RadarBali.com – Berdasar pemantauan visual, asap kawah teramati dari Pos Pengamatan Gunungapi Agung di Rendang (sektor Selatan) maupun di Batulompeh (sektor Utara) berwarna putih dengan intensitas tipis hingga tebal mencapai ketinggian 50-200 m di atas puncak.
Untuk hasil penginderaan jauh satelit, area panas di permukaan dalam kawah dari pantauan satelit teramati mengalami perluasan selama krisis terjadi di Gunung Agung.
Area panas ini berada di permukaan kawah sebelah timur laut maupun di tengah kawah. Air keluar ke permukaan kawah melalui lapangan solfatara yang berada di bagian timur laut teramati dari pantauan satelit.
“Keluarnya air ini mengindikasikan adanya gangguan hidrologis di bawah Gunung Agung akibat peningkatan aktivitas magmatik saat ini,” kata Kepala PVMBG, Kasbani, melalui siaran persnya.
Pengukuran dengan Tiltmeter sempat mengindikasikan pola deflasi/pengempisan Gunung Agung secara tiba-tiba pada tanggal 1 Oktober 2017 namun kemudian polanya berubah kembali ke inflasi/penggembungan pada hari berikutnya hingga saat ini.
Jika dilihat dari Geokimia, hasil pengukuran gas Gunung Agung dengan metode Differential optical absorption spectroscopy (DOAS), pada jarak 12 km dari puncak tidak mendeteksi adanya kadar SO2 yang tinggi.
Namun hal ini tidak dapat diinterpretasikan sebagai rendahnya aktivitas magmatik. Konsentrasi SO2 kemungkinan berada di bawah batas kemampuan peralatan untuk mendeteksi pada jarak sejauh ini atau kemungkinan tidak terdeteksi karena SO2 berinteraksi dan terlarut dalam air.
Asap putih yang keluar dari kawah Gunung Agung sangat berpotensi disertai dengan keluarnya gas-gas magmatik (CO2, SO2, dll).
Jika konsentrasinya tinggi, gas-gas ini dapat tercium menyengat (bau belerang) dan dapat membahayakan keselamatan bagi yang menghirupnya.
Namun demikian, paparan gas saat ini kemungkinan hanya berada di sekitar kawah. Gas-gas ini akan dengan mudah tertiup dan tercacah oleh angin sehingga konsentrasinya akan menjadi lebih rendah atau bahkan nihil pada jarak yang jauh.