TABANAN – Terbitnya Pergub Bali Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi atau Destilasi Khas Bali, mendapat apresiasi dari petani tuak di Tabanan.
Salah satu petani tuak, I Wayan Leter asal Banjar Tegal, Desa Kukuh, Marga, menuturkan, legalitas minuman lokal seperti arak dan tuak tersebut
sangat mendukung ekonomi kerakyatan khususnya yang bergelut di bidang minuman berakohol yaitu arak dan tuak.
Melalui Pergub Nomor 1 Tahun 2020 ini, sebagai petani tuak dirinya kini menemui kendala untuk memasarkan produknya agar bisa masuk ke hotel maupun swalayan.
Sebab selama ini dalam proses produksi hingga pemasaran dilakukan dengan cara konvensional. “Dalam sehari saya sendiri bisa memproduksi tuak sebanyak 18 liter dan perbotolnya dijual seharga Rp 5.000,” ujar Leter.
Untuk bisa mengembangkan usaha ini, Leter berharap ada pembinaan yang dilakukan oleh Pemprov Bali agar tuak yang diproduksi bisa dijual secara online serta memiliki hak cipta dan kemasan botol yang menarik.
“Saya harap Pak Gubernur bisa membantu kami (petani tuak) bagaimana cara memasarkan tuak dan harganya pun bisa bersaing dengan minuman lain,” harapnya.
Leter menambahkan, untuk menghasilkan kualitas tuak yang terbaik membutuhkan waktu selama satu bulan, dan dalam memilih carang untuk tuak pun tidak sembarangan.
Di mana posisi bunga pohon Jaka atau Kolang Kaling harus benar-benar berada di bawah buah. Selain itu dalam memilih pohon Jaka pun tidak sembarangan agar tuak yang dihasilkan memiliki kualitas yang bagus.
“Posisi pohon Jaka harus berdampingan dengan pohon bambu sebab dipastikan kualitas tanahnya sangat baik,” tukasnya.