Seniman joged bumbung asal Buleleng, Ketut Jingga, menghembuskan nafas terakhirnya. Nama Ketut Jingga begitu dikenal di seantero Buleleng bahkan Bali.
Sebab ia begitu gigih mempertahankan kesenian joged, meski citranya semakin memudar karena kerap dicap porno dan sensual.
EKA PRASETYA, Singaraja
KABAR meninggalnya seniman Ketut Jingga, menyebar dengan cepat di media sosial. Banyak yang mengucapkan bela sungkawa.
Maklum saja, seniman yang tutup usia pada umur 67 tahun itu, begitu terkenal. Jingga selama ini dikenal sebagai sosok yag begitu getol dan gigih mempertahankan kesenian joged.
Selain itu ia juga dikenal sebagai pembuat sekaligus penabuh gerantang yang begitu andal. Sangat mudah mengenali sosok Ketut Jingga.
Ia biasanya mengendarai motor Yamaha Mio berwarna merah dengan membonceng sebuah gamelan gerantang. Ia bisa berhenti di mana saja.
Secara tiba-tiba ia akan memasang perangkat gamelan tersebut sambil memainkan beberapa tabuh. Biasanya ia akan memainkan tabuh Putri Cening Ayu, Singaraja Sakti, dan Merah Putih.
Selain itu ia juga dikenal sebagai pemilik Sanggar Tari dan Tabuh Karya Remaja di Desa Sari Mekar, Kecamatan Buleleng.
Sanggar ini sudah berdiri sejak tahun 1970-an silam. Sanggar fokus terhadap tari joged dan tabuh gerantang.
Saat Jawa Pos Radar Bali berkunjung ke rumah duka sore kemarin, suasana duka begitu nampak. Jawa Pos Radar Bali langsung disambut Komang Adya Yana, putra dari mendiang Ketut Jingga.
Adya menuturkan, mendiang Jingga mulai mengalami sakit sejak 1,5 tahun lalu. Saat itu mendiang tiba-tiba kolaps sekitar pukul 04.00 pagi, ketika mengambil air minum.
Mendiang kemudian dilarikan ke rumah sakit, dan divonis mengalami diabetes. Setelah dinyatakan sembuh, Jingga kembali beraktifitas seperti biasa.
Semenjak itu, mendiang mulai sering keluar masuk rumah sakit. Mulai dari penyakit katarak, syaraf, hingga terakhir terjatuh dan mengalami patah tulang pinggul enam bulan lalu.
Ketika itu, mendiang sempat dilarikan ke rumah sakit. Namun dokter tak berani mengambil tindakan operasi karena beresiko tinggi. Alhasil mendiang hanya mengalami perawatan di rumah.
“Mungkin karena stress tidak bisa kemana-mana, kondisi kesehatan bapak mulai menurun. Akhirnya mulai muncul penyakit TBC, jantung, macam-macam penyakitnya.
Sampai kemarin, bapak meninggal jam 6 sore di rumah,” ungkap Komang Adya yang juga staf di Sekretariat DPRD Buleleng itu.
Adya mengungkapkan, orang tuanya merupakan seniman yang lahir secara otodidak. Ketut Jingga diketahui tak pernah mengenyam pendidikan formal.
Mendiang bahkan tak tamat SD. Meski begitu, mendiang sudah mulai melatih tari dan tabuh sejak tahun 1970, tepat saat Sanggar Karya Remaja berdiri.
Kebetulan Jingga juga lahir dari keluarga seniman. Sehingga ia memilih belajar seni secara otodidak. Sejak tahun 1970 pula, Jingga selalu concern pada seni joged.
Meski seni joged sempat mengalami pasang surut karena kesan porno dan sensual yang melekat, joged yang dibina Jingga tak pernah surut.
Saat sanggar-sanggar lain, kesulitan mencari penari joged, Jingga dengan mudah penari joged. Bahkan bisa dibilang Sanggar Karya Remaja satu-satunya sekaa sebun joged yang ada di Buleleng.
Saat joged jaruh muncul pada tahun 2003 silam, Jingga termasuk sosok yang sangat geram dan antipati dengan joged semacam itu.
Jingga menyebut joged seperti itu tidak memiliki sisi keindahan dan pakem, atau patok igel. Bila ada anak didiknya yang kedapatan menari joged jaruh, Jingga tak segan-segan memarahi anak didiknya itu.
Bahkan Jingga memilih menolak pesanan mementaskan joged jaruh, meski honornya mencapai belasan juta.
Jingga kemudian mempopulerkan istilah gesah joged. Gesah joged merupakan gesture tari yang bisa membuat orang tertarik ngibing.
Padahal gerakannya tak mengarah pada hal sensual apalagi porno. Lewat tangan dinginnya, Jingga mampu mengenalkan gesture gesah joged pada penari-penarinya.
Sehingga tari yang dihasilkan menjadi unik. Lewat kemampuannya itu, Jingga kemudian diganjar penghargaan oleh pemerintah.
Masing-masing Penghargaan Wija Kusuma Pemkab Buleleng pada tahun 2005 dan Penghargaan Pengabdi Seni pada tahun 2012 lalu.
Jelang menghembuskan nafas terakhir, Jingga disebut sempat menyampaikan wasiat. Isinya tak jauh-jauh dari dunia seni, utamanya seni joged.
Salah satunya, meminta agar sanggar tak sekali-sekali menerima tawaran mementaskan joged jaruh.
“Bapak juga berpesan agar sanggar ini dipertahankan, dan tetap membina joged. Selain itu bapak juga minta agar bisa diperjuangkan dapat Penghargaan Dharma Kusuma dari Pemprov. Itu cita-cita bapak yang belum terwujud,” kata Adya.
Sosok Ketut Jingga juga begitu membekas bagi seniman-seniman lain di Buleleng. Bagi I Gusti Ngurah Eka Prasetya misalnya.
Pria yang akrab disapa Gus Eka itu mengenang Ketut Jingga sebagai sosok yang keras kepala dan penuh totalitas.
Gus Eka yang juga pimpinan di Sanggar Seni Santhi Budaya itu menyebut Jingga sebagai sosok maestro seni tari joged.
Mendiang disebut memiliki garapan yang begitu unik dan sulit ditiru atau digantikan. Garapan yang dimaksud ialah gesah joged.
Pada tahun 1997 silam, saat Gus Eka masih duduk di bangku SMP, ia sempat terlibat dalam sebuah garapan bersama sang maestro.
“Saat itu saya tahu bahwa garapan beliau itu sangat otentik. Garapan itu kemudian dipentaskan di GWK. Saat itu kami masih berproses di Padepokan Seni Dwi Mekar,” tutur Gus Eka.
Sementara dalam hal totalitas, Gus Eka ingat betul bahwa Ketut Jingga pernah tampil di atas panggung dalam kondisi berdarah-darah usai alami kecelakaan. Itu terjadi sekitar tahun 2006 lalu.
Gus Eka menceritakan, saat itu Jingga diminta menari Oleg Tamulilingan saat peresmian kantor. Permintaan itu diajukan mantan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Buleleng Ida Bagus Puja Erawan. Mendiang pun langsung menyanggupi.
Jelang pementasan, Gus Eka pun merias Jingga. Setelah merias, Jingga segera melaju ke Kantor Disbudpar, yang saat itu terletak di sebelah utara Rumah Jabatan Kantor Bupati Buleleng.
Saat perjalanan menuju Kantor Disbudpar, Jingga mengalami kecelakaan. Sepeda motor yang dikendarainya lepas kendali hingga terjun ke selokan di depan Taman Makam Pahlawan Curastana.
Wajah Jingga pun berlumuran darah. Namun saat itu ia menolak dibawa ke rumah sakit dan memilih menyeka luka seadanya.
“Dalam kondisi luka-luka di dahi itu, beliau masih mampu menari. Saya ingat darahnya waktu itu masih menetes. Undangan yang menonton juga waktu itu kebingungan. Beliau benar-benar totalitas,” kenang Gus Eka. (*)