Ternyata Indonesia memang sudah bisa ekspor beras. Ironi tapi nyata. Dan ekspor itu ternyata dari Desa Kebon Agung, Sidoharjo, Wonogiri.
”Tadi malam kami kerja sampai larut malam. Menaikkan beras ke kontainer,” ujar Mahmudsyah dalam WA-nya kepada saya kemarin.
Mahmudsyah adalah staf PT Pengayom Tani Sejagad (lihat DI’s Way kemarin).
Yang diekspor itu adalah beras organik. Hanya beras organik.
Itulah beras hasil kerja 1.600 petani organik di Wonogiri. Yang tergabung dalam Asosiasi Petani Organik. Yang asosiasi itu menjadi pemegang saham 50 persen PT Pengayom.
Ini adalah tahun kedua PT Pengayom ekspor beras. Tahun lalu jumlah ekspornya 160 ton. Tahun ini naik menjadi 230 ton. Itu sesuai dengan komitmen yang datang dari Amerika, Singapura, dan Prancis.
Saya sungguh angkat topi –belakangan saya memang sering bertopi– pada kemampuan ekspor petani Wonogiri itu.
Jumlah ekspornya tidak penting bagi saya. Tapi bahwa bisa sampai ekspor, itu tidak mudah. Mencari partnernya tidak mudah. Merintisnya tidak mudah.
Memenuhi persyaratannya tidak mudah. Administrasi ekspornya njelimet.
Walhasil mereka membuktikan diri bisa ekspor. Kita-kita pengusaha yang mengaku lebih terpelajar tentu malu dengan para petani itu.
”Pernah sekali waktu kami kena komplain. Ditemukan batu kerikil satu buah di beras kami,” ujar Mahmudsyah. ”Kami pun menelusuri asal usul batu kecil itu. Rasanya tidak mungkin. Kami sudah memasang saringan di proses pengepakan beras kami,” ujarnya.
Akhirnya ditemukan. Ada orang masuk gudang tanpa lepas sepatu. ”Sejak itu pengawasan yang masuk ke sini sangat ketat,” tambahnya. ”Setelah kami bisa menjelaskan asal usul batu itu akhirnya kami tidak diklaim,” katanya.
Satu batu kerikil pun sudah akan bisa menjegal mereka. Apalagi kalau ada batu sebesar sembilan naga. ”Sejak itu tidak pernah ada lagi masalah,” katanya.
Merintis pasar ekspor memang sulit. Tapi lebih sulit lagi saat meyakinkan petani –agar mau beralih ke tanaman padi organik.
Perintis utamanya adalah almarhum Pak Budi, ayahanda Hanjar Lukitojati, direktur PT Pengayom itu.
Pak Budi hanya petani tamatan SD. Tapi ia menemukan ramuan pupuk cair pada zamannya. Almarhum adalah tipe petani yang sangat prihatin atas kian luasnya tanah pertanian yang mati –akibat penggunaan pupuk kimia yang berlebihan.
Pak Budi punya keinginan menghidupkan kembali tanah mati itu –lewat pupuk kandang dan pupuk cair organik bikinannya.
Waktu itu Hanjar masih sekolah di Pondok Modern Gontor Ponorogo. Tidak bisa membantu ayahnya merealisasikan ide-ide mulianya itu.
Tapi almarhum menemukan anak muda lulusan STM yang mau dibina. Namanya Harjanto. Waktu tamat STM Harjanto jadi sopir Suzuki Carry. Tugasnya mengantar penumpang bus yang baru turun dari Jakarta untuk ke kampung masing-masing.
Zaman itu, kata Harjanto, bisa mengemudikan mobil jadi pujaan gadis-gadis desa. Akhirnya ia kawin dengan gadis Kebon Agung, tetangga desanya.
Tugas Harjanto adalah mencari petani yang mau pindah dari pupuk kimia. ”Sulit sekali. Petani selalu bilang, kalau hasil panennya merosot siapa yang menanggung,” ujar Harjanto.
Akhirnya Pak Budi bikin jaminan. ”Setiap penurunan hasil panen ditutup oleh Pak Budi,” kenang Harjanto.
Didapatlah tiga petani di desa Kebon Agung. Masing-masing punya sawah 3.000 meter persegi. Mereka diajari cara-cara bertani organik.
Misal: sebelum tanah dibajak oleh traktor dihamburi dulu pupuk kotoran sapi.
Hasilnya: panen mereka turun 50 persen.
Biasanya 10 ton tinggal 5 ton.
Pak Budi pun membeli hasil itu dengan harga yang sama dengan 10 ton gabah padi biasa.
Tahun berikutnya bisa naik sedikit. Tahun ketiga baru bisa 8 ton. Pak Budi terus membelinya dengan harga 10 ton gabah biasa.
Delapan ton itulah hasil terbesarnya. Tidak pernah bisa sama: 10 ton.
Tapi karena harga beras organik 2,5 kali harga beras biasa hasil rupiahnya sudah jauh lebih besar. Saat itulah Pak Budi terbebas dari mensubsidi petani.
Hasil yang nyata itu mulai menarik perhatian petani lain. Anggota petani organik kian banyak.
Tapi Pak Budi keburu meninggal dunia.
Hanjar masih belum tamat sekolah.
”Kegiatan kami sempat terhenti tiga tahun,” ujar Harjanto.
Setelah tamat dari Gontor barulah Hanjar meneruskan rintisan bapaknya. Itu pun harus molor: Hanjar harus mengabdi dulu sebagai guru di Bogor –sesuai doktrin Pondok Gontor. ”Sebenarnya saya sudah mendaftar di IPB, tapi gak jadi. Kegiatan bapak saya sudah vacum terlalu lama,” kata Hanjar.
Hanjar (kiri) bersama DI’s Way dan timnya yang penuh energi.
Prestasi Hanjar pasti membuat haru bapaknya –meski tidak sempat melihatnya. Mulailah dibentuk asosiasi petani organik. Kini anggotanya sudah 1.600 petani.
Kuncinya adalah keyakinan: tanah mati bisa dihidupkan. Pupuk kimia bisa diganti pupuk hasil ternak petani sendiri. Tani organik bisa lebih menguntungkan.
Tapi memang ada biaya transisi: tiga tahun pertama itu. Saat hasil panen petani menurun sementara itu.
Memang begitu terjal awalnya. Tapi begitu luhur hasilnya. (dahlan iskan)