28.1 C
Jakarta
22 November 2024, 18:40 PM WIB

Pasar Menjanjikan, Petani Belatungan Kembangkan Tanaman Porang

TABANAN – Tanaman porang memiliki nilai strategis untuk dikembangkan karena punya peluang yang cukup besar untuk diekspor.

Berdasar data Badan Karantina Pertanian, ekspor porang pada tahun 2018 tercatat sebanyak 254 ton dengan nilai ekspor yang mencapai Rp 11,31 miliar.

Beberapa negara yang menjadi tujuan ekspor, yakni Jepang, Tiongkok, Vietnam, dan Australia. Dari potensi itu, sejak sejak akhir 2019 lalu, Petani di Desa Belatungan, Kecamatan Pupuan,

Kabupaten Tabanan, mulai membidik tanaman yang memiliki nama latin Amorphophallus muelleri ini untuk dikembangkan mengingat potensi ekonomi yang menjanjikan.

Saat ini, hampir setiap petani mulai mencoba membudidayakan puluhan bahkan ratusan tanaman porang di kebunnya.

Secara keseluruhan puluhan ribu tanaman yang juga dikenal dengan sebutan tanaman Kula-kula itu kini ditanam oleh warga  petani di Desa Belatungan.

Salah seorang petani I Wayan Sudiada asal Banjar Dajan Ceking, Desa Belatungan menuturkan, selama ini tanamam kula-kula dianggap tanaman liar karena banyak tumbuh di hutan-hutan atau kebun kopi milik penduduk.

Tananam porang sepintas mirib dengan suweg. Kula-Kula atau Porang daunnya lebar, memiliki ujung runcing dan berwana hijau muda dengan batang halus dan berwarna belang-belang hijau putih.

Pada setiap pertemuan cabang Kula-Kula terdapat bubil warna cokelat yang nantinya menjadi  bibit porang.

“Kula-Kula (porang) memiliki umbi. Tapi, tidak bisa dikonsumsi langsung karena harus diolah terlebih dulu kalau tidak akan gatal ketika langsung dikonsumsi,” kata Sudiada.

Tanaman kula-kula kata Sudiada, mulai menjadi perbincangan di kalangan masyarakat Desa Belatungan karena umbinya mulai ada yang membeli.

Untuk harga jualnya sendiri, harga di tingkat petani mencapai Rp 6.000 per kg. “Waktu itu masih mengambil dari tanaman kula-kula

yang tumbuh liar. Sekarang petani di banjar kami mulai banyak yang mencoba membudidayakan kula-kula atau porang ini,” ungkapnya.

Melalui media internet masyakarat Desa Belatungan pun gencar mencari informasi tentang tanaman porang tersebut.

Saat ini mereka mulai mengetahui umbi porang banyak dicari untuk di ekspor ke beberapa negara seperti Tiongkok, Australia dan Vietnam.

Bahkan permintaan ekspor umbi porang mencapai belasan ribu ton. “Informasinya umbi kula-kula (porang) diolah menjadi bahan baku kosmetik dan bahan pangan,” tuturnya.

Dari informasi tersebut, masyarakat Desa Belatungan menjadi tertarik dan mulai membudidayakan secara luas dengan sistem pertanian tumpang sari di bawah tanaman kopi.

Warga pun saling berbagi bibit dan sebagian masih menanam dengan skala kecil-kecilan. Dari awal tanam, porang ini baru bisa dipanen pada usia tiga tahun dan selanjutnya anakan akan tumbuh sendiri dan bisa panen setiap tahun.

TABANAN – Tanaman porang memiliki nilai strategis untuk dikembangkan karena punya peluang yang cukup besar untuk diekspor.

Berdasar data Badan Karantina Pertanian, ekspor porang pada tahun 2018 tercatat sebanyak 254 ton dengan nilai ekspor yang mencapai Rp 11,31 miliar.

Beberapa negara yang menjadi tujuan ekspor, yakni Jepang, Tiongkok, Vietnam, dan Australia. Dari potensi itu, sejak sejak akhir 2019 lalu, Petani di Desa Belatungan, Kecamatan Pupuan,

Kabupaten Tabanan, mulai membidik tanaman yang memiliki nama latin Amorphophallus muelleri ini untuk dikembangkan mengingat potensi ekonomi yang menjanjikan.

Saat ini, hampir setiap petani mulai mencoba membudidayakan puluhan bahkan ratusan tanaman porang di kebunnya.

Secara keseluruhan puluhan ribu tanaman yang juga dikenal dengan sebutan tanaman Kula-kula itu kini ditanam oleh warga  petani di Desa Belatungan.

Salah seorang petani I Wayan Sudiada asal Banjar Dajan Ceking, Desa Belatungan menuturkan, selama ini tanamam kula-kula dianggap tanaman liar karena banyak tumbuh di hutan-hutan atau kebun kopi milik penduduk.

Tananam porang sepintas mirib dengan suweg. Kula-Kula atau Porang daunnya lebar, memiliki ujung runcing dan berwana hijau muda dengan batang halus dan berwarna belang-belang hijau putih.

Pada setiap pertemuan cabang Kula-Kula terdapat bubil warna cokelat yang nantinya menjadi  bibit porang.

“Kula-Kula (porang) memiliki umbi. Tapi, tidak bisa dikonsumsi langsung karena harus diolah terlebih dulu kalau tidak akan gatal ketika langsung dikonsumsi,” kata Sudiada.

Tanaman kula-kula kata Sudiada, mulai menjadi perbincangan di kalangan masyarakat Desa Belatungan karena umbinya mulai ada yang membeli.

Untuk harga jualnya sendiri, harga di tingkat petani mencapai Rp 6.000 per kg. “Waktu itu masih mengambil dari tanaman kula-kula

yang tumbuh liar. Sekarang petani di banjar kami mulai banyak yang mencoba membudidayakan kula-kula atau porang ini,” ungkapnya.

Melalui media internet masyakarat Desa Belatungan pun gencar mencari informasi tentang tanaman porang tersebut.

Saat ini mereka mulai mengetahui umbi porang banyak dicari untuk di ekspor ke beberapa negara seperti Tiongkok, Australia dan Vietnam.

Bahkan permintaan ekspor umbi porang mencapai belasan ribu ton. “Informasinya umbi kula-kula (porang) diolah menjadi bahan baku kosmetik dan bahan pangan,” tuturnya.

Dari informasi tersebut, masyarakat Desa Belatungan menjadi tertarik dan mulai membudidayakan secara luas dengan sistem pertanian tumpang sari di bawah tanaman kopi.

Warga pun saling berbagi bibit dan sebagian masih menanam dengan skala kecil-kecilan. Dari awal tanam, porang ini baru bisa dipanen pada usia tiga tahun dan selanjutnya anakan akan tumbuh sendiri dan bisa panen setiap tahun.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/