32.7 C
Jakarta
22 November 2024, 15:32 PM WIB

Tak Perlu Lockdown, Pool – test Covid-19 Ala Hafidz Layak Dicoba

Saya harus meminta maaf. Kok saya telat mengetahui ide besar ini: pool test Covid-19.

Coba sejak awal tahu ini maka sebenarnya lockdown tidak penting. PSBB tidak penting. Social distancing tidak penting. Berhenti berbisnis tidak penting.

Asal ide pool test ini bisa dijalankan. Covid-19 pun bisa diatasi. Bisnis tetap bisa berjalan.

Pemilik ide ini adalah –lagi-lagi– ‘anak’ ITB (Institut Teknologi Bandung). Ia alumnus 1998. Teknik elektro. Masternya juga di ITB. Juga teknik elektro.

Nama lengkapnya: Hafidz Ary Nurhadi. Waktu kuliah Hafidz tinggal di asrama Masjid Salman. Ia menjadi ketua di asrama itu.

“Itu bukan ide saya. Tapi saya membuat modifikasinya,” ujar Hafidz kepada saya kemarin.

Ide asalnya sendiri dari Jerman.

Prinsip yang digunakan adalah matematika dan algoritma.

Ide dasarnya: jangan sampai yang tidak kena Covid-19 ikut terkarantina. Seperti sekarang ini. Pun di Amerika. Ekonomi pun macet.

Selama ini kita yang tidak bervirus diperlakukan seperti ber-Covid. Akhirnya semuanya macet. Semua tersiksa. Sampai tidak boleh mudik –hanya boleh pulang kampung.

Dasar pemikirannya juga sama: penanganan terbaik Covid-19 adalah: semua penduduk dites swab.

Tapi itu tidak realistis. Mahalnya bukan main.

Alat untuk mengambil mukus sendiri sebenarnya murah. Mukus itu bentuknya lendir. Diambil dari bagian yang sangat dalam di dalam hidung. Di dekat tenggorokan.

Mukus itu lantas diproses. Proses itulah yang mahal. Satu orang bisa Rp 1 juta. Satu kota Jakarta bisa Rp 12 triliun.

Lihatlah kronologi proses tes swab ini.

Pertama, mukus itu harus di masukkan ke dalam cairan VTM –virus transfer medium.

Berarti harus membeli cairan VTM itu. Yang harganya mahal.

Mukus yang sudah bercampur VTM dimasukkan ke reagen. Berarti harus membeli reagen. Yang harganya juga mahal.

Mukus dari satu orang itu, dimasukkan VTM yang khusus disediakan untuk satu orang itu, dimasukkan lagi ke reagen yang juga khusus untuk satu orang itu. Maka mahal-mahal-mahal.

Ide Hafidz adalah –maafkan saya perlu narik nafas panjang dulu: tes itu jangan dilakukan orang per orang!

Lakukanlah tes itu perlokasi besar. Misalnya Pulau Bali. Pulau wisata penting ini bisa jadi satu lokasi terpisah. Atau Pulau Lombok. Atau mana pun.

Kalau untuk Jawa kelihatannya harus se-Jawa sekaligus.

Atau bisa saja ada bupati yang siap menjalankannya untuk satu kabupatennya. Dengan konsekwensi kabupaten itu diisolasi dulu. Paling hanya satu minggu. Penduduk tetap bebas beraktivitas apa pun. Asal di dalam kabupaten itu.

Biayanya tidak semahal tes swab orang-per-orang. Nanti ada hitungannya. Di bagian bawah.

Menurut Hafidz semua orang di satu wilayah yang sudah ditentukan harus diambil mukus mereka. Sekali ambil untuk dua sampel.

Mengambil mukus sekaligus untuk dua sampel hampir tidak menambah kesibukan. Maupun biaya.

Maka ambillah tiap orang dua sampel mukus. Jangan hanya satu sampel.

Bagilah satu pulau atau satu kabupaten ke dalam wilayah-wilayah terkecil. Baiknya, wilayah kecil itu adalah satu RT.

Maka tiap RT di satu kabupaten menjadi satu pool terkecil. Mukus semua warga RT itu diambil bersama-sama –mungkin perlu waktu tiga jam.

Untuk satu RT – -katakanlah 150 orang– hanya diperlukan VTM satu unit. Mukus orang satu RT dimasukkan ke satu VTM saja.

Berikutnya VTM yang sudah tercampur mukus orang satu RT itu dimasukkan reagen.

Kalau hasilnya positif, barulah satu RT itu di-lockdown. Atau di PSBB.

Kalau hasilnya negatif berarti satu RT itu negatif semua. Merdeka!

Tapi jangan bebas dulu. Tunggu hasil RT sebelah. Dan sebelahnya lagi. Dan sebelahnya lagi.

Dalam tiga hari satu kabupaten sudah bisa diketahui hasilnya.

Berarti satu kabupaten itu telah merdeka.

Bagaimana kalau di satu RT hasilnya positif?

Itulah gunanya mengambil mukus dua sampel. Kan sampel mukus kedua masih ada. Maka khusus untuk RT-Positif lakukanlah proses berikut: sampel mukus individual tadi dimasukkan VTM individual. Lalu dimasukkan reagen individual.

Maka ketahuanlah siapa di RT-Positif tersebut yang ternyata positif.

Dengan demikian tidak lagi harus satu RT di-lockdown. Cukuplah warga yang positif itu saja.

Jelaslah: kabupaten itu tidak perlu lockdown. Demikian juga kabupaten sebelah. Pun kabupaten sebelah lagi. Se-Jawa.

Bagi pulau seperti Bali atau Lombok atau yang setara itu lebih mudah lagi.

Itulah yang disebut pool-test system.

Saya sudah minta maaf ke Hafidz. Kok baru tadi malam meneleponnya. Padahal ia sudah menghubungi saya 16 jam sebelumnya.

Waktu pertama ide ini disampaikan, saya berterus terang: perlu waktu untuk memahaminya. Saya bukan ahli matematika –rapor pelajaran berhitung saya selalu merah. Saya tidak paham algoritma. Saya agak pusing memahami rumus-rumus simulasi yang ia kirim lewat WA.

Tapi sejak 16 jam itu saya sudah bisa memahami roh persoalannya: ini penting sekali. Ini mendasar sekali.

Tinggal memutuskan: mau atau tidak mau.

Hafidz, anak Jakarta (SD Johar Baru, SMAN 8) ini memang istemewa. Ia bersama temannya –alumni Informatika ITB– mendirikan satu perusahaan: membuat program komputerisasi penilaian ujian sekolah.

Saat ia membuat itu baru ada satu program sejenis di Indonesia –milik dosennya. Dan ia membuat yang beda, yang lebih sempurna –meski ia tidak mau mengatakan itu.

Masih banyak lagi sepak terjangnya. Dua tahun lalu ia mendirikan sekolah dasar (SD) Galenia di Jalan Dago –tidak jauh dari ITB.

Hafidz (kemeja batik, dua dari kanan).

Keistimewaan SD itu: mata pelajarannya hanya tiga.

“Hanya tiga mata pelajaran?” tanya saya takut salah dengar.

“Iya. Hanya tiga,” jawab Hafidz.

“Apa saja itu?”

“Bahasa Inggris, matematika dan Bahasa Indonesia,” jawabnya.

Ia merasa saya heran atas mata pelajaran nomor tiga itu. Maka Hafidz buru-buru menjelaskan: pelajaran Bahasa Indonesia perlu agar lulusannya nanti pandai berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan.

Oh… Rupanya Hafidz sadar. Utamanya karena ia sendiri orang teknik –elektro pula: orang teknik lemah dalam sastra.

Sebenarnya ada satu mata pelajaran lagi. Tapi ia tidak menyebutnya pelajaran: renang.

“Itu pelajaran olahraga,” kata saya.

“Bukan,” jawabnya, “Itu sarana untuk membuat lebih percaya diri”.

Orang yang tidak bisa berenang, katanya, kurang percaya diri. Apalagi kalau sudah harus menyeberang laut. Dan lagi “pelajaran” renang itu hanya tiga bulan. Setelah bisa renang ya sudah.

Ups… Ada pelajaran lain lagi: menghafal Alquran. Tapi ia tidak mau menyebutkan itu mata pelajaran. Itu ibadah.

“Anda sendiri hafal Alquran?” tanya saya.

“Belum. Masih dalam proses,” katanya merendah.

Dalam hal pool-test Covid-19 tadi Hafidz sebenarnya menyampaikan kepada saya hitung-hitungannya secara rinci.

Saya pikir menarik juga untuk disampaikan di bagian bawah DI’s Way hari ini. Tapi ketika tulisan sampai di sini saya berpikir ulang: untuk apa ya ditulis di sini? Bukankah belum tentu ide ini bisa diterima? Wong, Hafidz sudah ke mana-mana pun belum mendapat respon menggembirakan?

Melaksanakan ide Hafidz ini memang sulit. Tapi ada yang lebih sulit lagi: melahirkan kemauan itu.(Dahlan Iskan)

 

Saya harus meminta maaf. Kok saya telat mengetahui ide besar ini: pool test Covid-19.

Coba sejak awal tahu ini maka sebenarnya lockdown tidak penting. PSBB tidak penting. Social distancing tidak penting. Berhenti berbisnis tidak penting.

Asal ide pool test ini bisa dijalankan. Covid-19 pun bisa diatasi. Bisnis tetap bisa berjalan.

Pemilik ide ini adalah –lagi-lagi– ‘anak’ ITB (Institut Teknologi Bandung). Ia alumnus 1998. Teknik elektro. Masternya juga di ITB. Juga teknik elektro.

Nama lengkapnya: Hafidz Ary Nurhadi. Waktu kuliah Hafidz tinggal di asrama Masjid Salman. Ia menjadi ketua di asrama itu.

“Itu bukan ide saya. Tapi saya membuat modifikasinya,” ujar Hafidz kepada saya kemarin.

Ide asalnya sendiri dari Jerman.

Prinsip yang digunakan adalah matematika dan algoritma.

Ide dasarnya: jangan sampai yang tidak kena Covid-19 ikut terkarantina. Seperti sekarang ini. Pun di Amerika. Ekonomi pun macet.

Selama ini kita yang tidak bervirus diperlakukan seperti ber-Covid. Akhirnya semuanya macet. Semua tersiksa. Sampai tidak boleh mudik –hanya boleh pulang kampung.

Dasar pemikirannya juga sama: penanganan terbaik Covid-19 adalah: semua penduduk dites swab.

Tapi itu tidak realistis. Mahalnya bukan main.

Alat untuk mengambil mukus sendiri sebenarnya murah. Mukus itu bentuknya lendir. Diambil dari bagian yang sangat dalam di dalam hidung. Di dekat tenggorokan.

Mukus itu lantas diproses. Proses itulah yang mahal. Satu orang bisa Rp 1 juta. Satu kota Jakarta bisa Rp 12 triliun.

Lihatlah kronologi proses tes swab ini.

Pertama, mukus itu harus di masukkan ke dalam cairan VTM –virus transfer medium.

Berarti harus membeli cairan VTM itu. Yang harganya mahal.

Mukus yang sudah bercampur VTM dimasukkan ke reagen. Berarti harus membeli reagen. Yang harganya juga mahal.

Mukus dari satu orang itu, dimasukkan VTM yang khusus disediakan untuk satu orang itu, dimasukkan lagi ke reagen yang juga khusus untuk satu orang itu. Maka mahal-mahal-mahal.

Ide Hafidz adalah –maafkan saya perlu narik nafas panjang dulu: tes itu jangan dilakukan orang per orang!

Lakukanlah tes itu perlokasi besar. Misalnya Pulau Bali. Pulau wisata penting ini bisa jadi satu lokasi terpisah. Atau Pulau Lombok. Atau mana pun.

Kalau untuk Jawa kelihatannya harus se-Jawa sekaligus.

Atau bisa saja ada bupati yang siap menjalankannya untuk satu kabupatennya. Dengan konsekwensi kabupaten itu diisolasi dulu. Paling hanya satu minggu. Penduduk tetap bebas beraktivitas apa pun. Asal di dalam kabupaten itu.

Biayanya tidak semahal tes swab orang-per-orang. Nanti ada hitungannya. Di bagian bawah.

Menurut Hafidz semua orang di satu wilayah yang sudah ditentukan harus diambil mukus mereka. Sekali ambil untuk dua sampel.

Mengambil mukus sekaligus untuk dua sampel hampir tidak menambah kesibukan. Maupun biaya.

Maka ambillah tiap orang dua sampel mukus. Jangan hanya satu sampel.

Bagilah satu pulau atau satu kabupaten ke dalam wilayah-wilayah terkecil. Baiknya, wilayah kecil itu adalah satu RT.

Maka tiap RT di satu kabupaten menjadi satu pool terkecil. Mukus semua warga RT itu diambil bersama-sama –mungkin perlu waktu tiga jam.

Untuk satu RT – -katakanlah 150 orang– hanya diperlukan VTM satu unit. Mukus orang satu RT dimasukkan ke satu VTM saja.

Berikutnya VTM yang sudah tercampur mukus orang satu RT itu dimasukkan reagen.

Kalau hasilnya positif, barulah satu RT itu di-lockdown. Atau di PSBB.

Kalau hasilnya negatif berarti satu RT itu negatif semua. Merdeka!

Tapi jangan bebas dulu. Tunggu hasil RT sebelah. Dan sebelahnya lagi. Dan sebelahnya lagi.

Dalam tiga hari satu kabupaten sudah bisa diketahui hasilnya.

Berarti satu kabupaten itu telah merdeka.

Bagaimana kalau di satu RT hasilnya positif?

Itulah gunanya mengambil mukus dua sampel. Kan sampel mukus kedua masih ada. Maka khusus untuk RT-Positif lakukanlah proses berikut: sampel mukus individual tadi dimasukkan VTM individual. Lalu dimasukkan reagen individual.

Maka ketahuanlah siapa di RT-Positif tersebut yang ternyata positif.

Dengan demikian tidak lagi harus satu RT di-lockdown. Cukuplah warga yang positif itu saja.

Jelaslah: kabupaten itu tidak perlu lockdown. Demikian juga kabupaten sebelah. Pun kabupaten sebelah lagi. Se-Jawa.

Bagi pulau seperti Bali atau Lombok atau yang setara itu lebih mudah lagi.

Itulah yang disebut pool-test system.

Saya sudah minta maaf ke Hafidz. Kok baru tadi malam meneleponnya. Padahal ia sudah menghubungi saya 16 jam sebelumnya.

Waktu pertama ide ini disampaikan, saya berterus terang: perlu waktu untuk memahaminya. Saya bukan ahli matematika –rapor pelajaran berhitung saya selalu merah. Saya tidak paham algoritma. Saya agak pusing memahami rumus-rumus simulasi yang ia kirim lewat WA.

Tapi sejak 16 jam itu saya sudah bisa memahami roh persoalannya: ini penting sekali. Ini mendasar sekali.

Tinggal memutuskan: mau atau tidak mau.

Hafidz, anak Jakarta (SD Johar Baru, SMAN 8) ini memang istemewa. Ia bersama temannya –alumni Informatika ITB– mendirikan satu perusahaan: membuat program komputerisasi penilaian ujian sekolah.

Saat ia membuat itu baru ada satu program sejenis di Indonesia –milik dosennya. Dan ia membuat yang beda, yang lebih sempurna –meski ia tidak mau mengatakan itu.

Masih banyak lagi sepak terjangnya. Dua tahun lalu ia mendirikan sekolah dasar (SD) Galenia di Jalan Dago –tidak jauh dari ITB.

Hafidz (kemeja batik, dua dari kanan).

Keistimewaan SD itu: mata pelajarannya hanya tiga.

“Hanya tiga mata pelajaran?” tanya saya takut salah dengar.

“Iya. Hanya tiga,” jawab Hafidz.

“Apa saja itu?”

“Bahasa Inggris, matematika dan Bahasa Indonesia,” jawabnya.

Ia merasa saya heran atas mata pelajaran nomor tiga itu. Maka Hafidz buru-buru menjelaskan: pelajaran Bahasa Indonesia perlu agar lulusannya nanti pandai berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan.

Oh… Rupanya Hafidz sadar. Utamanya karena ia sendiri orang teknik –elektro pula: orang teknik lemah dalam sastra.

Sebenarnya ada satu mata pelajaran lagi. Tapi ia tidak menyebutnya pelajaran: renang.

“Itu pelajaran olahraga,” kata saya.

“Bukan,” jawabnya, “Itu sarana untuk membuat lebih percaya diri”.

Orang yang tidak bisa berenang, katanya, kurang percaya diri. Apalagi kalau sudah harus menyeberang laut. Dan lagi “pelajaran” renang itu hanya tiga bulan. Setelah bisa renang ya sudah.

Ups… Ada pelajaran lain lagi: menghafal Alquran. Tapi ia tidak mau menyebutkan itu mata pelajaran. Itu ibadah.

“Anda sendiri hafal Alquran?” tanya saya.

“Belum. Masih dalam proses,” katanya merendah.

Dalam hal pool-test Covid-19 tadi Hafidz sebenarnya menyampaikan kepada saya hitung-hitungannya secara rinci.

Saya pikir menarik juga untuk disampaikan di bagian bawah DI’s Way hari ini. Tapi ketika tulisan sampai di sini saya berpikir ulang: untuk apa ya ditulis di sini? Bukankah belum tentu ide ini bisa diterima? Wong, Hafidz sudah ke mana-mana pun belum mendapat respon menggembirakan?

Melaksanakan ide Hafidz ini memang sulit. Tapi ada yang lebih sulit lagi: melahirkan kemauan itu.(Dahlan Iskan)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/