Virus corona tidak hanya berdampak pada sektor akomodasi pariwisata seperti hotel dan restoran. Setor lainnya seperti pertanian garam di wilayah Desa Kusamba,
Kecamatan Dawan, Klungkung tidak luput dari gempuran virus tersebut. Meski begitu, para petani garam di Kusamba tetap giat berproduksi karena yakin wabah akan segera berlalu.
DEWA AYU PITRI ARISANTI, Semarapura
SEPERTI hari-hari biasa, Dewa Ketut Candra, 75 mulai menimba air laut untuk disiramkan ke pasir hitam di wilayah Pantai Karang Dadi, Desa Kusamba, Kecamatan Dawan, Klungkung.
Itulah awal dari proses produksi garam Kusamba secara tradisional. Berat memang pekerjaan yang dia lakoni di usia senjanya.
Namun, keahlian itu yang hingga saat ini mampu membuat dapurnya tetap mengepul. “Garam Kusamba memiliki rasa yang khas dan disebut-sebut sangat enak.
Bila ada yang mencampur dengan garam lain, biasanya kentara oleh lidah orang yang fanatik dengan rasa. Itu sebabnya proses produksi secara tradisional tetap dipertahankan,” terangnya.
Karena rasa dan proses produksinya yang dilakukan secara tradisional, tempat produksi garam Kusamba tidak hanya sebagai tempat untuk membeli garam, namun juga sebagai salah satu tujuan wisata.
Wisatawan mancanegara seperti Jepang, Australia, Belanda dan lainnya kerap datang ke tempat produksi garamnya untuk melihat proses pembuatan garam sekaligus membeli garam Kusamba sebagai cendera mata.
“Biasanya wisatawan yang datang ada saja yang membeli garam. Minimal satu kilogram. Ada juga yang membeli sampai empat kilogram untuk oleh-oleh,” katanya.
Dengan adanya wabah virus corona, dia mengaku tidak pernah dikunjungi wisman sejak tiga bulan lalu.
Tidak sampai di sana, permintaan garam dari para pedagang dan masyarakat umum pun ikut-ikutan turun.
Bila biasanya dia bisa menjual 300 kilogram garam dalam sebulan. Kini dia hanya bisa menjual puluhan kilogram garam per bulannya.
“Penjualan menurun sejak 3 bulan yang lalu. Biasanya ada pedagang yang cari garam sekitar 100 kilogram per bulan. Sudah tiga bulan tidak ke sini. Katanya penjualan menurun,” tutur Candra.
Untungnya garam adalah produk yang bisa bertahan lama. Bahkan bisa bertahan sampai satu tahun bila garam dalam kondisi sangat kering.
Sehingga garam yang dia produksi selama masa-masa sepi kunjungan dan permintaan itu bisa disimpannya sebagai stok.
“Sekarang saya punya stok garam empat karung besar,” ungkap pria yang mulai bertani garam sejak kecil itu.
Dia mengaku masih tetap memproduksi garam meski permintaan saat ini sangat menurun lantaran dia yakin wabah ini akan segera berakhir.
Bila saat itu tiba, dia berharap garam-garam yang diproduksinya bisa segera terjual. Sebab dengan sepi permintaan garam seperti ini, dia sudah berutang untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Sekarang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saya sudah berutang. Kalau dapat jualan, langsung saya bayar. Harga garam yang saya jual kalau dengan warga di sekitar sini sekitar Rp 10 ribu per kilogram,” ujarnya.
Lebih lanjut dia mengaku sangat bersyukur. Di tengah sepinya permintaan garam, kondisi cuaca dan gelombang hingga saat ini masih bersahabat.
Sehingga dia masih bisa memproduksi garam Kusamba secara maksimal. Sebab menurutnya, gelombang akan sangat tinggi saat Purnama Kedasa.
Saat terjadi gelombang pasang, air laut akan naik ke pasir tempat dia memproduksi garam. Bila itu terjadi, sudah dipastikan dia tidak bisa memproduksi garam.
“Untungnya tidak ada hujan, dan gelombang juga tidak naik sampai ke sini. Kalau sampai naik, saya tidak bisa buat garam,” tandasnya. (*)