TABANAN – Rombongan Unit Pelayanan Terpadu Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Bali, kemarin (17/2) melakukan pengecekan ke Panti Asuhan Penuai Indonesia Tabanan.
Kedatangan tersebut untuk menanyakan operasional panti pascakasus pencabulan oleh ketua panti Reimal Sipahelut mencuat ke publik.
Ada sejumlah temuan dalam pengelolaan panti tersebut yang tidak layak. Hal itu diungkapkan langsung Ni Luh Sukawati, selaku pendamping hukum atau mediator di UPT PPA Provinsi Bali.
“Saya mendapat informasi panti ini setengah layak setengah tidak. Tapi kesimpulan akhir tidak layak,” ucap Ni Luh Sukawati ditemui setelah menjalani pertemuan dengan pengurus panti.
Ada beberapa pertimbangan, keberadaan panti ini tidak layak. Misalnya, lokasi panti yang tidak memenuhi standar.
Misalnya dari segi bangunan seperti rumah biasa. Selain itu, anak-anak panti juga disuruh untuk mengasuh anak-anak dari pelaku yang memang tinggal di panti tersebut.
Bahkan informasi yang paling membuat miris, pemenuhan gizi terhadap anak-anak itu tidak berjalan lancar padahal kata dia sokongan dana baik dari pemerintah maupun donatur berjalan lancar.
“Ketika kami tanyakan mengenai itu, pengurus panti membantah. Tapi kami katakan bahwa kami tidak mencari siapa yang jujur dan tidak. Kami dapat informasi valid bahwa kondisi itu memang terjadi,” tegasnya.
Terlebih operasional panti sudah berjalan dari tahun 2016 namun izin operasional keluar baru di tahun 2019 lalu.
“Makanya saya anggap ini ilegal. Papan nama juga tidak ada, alasanya dicabut sama pengurus panti pusat. Memang dari hasil keterangan pengurus panti ini berbelit-belit. Bahkan terkesan menutupi,” urainya.
Sukawati juga menegaskan, informasi yang diutarakan para korban ini merupakan sebuah kejujuran apa yang dialami.
Terlebih dalam kasus ini, ada keterlibatan pihak lain dan juga korban yang semakin bertambah. Hal itu yang diharapkan agar aparat kepolisian tidak berhenti melakukan penyelidika pada tersangka tunggal saja.
“Kami banyak dapat informasi dari korban bahwa ada keterlibatan pihak lain. Ini yang harus dibongkar juga kalau penanganan kasus ini betul-betul serius,
ya soal itu merupakan ranah polisi. Kalau dari penuturan para korban pelaku lebih dari satu. Ini yang harus diusut,” tegas Sukawati.
Pihaknya pun kembali menegaskan kepada pengurus panti, masih ada harapan untuk berbenah. Asalkan tidak menutupi proses hukum yang sedang berjalan.
Pihaknya juga mengimbau pendirian panti bukan untuk ajang berbisnis mencari keuntungan dengan dalih hanya untuk mendapatkan bantuan.
“Kejadian ini tidak bisa ditoleransi karena ini memberangus masa depan anak, saya marah dan sedih apa yang dialami curhatan anak-anak terlebih para korban ini,” tandas Sukawati.
Penuturan lain juga datang dari warga yang rumahnya berdekatan dengan panti, pihaknya merasa kaget dengan adanya kasus persetubuhan yang dilakukan Reimal Sipahelut terhadap anak-anak panti yang masih di bawa umur.
Namun diakui warga yang namanya enggan dimediakan itu mengaku kerap melihat anak-anak panti yang dipukuli ketika melakukan kesalahan.
“Biasanya menggunakan kayu, bagian kaki biasanya dipukul. Kasian juga liatnya. Kalau satu salah semua kena hukum.
Makannya juga hanya sayur tidak pakai garam, kadang karena saya kasian saya kasi makan. Kadang juga anak-anak itu ke sekolah tanpa
makan nasi atau sangu uang. Itu sudah sering,” tutur salah seorang warga banjar Jadi Anyar, desa Banjar Anyar, Kediri.