DENPASAR – Sejumlah jenis kain asli Bali mengalami kepunahan. Ada tiga jenis kain Bali yang kini dinyatakan punah.
Di antaranya kain jenis Wewali, Keling dan Bebali. Kondisi ini terjadi akibat penyederhanaan upacara yang terjadi hingga saat ini.
Hal tersebut diungkapkan Pakar Busana Bali A.A Ngurah Anom Mayun K Tenaya, dalam Kriyaloka atau workshop busana adat ke Pura, di Kalangan Angsoka, Art Center, Denpasar.
Ngurah Mayun yang juga dosen Prodi Fashion Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ISI Denpasar ini mengungkapkan, ada 10 jenis kain Bali yang khas.
Di antaranya jenis bebali, keling, wali, endek, cepuk, gringsing, songket, prada, cecawangan. “Jenis bebali, wewali dan keling saat ini sudah
tidak ditemukan lagi atau alami kepunahan, kain-kain itu ada dari Tengenan, Nusa Penida, sebagian besar Bali Mula,” jelasnya.
Lebih lanjut Ngurah Mayun mengungkapkan, keberadaan kain Bali sangat erat kaitanya dengan budaya tata cara upacara di Bali.
“Punahnya kain-kain asli Bali akibat dari budaya masyarakat sendiri seperti penyederhanaan upakara, yang biasanya menggunakan kain-kain sakral, akhirnya ditiadakan,” sambungnya.
Terkait busana adat ke Pura, Ngurah Mayun menyatakan, saat ini masyarakat yang mau ke Pura sudah ada imbauan, dan tak harus ribet dan mahal asalkan mau belajar dan latihan.
Dia pun mewanti, para wanita tidak boleh menggunakan kebaya pendek, dan harus mengenakan lengan panjang.
Begitupun menggunakan kain, Ngurah Mayun berharap agar tidak menggunakan kain yang dijarit. “Itu namanya rok. Jelas tidak boleh berbusana menggunakan kain dijarit seperti rok ke Pura.
Dan, saat ini kita mengajak cara menggunakan busana yang rapi, beretika dan sederhana kepada generasi muda, tak harus ribet dan mahal,” terang dosen yang kini sedang menempuh S3 itu.
Dijelaskan, trend fashion yang dibawa oleh media saat ini demi tuntutan berpenampilan trendi, modis dan meniru kalangan selebritis dijadikan sumber rujukan berbusana.
Persoalanya, sebagai rujukan dari trend fashion ini, justru tidak cocok diterapkan bagi masyarakat Bali, khususnya sebagai rujukan busana ke Pura.
Padahal, dalam awig-awig atau pakem berbusana sudah ada. Pakem busana adat Bali warisan leluhur dirasa sudah lengkap, karena sudah mempertimbangkan unsur-unsur estetika dan etika.
“Prinsip berbusana adat Bali memenuhi Triangga, Wesa, nyasa, Purwadaksina dan Prasawiya,” kata Ngurah Mayun.
Triangga sendiri yakni menata busana berdasar kosmologi Hindu, struktur busana mulai kepala, badan hingga kaki.
Sedangkan wesa dimaknai status dalam fase kehidupan, busana anak, dewasa atau orang tua. Sementara purwodaksina dan prasawiya merupakan konsep berbusana seperti kain yang dililitkan di tubuh pria atau wanita.
Kalau wastra pria dililitkan searah jarum jam, sedangkan wanita sebaliknya kain dililitkan berlawanan arah jarum jam.
Dalam workshop yang diikuti duta kabupaten se-Bali itu juga dipraktekan menggunakan busana ke Pura bagi pria dan wanita yang baik dan benar.