peternak, tapi juga pemerintah. Apalagi, penyebab kematian masih simpang siur. Penyebab awal diduga karena African Swine Fever (ASF), namun belakangan dianulir.
Dinas Pertanian masih menunggu hasil uji lab di BBVet Medan. Kondisi ini jelas berdampak kerugian bagi para peternak.
Kondisi ini juga memberi pengaruh terhadap menurunnya penjualan daging di pasaran. Calon pembeli khawatir dengan kualitas daging babi yang dijual para pedagang.
Sampai saat ini harga daging babi di pasar berkisar Rp 55 ribu hingga Rp 65 ribu. Jika kondisi ini dibiarkan harga daging babi bisa saja makin anjlok.
Wakil Ketua Gabungan Usaha Peternak Babi Indonesia (GPUBI) Bali Nyoman Ariadi mengakui harga daging babi sedang kacau di Bali.
Kalau normal babi hidup sehat masih dikisaran Rp 25 ribu sampai Rp 27 ribu per kilogram. Harga itu nyaris sama sehari sebelum Hari Raya Imlek lalu di angka Rp 26 ribu sampai Rp 27 ribu per kilogram.
Saking mengenaskannya, Nyoman Ariadi enggan berkomentar karena prihatin dengan nasib peternak babi. Menurutnya, tukang potong membeli babi ke peternak dengan harga yang sangat jatuh.
Ia bahkan tak berani menyebutkan angka nominalnya. “Banyak peternak menjual babi yang tersisa. Yang jelas, harga babi lagi kacau. Ini bukan harga babi normal.
Berapapun babinya biar ada pengganti kerugian. Apalagi babi yang sakit tidak ada nilainya. Daripada nanem (dikubur),” ucapnya.
Jelasnya, masalah harga ini seperti dimanfaatkan oleh tukang jagal. Peternak hanya bisa diam, supaya babinya laku terjual. Dalam kejadian ini peternak yang jadi korban.
“Masalah harga saya tidak tahu. Kasihan peternak. Itu harga babi sakit. Kalau itu dibahasakan lagi misalnya begitu harga babi semakin berisiko.
Harga babi lagi sakit, sekarang tukang potong punya perasaan lah. Tukang potong ada karena ada peternak. Yang sehat pun dibawa ke harga ke babi sakit, kasihan peternak,” bebernya lagi.
Ironisnya, kata dia, sampai saat ini belum ada solusi dari pemerintah. Instansi pemerintah yang membidangi peternakan belum menawarkan solusi.
Solusi pemerintah hanya pada tataran biosecurity. Justru Ariadi mempertanyakan apakah biosecurity menjamin ternak babi tidak terserang penyakit.
“Kebingungan semua. Berapa kali berkoordinasi dengan Balai Besar Veteriner, karantina pertanian dengan dinas pertanian kita selalu berkoordinasi mengingat penyakit seperti itu sangat berbahaya.
Sekarang kebakaran jengot semua, mestinya dilakukan awal. Kekeliruan kita karena lengah saat ada penyelundupan dari Lampung. Ini yang ketangkap.
Nah, mulai ngebom jadi seperti ini. Apakah sekarang perlu saling menyalahkan. Kami ingin mencari solusi. Bahan upakara pakai bahan apa kalau tidak ada babi,” tandasnya.